Di tengah-tengah perenungan Ramadhan, pertanyaan kritis muncul dalam benak saya sebagai pendidik guru matematika: Mengapa kita mengajar dengan cara yang kita anut saat ini? Apakah metode ini sekedar hasil dari kebiasaan yang terbentuk seiring waktu, atau adakah niat yang lebih mendalam yang mengarahkan dan membentuk praktik pendidikan kita?
“Niat” sebuah konsep dalam ajaran Islam yang mengacu pada tindakan sadar dan bertujuan. Bagaimana prinsip ini dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan berorientasi tujuan? Dalam konteks pendidikan, niat mengarah pada pengajaran yang dilakukan bukan sekedar sebagai pemenuhan silabus, tetapi sebagai aktivitas yang memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebagai contoh, saya mencermati pengalaman saya melakukan wudhu selama Ramadhan, di mana setiap langkah dilakukan dengan niat tertentu, mencerminkan pendekatan yang dipikirkan dengan matang yang kita perlukan dalam pendidikan. Mengapa membersihkan tangan, wajah, telinga, dan lain-lain? Untuk menyucikan tindakan kita. Demikian pula, mengapa kita mengajar matematika? Yaitu untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan melatihkan keterampilan memecahkan masalah.
Sebagai pendidik, sangat penting untuk beralih dari aspek mekanis mengajar, serupa dengan pengalaman berwudhu atau sholat. Apakah pengajaran kita didorong oleh niat, atau telah menjadi rutinitas belaka? Refleksi ini kritis, terutama dalam pendidikan guru, di mana kita perlu menanamkan tidak hanya pengetahuan tetapi juga pemahaman tentang “mengapa” di baliknya. Misalnya, menyematkan niat untuk menumbuhkan berpikir kritis dalam matematika mengajarkan siswa tidak hanya “bagaimana” tetapi juga “mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan”.
Dalam rencana pelajaran terbaru saya untuk calon guru sekolah dasar di Fakultas Pendidikan, Universitas Canberra, saya bertujuan mewujudkan esensi 'niat' melalui pembelajaran diferensiasi. Pendekatan ini diintegrasikan dengan cermat ke dalam kurikulum. Misalnya, pelajaran dimulai dengan mengundang calon guru berjalan kaki secara berkelompok di lingkungan kampus selama 10 menit sambil berbagi pengalaman pribadi mereka tentang pecahan serta mengamati obyek-obyek di sekitar mereka yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran pecahan di sekolah dasar. Ini, mendorong lingkungan belajar yang reflektif dan personal. Setelah itu, serangkaian kegiatan luar ruangan yang hands-on dirancang dengan cermat untuk mengubah konsep matematika abstrak menjadi pengalaman nyata. Ini termasuk menggunakan tali untuk menggambarkan pecahan, menggunakan potongan-potongan pipa untuk belajar pecahan desimal dan menggabungkan aplikasi praktis, seperti menggunakan alat masak untuk latihan pecahan berbasis memasak. Kegiatan-kegiatan ini bukan hanya latihan dalam teori matematika, tetapi dipilih dengan hati-hati untuk melayani berbagai gaya belajar, memastikan pemahaman yang lebih dalam dan lebih kontekstual. Metode pengajaran inovatif ini melampaui perencanaan pelajaran tradisional, menjadikan pendidikan sebagai perjalanan yang sangat bermakna dan melibatkan setiap pelajar dengan cara yang unik.
Ramadhan, bulan yang didedikasikan untuk introspeksi dan re-evaluasi tujuan, menawarkan wawasan yang mendalam bagi pendidik. Periode ini mendorong perubahan pola pikir - dari mengajar secara kebiasaan menjadi pendidikan yang sengaja dan berorientasi tujuan. Perubahan seperti ini tidak hanya melibatkan siswa dengan lebih efektif tetapi juga berkontribusi pada perkembangan holistik mereka.
Pertimbangkan dampak transformatif dari penerapan prinsip 'niat' dalam pengajaran, yang bisa sangat mendalam bahkan di luar konteks keagamaan tertentu. Ketika pendidik menyuntikkan pelajaran mereka dengan niat dan tujuan yang jelas, hal ini dapat menyebabkan peningkatan keterlibatan dan pemahaman siswa. Sebagai contoh, dalam kelas matematika yang berfokus pada pemecahan masalah, jika siswa memahami tujuan di balik mempelajari konsep yang rumit, ini kemungkinan akan meningkatkan motivasi dan keterlibatan mereka. Mereka mulai melihat pelajaran tidak hanya sebagai kebutuhan akademik, tetapi sebagai alat yang relevan untuk menavigasi tantangan dunia nyata. Perubahan ini, terinspirasi dari refleksi tentang “niat” di bulan Ramadhan, memiliki potensi untuk semua konteks pendidikan, terlepas dari latar belakang budaya atau agama.
Bayangkan sebuah proyek di mana siswa ditugaskan untuk merancang solusi untuk masalah nyata di komunitas mereka. Jika niat yang mendasarinya adalah untuk mengajarkan tidak hanya prinsip-prinsip desain dan teknik, tetapi juga untuk menanamkan tanggung jawab sosial dan inovasi, maka pengalaman belajar siswa menjadi lebih kaya. Siswa tidak hanya didorong untuk terlibat dengan materi akademik, tetapi juga untuk terhubung dengan komunitas mereka, berpikir kritis, dan mengembangkan empati.
Skenario-skenario ini menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip niat dan refleksi, yang sentral dalam Ramadhan, secara universal dapat meningkatkan praktik pendidikan. Prinsip-prinsip ini, yang berakar dalam ajaran Islam, menawarkan kerangka pikir yang berharga dan dapat disesuaikan di berbagai setting pendidikan, menjanjikan perjalanan pembelajaran yang lebih holistik dan berdampak.
Meskipun mengintegrasikan konsep yang berakar secara spiritual seperti niat dalam pendidikan mungkin tampak kontroversial, fokus di sini bukan pada doktrin agama. Sebaliknya, ini tentang menumbuhkan kesadaran tentang tujuan yang eksplisit dan keterlibatan secara bermakna dalam aktivitas pendidikan. Ini merupakan prinsip universal, melampaui batas konteks keagamaan.
Untuk mengintegrasikan niat dalam pengajaran kita, praktik reflektif adalah kunci. Para pendidik penting untuk setiap saat mempertanyakan niat atau pun tujuan di balik metode pengajarannya dan hasil yang diinginkan untuk siswanya. Merancang kegiatan kurikulum yang menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan pribadi dan profesional masa depan siswa, membuat pendidikan lebih relevan dan bermakna.
Kepada rekan-rekan pendidik, administrator, dan pembuat kebijakan, mari kita merenungkan prinsip-prinsip niat yang disoroti selama Ramadhan. Pertimbangkan bagaimana ini dapat memperkaya praktik pendidikan kita. Prinsip-prinsip ini, meskipun berakar dalam ajaran Islam, berlaku secara universal dan dapat meningkatkan secara signifikan pengalaman pendidikan.
Oleh karena itu, Ramadhan mengajarkan kita nilai introspeksi dan tujuan. Dengan menganut prinsip-prinsip introspeksi dan tujuan yang terkandung dalam ajaran Ramadhan, kita tidak hanya memperkaya pengalaman belajar siswa kita tetapi juga memperkaya perjalanan kita sendiri sebagai pebelajar sepanjang hayat. [849 words]
Tags:
ramadhanBagikan: