Jakarta (Kemenag) – Kementerian Agama menekankan pentingnya pendekatan implementatif dibanding sekadar pendekatan doktrinal atau seremonial. “Kita sudah punya banyak referensi dan konsep tentang lingkungan. Tapi masalahnya selalu ada di implementasi,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno.
Hal demikian ditegaskannya dalam Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Buku Induk Pendidikan Ramah Iklim dan panduan implementasinya, Kamis (12/6/2025). Kegiatan ini menjadi langkah awal konkret dalam mendorong kesadaran lingkungan hidup sebagai bagian integral dari pendidikan Islam di Indonesia.
Ia menambahkan bahwa program pendidikan ramah iklim tidak boleh hanya menjadi simbol politik hijau (green politics), melainkan harus hadir sebagai gerakan kesadaran yang tumbuh dari hati nurani. “Menanam pohon bukan seremoni, tetapi kebutuhan hidup. Anak-anak kita harus diajari menanam dengan tangan mereka sendiri, bukan sekadar hadir di acara tanam pohon berjamaah,” tegasnya.
Dalam arahan pembukanya, Dirjen juga mengusulkan agar kesadaran menjaga lingkungan menjadi bagian dari rukun beragama. Menurutnya, perlindungan lingkungan dapat disandingkan dengan prinsip menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagaimana diajarkan dalam maqashid syariah. “Kita harus menambahkan satu lagi: menjaga lingkungan sebagai tanggung jawab teologis,” ungkapnya.
“Kita ingin anak-anak tidak hanya bisa menanam, tapi juga merawat. Seperti pernikahan, bukan hanya akadnya, tapi bagaimana merawatnya agar tumbuh bahagia,” pungkas Amien, menutup dengan analogi yang menginspirasi.
Dalam laporan kegiatan, Abdul Munir dari tim INOVASI menjelaskan bahwa FGD ini bertujuan menyusun dua dokumen strategis, yakni buku induk dan panduan implementasi perubahan iklim dalam pendidikan Islam. Kegiatan ini merupakan amanah langsung dari Dirjen Pendis sebagai bagian dari penguatan program Eko-Teologi yang menjadi prioritas Kementerian Agama.
INOVASI sendiri telah menyediakan bantuan teknis dan tenaga ahli, serta siap memfasilitasi kerja sama lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk memperluas dampak program ini.
FGD ini menghadirkan narasumber lintas disiplin dari akademisi, peneliti, hingga pengawas madrasah. Di antaranya, Prof. Badrul Tamam dari PTIQ yang sejak 2004 telah mengembangkan konsep Eko-Teologi, serta Irfan Amali, praktisi yang banyak terlibat dalam gerakan lingkungan di lapangan.
Turut hadir pula Ibu Riska dari UIN Jakarta yang mempresentasikan panduan lingkungan berbasis proyek di tingkat SD, serta Pak Zurni, Ketua Pokja Wasnas, yang memberikan perspektif dari sisi pengawasan dan manajemen satuan pendidikan.
FGD ini menjadi bagian dari ikhtiar besar Ditjen Pendis dalam membumikan isu lingkungan ke dalam praktik pendidikan sehari-hari. Pendidikan Islam ke depan diarahkan tidak hanya membentuk insan religius, tetapi juga agen perubahan yang sadar akan pentingnya menjaga bumi untuk generasi mendatang.
Bagikan: