Makassar (Pendis) - Anak-anak adalah produk ciptaan Tuhan dan tidak ada produk Tuhan yang gagal. Tidak ada murid yang gagal dan tidak pintar, tetapi para peserta didik itu belum atau tidak menemukan guru tepat yang berhasil merangsang potensi internalnya. Demikian ungkapan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kamaruddin Amin dalam kegiatan Bimtek Kurikulum 2013 untuk para Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) tingkat SD di Makassar, Sulawesi Selatan. Acara yang dilaksanakan tanggal 24-26 Agustus 2015 ini diikuti oleh 120 GPAI dari Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
Lebih lanjut, Kamarudin Amin menjelaskan bahwa guru memerankan posisi fundamental dalam proses pendidikan. Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru. Fakta pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa jumlah guru kita paling banyak jumlahnya ke-2 di seluruh dunia setelah negara Jepang dengan rasio guru dan murid 1:12. Seharusnya dengan jumlah guru yang banyak maka kualitas pendidikan juga semakin baik akan tetapi berdasarkan hasil penelitian OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau organisasi untuk kerjasama dan pembangunan ekonomi, justru menunjukkan kualitas para siswa di Indonesia masih di bawah standar.
Menurut hasil penelitian nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia adalah 43 dari total nilai maksimum 100. Kenyataan ini tentu saja memprihatinkan karena berarti masih banyak hal yang harus diperbaiki guru dan menjadi PR besar dunia pendidikan Indonesia. Tetapi memang guru tidak cukup hanya diuji dengan kemampuan akademik dan kognitifnya saja karena banyak kompetensi lain yang harus dimiliki guru. Salah satunya guru harus mampu menggali potensi anak juga rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Di luar negeri jika ada 10 orang siswa di kelas, maka ke-10 nya angkat tangan bertanya jika diberi kesempatan bertanya. Artinya guru berhasil merangsang keingintahuan mereka. Guru harus berperan banyak tidak hanya mendidik, memberi motivasi dan semangat bahkan menggerakan siswa.
Sebagai contoh pendidikan di negara Finlandia yang dipandang sebagai negara dengan pendidikan dasar dan menengah paling bagus di dunia. Di sana guru menjadi profesi yang paling dihargai dan diidam-idamkan. Ada 3 hal pokok yang berhasil diterapkan di Finlandia.
1. Pemerintah berperan secara aktif lewat kebijakan, regulasi dan afirmasi. Artinya ada kebijakan dari pihak pengelola negara yang memang berpihak pada guru.
2. Para guru sendiri juga menghargai profesinya. Mereka bangga menjadi guru bahkan sebagian besar masyarakat Finlandia bercita-cita menjadi guru. Para guru di Finlandia menjalani profesi ini dengan penuh pengabdian dan cinta. Mereka Mengajar dengan bahagia.
3. Masyarakat memandang guru sebagai profesi yang bermartabat. Masyarakat di sana melihat para guru tidak pernah berhenti membaca, belajar dan mengikuti perkembangan informasi. Minimal jenjang pendidikan guru di Finlandia adalah S2 dan ada program khusus mengikuti pendidikan berkelanjutan.
Indonesia dengan penduduk berjumlah 250 juta jiwa, ternyata 43% nya adalah anak-anak dengan umur 25 tahun ke bawah. Inilah yang dinamakan dengan bonus demografi, di mana usia produktif jauh lebih banyak dari non produktif (usia tua). Ini merupakan peluang dan kesempatan besar bagi para guru Indonesia untuk mempersiapkan generasi emas di masa mendatang. Jika ke-3 faktor penting di atas juga mampu dilaksanakan di negara kita maka akan optimis terjadi peningkatan guru yang berkualitas, apalagi anggaran sertifikasi guru mengambil porsi besar dalam anggaran pendidikan di Indonesia dengan capaian hampir 93 trilyun.
Dirjen Pendis juga menekankan bahwa salah satu prioritas dalam RPJMN adalah memperbaiki program dan kualitas guru. Pemerintah mencanangkan target rata-rata nilai kompetensi guru untuk tahun 2019 adalah 80. Mampukah guru-guru Indonesia khususnya Guru PAI mencapainya? Semoga. Semuanya butuh kerja keras.
(wikan/dod)
Bagikan: