Oleh: H. Wahyu Iryana
Trainer Moderasi Beragama. Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah pada pertengahan 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada dilema moral dan strategis: apakah akan berdiri sebagai penonton yang hanya bersuara lewat kecaman retoris, atau tampil sebagai pemain aktif yang memanfaatkan seluruh kapital diplomatiknya untuk menciptakan solusi damai. Serangan Israel ke Rafah yang menewaskan ribuan warga sipil, disusul oleh respons balistik Iran, telah membawa kawasan ke ambang perang besar. Amerika Serikat, dalam respons khasnya, mempertegas dukungan militernya kepada Israel. Dunia Islam pun terbelah, sebagian bersikap reaktif, sebagian lainnya diam membisu.
Situasi ini menuntut suara yang rasional, tenang, dan bermoral. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki posisi geopolitik yang unik dan berpotensi menjadi penengah yang kredibel. Tidak seperti negara-negara Arab yang terikat pada rivalitas sektarian dan kepentingan ekonomi, Indonesia tampil sebagai negara mayoritas Muslim yang demokratis, pluralistik, dan tidak memiliki jejak kolonial terhadap bangsa lain. Modal inilah yang membuat suara Indonesia dirindukan dalam diplomasi global yang saat ini cenderung stagnan dan penuh kepentingan sempit.
PBB melalui Sekretaris Jenderalnya, António Guterres, menyebut situasi Palestina sebagai kegagalan moral diplomasi dunia. Dunia telah kehilangan keberanian untuk menghentikan penderitaan yang terus berlangsung. Tokoh senior Palestina, Mustafa Barghouti, menyatakan bahwa rakyat Palestina tidak lagi membutuhkan simpati, melainkan solidaritas strategis yang nyata dan konsisten. Di sinilah, Indonesia memiliki ruang dan peluang untuk menjadi lebih dari sekadar negara pengutuk, melainkan penggagas solusi.
Politik luar negeri Indonesia yang mengusung prinsip bebas dan aktif sesungguhnya membuka jalan untuk memainkan peran sebagai mediator netral, namun berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks konflik Israel–Palestina dan Iran–AS, netral bukan berarti diam atau cuci tangan, melainkan keberanian untuk menjadi jembatan damai antara dua kutub yang saling bermusuhan. Jalan tengah ini, jika diambil dengan penuh ketegasan dan kecerdasan, bisa menjadikan Indonesia sebagai motor rekonsiliasi dunia Islam dan perdamaian global.
Secara faktual, Indonesia memiliki beberapa modal utama yang bisa dijadikan landasan. Pertama, hubungan diplomatik Indonesia dengan Iran, negara-negara Teluk, dan Amerika Serikat relatif stabil dan bebas dari ketegangan sejarah. Kedua, meski tidak memiliki hubungan formal dengan Israel, posisi ini justru membuat Indonesia lebih dipercaya oleh rakyat Palestina dan negara-negara Muslim lainnya. Ketiga, kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN serta partisipasinya dalam G20 menjadikannya negara berkembang yang didengar suaranya dalam forum global. Keempat, kekuatan masyarakat sipil keislaman Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan aset diplomatik non-negara yang dapat digerakkan untuk membangun komunikasi lintas mazhab dan etnis.
Sebagai negara yang memiliki legitimasi moral dan modal diplomasi, Indonesia dapat memulai dengan memprakarsai forum perdamaian negara-negara Muslim yang bebas dari polarisasi blok. Forum ini dapat menyatukan negara-negara seperti Turki, Pakistan, Qatar, Malaysia, dan Tunisia, untuk merumuskan satu suara bersama yang berbasis pada penghentian kekerasan dan perlindungan warga sipil. Dalam forum ini, Indonesia tidak harus tampil sebagai pemimpin tunggal, tetapi sebagai fasilitator dialog yang imparsial dan bersuara jernih.
Langkah berikutnya adalah mendorong pembentukan tim pemantau perdamaian berbasis multilateral yang melibatkan PBB dan negara-negara Islam non-konfrontatif. Tim ini tidak sekadar menuntut gencatan senjata, tetapi juga bertugas mengawasi pelaksanaan penghentian kekerasan dan menjamin bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, Tepi Barat, dan wilayah terdampak lainnya. Indonesia juga dapat menginisiasi resolusi darurat Majelis Umum PBB yang menuntut investigasi independen terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan perang yang terjadi dalam konflik ini.
Data dari Amnesty International dan Human Rights Watch menyebutkan bahwa hingga Juni 2025, korban tewas di Palestina mencapai lebih dari 39.000 jiwa, dengan 70 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sementara itu, Iran yang membalas dengan serangan rudal ke wilayah Israel telah menyebabkan ratusan korban jiwa dari kalangan militer dan sipil. Dunia menyaksikan krisis kemanusiaan, tetapi tidak ada satu kekuatan besar pun yang benar-benar mendorong penyelesaian yang adil dan berkelanjutan.
Di titik inilah, kekuatan diplomasi keumatan Indonesia mesti dimaksimalkan. Pemerintah dapat menggandeng ormas-ormas Islam besar untuk membentuk Komite Ulama Internasional yang mendesak penyelesaian konflik Timur Tengah dengan pendekatan etis, teologis, dan nonsektarian. Komite ini dapat menginisiasi dialog ulama lintas mazhab antara Sunni dan Syiah, serta menolak kekerasan sebagai instrumen penyelesaian masalah. Dalam perspektif Islam, menjaga nyawa satu manusia sama nilainya dengan menjaga seluruh umat manusia. Prinsip ini harus menjadi dasar dari diplomasi Indonesia.
Selain itu, Indonesia dapat menggerakkan diplomasi budaya dan narasi damai melalui kampanye internasional berbasis anak muda, media sosial, dan kesenian. Festival Budaya Islam Dunia, misalnya, dapat diselenggarakan di Jakarta atau Bandung, mengundang pemuda dari Palestina, Iran, Israel, serta negara-negara Muslim lainnya untuk berdialog dan mengekspresikan keinginan damai melalui seni dan karya. Diplomasi publik semacam ini jauh lebih kuat dari sekadar pernyataan pers pemerintah.
Indonesia juga dapat menjadi mediator informal dalam hubungan yang masih tegang antara Iran dan negara-negara Arab. Sejak Arab Saudi dan Iran kembali membuka hubungan diplomatik, peluang rekonsiliasi sektarian mulai terbuka. Indonesia dapat menawarkan ruang netral untuk mempertemukan elite politik dan ulama dari kedua belah pihak dalam dialog keumatan yang lebih mendalam. Dalam konteks ini, pengalaman Indonesia dalam merawat keragaman mazhab, suku, dan agama bisa menjadi contoh konkret bahwa harmoni bukan utopia.
Upaya Indonesia bukan tanpa preseden. Indonesia pernah menjadi aktor penting dalam perdamaian GAM–RI melalui fasilitasi internasional di Helsinki. Indonesia juga aktif mengirim pasukan perdamaian ke Lebanon, Sudan, dan Kongo. Moderasi beragama Indonesia bahkan dijadikan model oleh negara-negara Asia Tengah dan Afrika. Dengan sejarah seperti ini, sudah semestinya Indonesia naik kelas dalam percaturan diplomasi global, bukan hanya sebagai peserta, tetapi sebagai penggerak.
Ketika dunia Islam terpecah dan kekuatan besar dunia hanya memikirkan kepentingannya sendiri, suara seperti Indonesia sangat dibutuhkan. Indonesia tidak perlu menjadi negara adidaya militer untuk memimpin. Cukup dengan konsistensi, moralitas, dan strategi, Indonesia bisa menjadi penyejuk di tengah konflik yang membara. Bung Karno pernah menegaskan bahwa perdamaian dunia bukan hanya urusan negara besar, tetapi tanggung jawab negara-negara yang berpikir besar. Kini, saatnya Indonesia berpikir besar dan bertindak besar.
Gus Dur pernah berpesan bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Maka di atas semua kepentingan strategis dan ekonomi, diplomasi Indonesia harus tetap berpijak pada nilai-nilai luhur itu: melindungi yang lemah, menyuarakan keadilan, dan mencegah pertumpahan darah. Di tengah dunia yang makin keras dan polar, suara Indonesia yang moderat dan bersih dari ambisi ekspansi adalah harapan yang nyata.
Indonesia tidak perlu menggertak, cukup menunjukkan bahwa damai itu mungkin, dan perdamaian adalah kemuliaan yang bisa dicapai bersama. Jalan tengah yang rasional dan aktif bukanlah sikap lemah, melainkan pilihan berani untuk menjadi juru damai dalam dunia yang kehilangan arah.
Perjalanan menuju perdamaian bukan soal cepat atau lambat, tapi soal siapa yang mau memulai. Dan Indonesia, dengan segala modal dan martabatnya, layak menjadi yang pertama melangkah.
Bagikan: