oleh : Rahmad Syah Putra
(Akademisi & Peneliti dalam Bidang Ilmu Sosial dan Keislaman)
Pada hari Kamis 26 Oktober 2023, Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama (PKMB)Universitas Islam Negeri Ar-Raniry menggelar suatu kegiatan Diskusi bertajuk Spirit Moderasi dalam Buku Sejarah Mati di Kampung Kami dengan menghadirkan pembedah utama yaitu Reza Idria, Ph.D (Akademisi dan Alumni Harvard University, USA) serta di moderatori langsung oleh Drs. Saifuddin A. Rasyid, M.LIS (Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry Banda Aceh).
Menarik ketika membaca buku yang berjudul “Sejarah Mati di Kampung Kami”. Buku ini dikarang oleh Nezar Patria seorang wartawan, aktivis, dan penyair yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Buku setebal 204 Halaman itu diterbitkan oleh Penerbit Pojok Baca dan Tanda Baca Yogyakarta tahun 2023. Dalam buku tersebut Nezar menuliskan terhadap berbagai catatan tentang Aceh tentang pengalamannya sehari-hari termasuk kisah legendaris di kampungnya yaitu sikap harmonis masyarakatnya bersama pemeluk agama lain saat sebelum bencana tsunami.
Berbicara menyangkut moderasi beragama tentunya menjadi tema penting yang perlu diangkat, sebab penggunaan term moderasi beragama lebih sebagai upaya untuk mengambil “jalan tengah” (tawasuth) dalam menyikapi beragam persoalan keberagamaan, baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan persoalan lainnya, seperti politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Nah, ketika membaca tulisan dalam buku Nezar Patria ini, ternyata terungkap bahwasannya sebelum tsunami nilai-nilai moderasi beragama di Aceh sejak lama telah ada.
Nezar menceritakan di kampungnya yang bernama “Peunayong” dalam keseharian masyarakatnya sangat harmonis dan terbuka, mereka bisa hidup berdampingan dengan berbagai agama, suku maupun etnik. Mereka harmonis dalam keragaman, toleran dalam menjalankan kehidupan beragama, dan saling menghargai perbedaan.
Gampong Peunayong yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh tersebut merupakan kawasan yang cukup beragam, umumnya mereka berasal dari berbagai daerah. Pada masa lampau daerah ini menjadi pintu masuknya berbagai tamu-tamu asing baik dari Eropa hingga Tionghoa, oleh sebab itu daerah ini dahulu hingga kini menjadi tempat dengan beragam etnis dan budaya. Secara mayoritas, kawasan ini didiami oleh Keturunan dari Tionghoa yang sudah hidup turun temurun sehingga kawasan ini juga dapat disebut sebagai kawasan pecinan atau Chinatown-nya Aceh.
Orang-orang Aceh hidup bertetangga dengan warga Tionghoa, plus sejumlah keluarga India, serta suku lain. Jejak perjumpaan orang-orang Tionghoa dengan warga setempat sangat mudah ditemukan dalam beragam warisan kebudayaan, dan bahkan hingga sekarang masih terdokumentasi dengan baik.
Di belakang rumahnya sendiri, Nezar menceritakan terdapat satu keluarga keturunan Tionghoa yang telah lebih dahulu menetap di Peunayong, Namanya A Lung, sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha ‘tahu’, dan menurut riwayat bahwa leluhur keluarga A Lung itu datang ke Aceh saat era Perang Aceh berkecamuk dahulu.
Tetapi walau pun demikian, menurut Nezar walau pun berbeda agama dan tinggal dalam satu kampung. Nezar mengakui tetangganya tersebut sangatlah baik. Nezar juga menceritakan bahwa rumahnya berbatas dengan Meunasah (Bahasa Indonesia=Musala) Al-Anshar. Hebatnya, seketika listrik kerap padam, A Lung tetangganya Nezar yang berbeda agama itu bahkan sering membantu untuk menghidupkan petromaksnya saat listrik mati. Dia bahkan membawa lampu pompa itu ke pintu Meunasah agar warga yang sedang shalat magrib atau isya tidak beribadah dalam keagaan gelap. Namun kondisi tersebut berakhir ketika digulung oleh gelombang tsunami setinggi lima meter pada hari Minggu 26 Desember 2004. Rumah tetangganya yang Bernama A Lung itu pun hancur berhamburan. Nezar pun tidak tahu, apakah A Lung dan keluarganya selamat.
Membaca cerita yang dituliskan oleh Nezar tersebut, tentu menjadi catatan penting bagi kita untuk mengetahui tentang Aceh masa lalu, terutama sebelum tsunami melanda. Apa yang dituliskan oleh Nezar tersebut merupakan kisah nyata yang dialaminya. Sehingga dari kisah tersebut menjadi suatu pelajaran bagi kita untuk memahami bagaimana kondisi masyarakat Aceh yang sangat harmonis bersama pemeluk agama lain. Karena itu, melalui buku tersebut kitab isa mengenang bahwa terkait moderasi beragama, dalam tulisannya Nezar Patria sangat jelas mengungkapkan bahwa moderasi beragama di Aceh telah sedemikian mengakar dalam konteks kehidupan beragama, dan telah lama dipraktikkan oleh para pendahulu kita selama ini di Aceh, baik dalam hubungan muamalah mau pun konteks lainnya.
Hal ini terbukti, sampai sekarang sebagian besarnya pemeluk budha yang merupakan keturunan china maupun agama lain, masih hidup dengan damai di kawasan ini. Di sini, dapat ditemukan sebuah vihara Dharma Bakti yang cantik untuk sarana beribadah umat budha, selain itu juga terdapat bangunan masjid maupun rumah ibadah lain
Dalam buku yang ditulis oleh Nezar Patria akan bisa membantu melihat bagaimana kondisi dan peristiwa masa lalu. Karena itu menurut hemat penulis sangat penting bagi kita untuk mengetahui terkait sejarah “kampung” kita dan kondisi masyarakatnya, terutama menyangku kondisi keagamaannya, dengan mengetahui keadaan kampung kita duhulunya, maka akan dapat menjadi acuan untuk membangun kampung kita dengan kehidupan masyarakat yang lebih baik baik, terutama dalam menjaga kerukunan antar agama, etnit, maupun suku.
Sangat penting kita terapkan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan skita sehari-hari, sebab moderasi beragama bukan hanya suasana rukun antar pemeluk agama, tetapi memberikan edukasi dan bimbingan kepada masyarakat agar kerukunan tertanam dalam kesadaran masyarakat masing-masing individu, bukan sekedar karena ada intruksi dari pemerintah dan formalitas belaka. Karena dengan kondisi masyarakat rukun dan damai pasti akan terwujud masyarakat yang sejahtera. Semoga kampung kami Aceh selalu damai dalam perbedaan, dan aman hingga akhir hayat kami mati di kampung kami.
Tags:
PKMBBagikan: