(resensi buku)
Tantangan Kepemimpinan Digital
Judul Buku: Digital Leadership (Kepemimpinan Digital)
Penulis: Assoc. Prof. Dr. H. Vip Paramarta, Drs., M.M., CFrA. Prof. Dr. Hj. Sedarmayanti, M.Pd. Denok Sunarsi, S.Pd., M.M., CHt. Dr. Farida Yuliaty, S.H., S.E., M.M.
Penerbit: DeepPublish
Jumlah halaman: xii+226 hal
Tahun Penerbitan : 2022
Pada April 2023, Hans Vestberg, Chairman dan CEO Verizon menyatakan tekadnya untuk membuka akses informasi gratis ke majalah TIME bagi seluruh pembacanya. Saat menyampaikan langkah ini, majalah ternama di dunia tersebut memiliki jumlah pengakses berbayar sebanyak 105 juta dari seluruh penjuru dunia. Verizon, raksasa telekomunikasi Amerika, dan majalah TIME lantas bekerja sama untuk mengambil sikap terhadap kondisi tersebut dengan kesadaran bahwa masih banyak publik yang tidak mampu mengakses informasi yang bermutu (karena nilai berbayarnya), lalu berkomitmen untuk menerabasnya dengan akses gratis.
Komitmen yang digambarkan itu tidak sembarangan diberikan. TIME dan Verizon membebaskan akses pembaca secara gratis untuk arsip mereka dari tahun 1923 secara digital. Mereka berkomitmen untuk menyasar dan memberikan layanan bagi jutaan publik yang termarginalisasikan secara digital agar dapat terkoneksi dengan optimal pada 2025.
Dari langkah Vestberg dan TIME, salah satu garis tebal yang dapat diberikan atas kebijakan yang dijalankan itu adalah digitalisme dan peran penting kepemimpinan di dalamnya dalam merespons salah satu isu krusial terkini tersebut. Oleh karenanya, mendalami dan memahami konsep digital leadership menjadi penting untuk dilakukan berbagai pihak terkait.
Pada bulan yang sama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan bedah buku "Digital Leadership (Kepemimpinan Digital)". Penyelenggaraan acara ini didasarkan pada tujuan untuk menambah wawasan tentang pentingnya digital leadership serta meningkatkan kompetensi kepemimpinan digital. Disebutkan pula bahwa digital leadership diperlukan untuk mendorong percepatan transformasi dalam instansi pemerintah, khususnya Kementerian Agama.
Buku yang ditulis Assoc. Prof. Dr. H. Vip Paramarta dkk. ini menawarkan berbagai hal strategis terkait digital leadership. Di dalamnya tersaji urgensi digital leadership yang bukan hanya dipandang selaku pemahaman tentang peranan dan fungsi kepemimpinan dalam suatu organisasi. Lebih penting dari itu, buku ini mendorong semua pihak untuk memanfaatkan data dalam konteks menggerakkan organisasi ke arah yang lebih baik. Buku ini juga memberikan materi yang relevan dengan konsep leadership secara umum. Hal demikian menjadi bagian dari keilmuan manajemen dan menjadi alternatif pegangan bagi berbagai pihak, terutama pemegang kebijakan, sebagai referensi dalam pelaksanaan tugas manajerialnya. Artikel ini beranjak dari momentum bedah buku itu seraya mendeteksi eksperiementasi pendekatan dan kebijakan terkait.
Pembahasan dalam buku ini terdiri dari Konsep Digital Leadership, Tantangan dan Urgensi transformational Leadership, Transformational Leadership dalam Perspektif Historis Teori Kepemimpinan, Gaya Kepemimpinan Masa Depan, Transformational Leadership Berbasis Applied Neuroscience, Transformational Leaders dan Catalytic Collaboration, Transformational Leadership sebagai Sustainable Leadership, Kepemimpinan Ekonomi Untuk Membangun Bangsa yang Unggul, Kepemimpinan Abad 21, dan Teori dan Gaya Kepempimpinan.
Mengenai konsep digital leadership, penulis buku ini menyampaikannya sebagai kemempuan pemimpin dalam mengelola, mengarahkan, dan memanfaatkan teknologi digital untuk mencapai tujuan organisasi. Semangat yang ditawarkan dalam buku ini adalah optimisme dalam menghadapi dan mengeloal disruspsi yang diakibatkan oleh digitalisme. Hal demikian terlihat dari beragam keyakinan yang tersampaikan bahwa teknologi digital telah berhasil merombak peradaban dunia pada semua lini kehidupan.
Tentang transformasi digital, buku ini mengidentifikasinya sebagai transformasi kegiatan bisnis dan organisasi, proses, kompetensi, dan model (semua aspek bisnis) dengan cara mengefektifkan jenis inovasi dan kretivitas baru dalam domain tertentu secara terus menerus. Langkah tersebut ditempuh melalui pemanfaatan aplikasi dan integrasi teknologi digital disertai perubahan budaya untuk dapat mempercepat dampak di seluruh lapisan masyarakat dan mangatasi disrupsi yang terjadi.
Buku tentang konsep manajemen dan self improvement banyak ditemui di lapangan. Salah satu pembeda buku ini dari buku semacam lainnya adalah pendekatan tentang neuroscience dalam transformasi digital. Neuroscience ini penting sebagai katarsis terhadap dinamika teknologi dan digitalisme yang demikian cepat. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah tersebut meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan publik untuk memakai dan memanfaatkan internet sudah demikian besar yang dapat diidentifikasi sebagai peluang positif guna mendukung digitalisme secara umum.
Dalam diskusi bedah buku ini juga terungkap bahwa terdapat gap antara digitalisme dan mindset digitalisme. Disampaikan bahwa pada salah satu pemerintah provinsi terdapat layanan digital berjumlah hampir 2000 layanan dalam bentuk aplikasi digital. Mekanismenya pun sudah berupa satu atap layanan (one stop service). Untuk menunjang layanan ini, pemprov tersebut bahkan melengkapi diri dengan fasilitas Closed Circuit Television (CCTV) yang ditempatkan di berbagai wilayah dan terhubung dengan pusat perintah (command center) di salah satu ruang kerja khusus.
Mekanisme ini sejalan dengan amanah untuk membentuk arsitektur pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur Pemerintahan Berbasis Elektronik Nasional.
Sayangnya, sistem komprehensif yang dikembangkan tersebut tidak disertai dengan pemahaman pola pikir (mindset) yang memadai. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa layanan digital tidak diimbangi dengan pendekatan humanistik dan riil sesuai kebutuhan warga. Akibatnya, mindset digitalisme ini mengandaikan adanya kesadaran bahwa implementasi konsep digital perlu dikendalikan oleh pola pikir manusia yang menggerakkannya. Kendali yang dimaksud bukan hanya bagaimana agar sistem yang dikembangkan tersebut dapat berjalan dengan maksimal, namun juga berdampak secara riil bagi warga.
Sebagai catatan pembanding atas buku ini, semestinya digitalisme didududkkan dan dipaahmi secara utuh dulu sebagai potensi sekaligus keberadaan risiko di dalamnya. Perkembangan digital yang masif seperti ini, bahkan disebut sebagai bagian dari sosialisme teknologi atau techno-socialism dalam pandangan Brett King (The Rise of Technosocialism, How Inequality, AI, and Climate Change will Usher in A New World, 2021), karena kemampuannya membentuk lingkar kepentingan dan jejaring beragam hal, termasuk digitalisme.
Namun demikian, risiko digitalisme, khususnya dalam layanan publik, perlu juga diwaspadai dan diantisipasi agar tidak dicukupkan semata sebagai aspek digital tanpa pendekatan layanan humanistik sesungguhnya dan ketepatan menyikapi penggunaannya. Dalam relasi demikian, King menilai bahwa peran pendidikan yang memberi pendasaran tepat tentang aspek humanisme, dalam relasinya dengan teknologi, menjadi sangat penting. Pendekatan ini untuk mengontrol laju teknologi itu sendiri agar tidak menjadi "tuhan" baru untuk segala urusan bagi manusia. Buku Digital Leadership ini sudah mengantisipasi perlunya langkah dan peran akal (dalam Batasan neurosaintifik) namun belum secara spesifik melihat pentingnya pendidikan sebagai koridor sistemik dalam penanaman aspek akal tersebut.
Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)
Bagikan: