Pendis (Jakarta) - Dalam menangkal intoleransi dan radikalisme semua elemen harus terlibat. Hal tersebut disampaikan Imam Safei saat menjadi pembicara Dialog Lintas Iman untuk Moderasi Beragama DPP KNPI di Hotel Grand Alia Cikini, Jakarta (26/12).
"KNPI harus terlibat aktif dalam upaya deradikalisasi atau kontra radikalisasi. Hal tersebut untuk membendung agar tidak terjangkitnya kepada kalangan anak muda Indonesia," ungkapnya. Direktorat Pendidikan Islam (Pendis) menjadi salah satu ujung tombak menangkal intoleransi dan radikalisme di sektor pendidikan dengan mengedepankan nilai-nilai multikultural.
"Yang menjadi mitra Dirjen Pendis adalah generasi Millenial. Kita mengurusi mulai dari PAUD (Pendidikan Usian Dini) sampai PAUL (Pendidikan Usia Lanjut). Siswa RA dan Madrasah hampir 10 juta; jumlah santri, MDT, dan TPA sebanyak 17 juta dan mahasiswa PTKIN ada 3 ribu. Kita kawal terus bagaimana kader-kader ini menjadi pemersatu bangsa Indonesia," paparnya.
Imam memaparkan bahwa tidak bisa menghindari yang namanya perbedaan. Meski begitu yang harus diperkuat adalah rasa kesamaan.
"Kita satu dunia beda suku dan bangsa. Jika kita satu suku bisa beda agama. Jika satu agama bisa beda paham. Sama-sama satu paham beda amalannya. Sama-sama mengamalkan beda pemahammnya. Ada yang tahu banyak toleransi. Ada yang tahu sedikit intoleran. Cara menghayatinya juga, ada yang ikhlas dan ada yang tidak ikhlas. Untuk itu jangan dicari perbedaanya tapi kesamaan agar tetap bersatu," ujarnya.
Imam mengingatkan bahwa lembaga pendidikan harus menjadi pelopor moderasi beragama.
"Bagaimana pendidikan yang jumlahnya cukup besar menjadi pelopor membangun moderasi dan toleransi beragama. Yang diboyong adalah Islam Rahmatan Lil Alamin. Kemudian kita boyong lagi moderasi beragama. Sebenarnya agama sudah moderat tapi bagaimana cara beragamanya yang moderat," tuturnya.
Brigjen Pol. Hamdi, Direktur Pencegahan BNPT menyampaikan bahwa jangan sampai Indonesia seperti negara di timur tengah yang hancur karena perang saudara .
"Bagi generasi millenial tolong kalau mendapat informasi dicek apakah hoax atau benar supaya tidak terjadi seperti di Suriah. Tolong melihat hal jangan sepotong-potong. Misalnya terkait Uighur jangan gampang termakan berita palsu. Belum lama ini ada orang Uighur yang mau bergabung dengan kelompok teror mau ikut ke sini, untungnya sudah ditangkap duluan. Baca dengan baik berita itu. Supaya kita bijak," ungkapnya.
Saat ini korban yang terjangkit faham radikal tidak mengenal level pendidikan, ekonomi, maupun latar belakang.
"Dari beberapa data terlihat bahwa faham radikal sudah terpapar ke semua lini pendidikan, profesi, dan kalangan. Bahkan ada pelaku teror yang satu keluarga," serunya.
Ahmad Sugiyono, Ketua Bidang Agama DPP KNPI menambahkan bahwa tantangan nyata Indonesia hari ini dan di masa depan adalah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT).
"Penyebaran virus IRT menjadi momok menakutkan bagi pemerintah dan masyarakat karena banyak menjangkit pada kalangan muda. Padahal Indonesia sedang mempersiapkan masa yang diyakini sebagai masa “Indonesia Emas 2045”, di mana Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dan tertinggi kelima di dunia," ungkapnya.
Penyelesaian persoalan ini tentu tidak bisa diselesaikan oleh pemerintahan sendiri. Dibutuhkan keterlibatan semua komponen bangsa, terutama anak-anak muda lintas agama dan golongan.
"Untuk itu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang memayungi 130 organisasi dari mulai kepelajaran (IPNU, IPPNU, IPM, PII, dll), organisasi Kemahasiswaan (Kelompok Cipayung plus), dan organisasi Kepemudaan (semua komponen pemuda) membuat langka taktis dan strategis memerangi ancaman tersebut," pungkasnya. (Ogie/Solla)
Bagikan: