Bogor (Pendis) - "Pengembangan Islam Rahmatan Lil`Alamin (ISRA) harus menjadi mainstreaming di lingkungan Pendidikan Islam," tegas Moh. Isom Yusqi, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, dalam pembukaan kegiatan Pengembangan Islam Rahmatan Lil`Alamin dalam Perspektif Multikultural (Angkatan 1) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam di Bogor, 17-19 Maret 2017.
Menurut doktor jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ISRA harus dipertahankan dan disebarkan hingga terinternalisasi ke seluruh siswa di sekolah dan mahasiswa di PTU. Jika di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dikenal program deradikalisasi, maka di Pendis dikenal dengan mainstreaming moderasi Islam. Pengembangan ISRA ini menjadi penting, mengingat dalam perkembangan terakhir, ideologi radikalisasi agama kian marak yang kemudian memicu upaya politisasi agama yang demikian dahsyat. Untuk itu, perlu dilakukan counter-narasi. Menurut pria kelahiran Surabaya, 15 April 1968 ini, politisasi agama tidak boleh untuk dilakukan. "Visi politik itu sangat temporer dan profan, sementara visi agama adalah abadi dan sakral. Menggunakan agama untuk kepentingan politik tentu menjadi bias, kabur, dan mengurangi makna agama," ujar Isom.
Dalam kesempatan itu, guru besar di bidang hadis ini menuturkan pengalamannya dalam menguji disertasi, dengan mengangkat Tafsir Fi Zhilalil Quran karya Sayid Quthb. Dalam disertasi itu dijelaskan, sebuah literatur itu memiliki ideologi yang dikembangkan oleh sang penulisnya. Jika tafsir Zamakhsyari, misalnya, dinilai memiliki ideologi Mu`tazilah. Tafsir Al-Mizan karya Thabathaba`i dinilai mengandung ideologi Syi`ah. Demikian juga dengan Tafsir Fi Zhilalil Quran ini mengandung ideologi yang kemudian membangun sebuah sistem yang mengarah satu klaim kebenaran tunggal.
Sebagaimana dimaklumi, Sayid Quthb merupakan second line dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Ia setidaknya mengembankan 3 konsep, yakni hakimiyah, jahiliyah, dan jihad. Dalam konsep hakimiyah, dikembangkan semua ayat-ayat yang terkait dengan Daulat Islamiyah yang dianggapnya bersifat absolut dan oleh karenanya harus berbentuk Daulat Ilahiyah. Oleh karenanya, ia kemudian mengharuskan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah. Sebab, semua sistem dan pranata yang tidak didasarkan atas Daulat Islamiyah merupakan menjadi jahiliyah. Sistem demokrasi merupakan sistem jahiliyah. Demikian juga NKRI yang berdasarkan Pancasila dinilainya ideologi thaghut. Untuk mendirikan khilafah islamiyah, diperlukan dengan melakukan jihad. Untuk melakukan jihad, harus ada al-wala dan al-bara atau sikap setia dan patuh terhadap penafsiran yang bersifat parsial.
Bagi masyarakat awam, propaganda itu dianggap baik, karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang baik. Padahal, persoalan-persoalan perbedaan pandangan, termasuk dalam mendiskusikan konsep negara-bangsa, itu sudah terbiasa. Kita perlu melihat dan mengkaji ulang dengan kitab-kitab ulama, baik tarikh tasyri`, ushul fiqh, ilmu tafsir, maupun disiplin ilmu politik dalam sejumlah literatur.
Menurut Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, diskurus dan persoalan tentang relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia sesungguhnya sudah selesai. Semua ulama dan tokoh bangsa Indonesia ini telah menyepakati bahwa bentuk NKRI ini telah final. Indonesia adalah Indonesia, bukan negara lain. Namun, oleh karena ruang demokrasi yang begitu bebas, diskursus relasi agama dan negara itu kemudian dikoyak-koyak lagi.
Menurut Isom Yusqi, virus-virus radikalisasi agama telah masuk ke dalam lingkungan sekolah dan PTU. Ini adalah tantangan guru dan dosen PAI. "Jangan sampai dosen atau guru PAI itu tidak memiliki kualitas agama yang baik, yang tidak mengetahui ilmu asbabul wurud dan disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga mereka menjadi mudah tergoda dengan virus-virus radikal itu".
Pada bagian lain, Isom Yusqi menyampaikan amanah dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Menurutnya, setidaknya ada 2 (dua) amanah dari harus segera diwujudkan dan kita perjuangkan bersama. Pertama, melakukan advokasi agar persoalan guru PAI dan dosen PAI menjadi kewenangan Kementerian Agama. Baik pengangkatan, karir, kesejahteraan, sertifikasi, maupun hingga akhir kerjanya sebagai PNS itu menjadi kewenangan Kementerian Agama. "Persoalan posisi guru dan dosen PAI harus segera diselesaikan. Sesuai dengan UU 20 tahun 2003 dan PP 55 tahun 2007, semua yang terkait guru dan dosen PAI itu menjadi kewenangan Kementerian Agama. Untuk itu, kita perlu melakukan advokasi itu," papar Isom Yusqi.
Kedua, terkait pengadaan, penggandaan, hingga konten buku-buku PAI baik untuk sekolah maupun PTU menjadi kewenangan Kementerian Agama. "Itu harus menjadi kewenangan kita. Dalam sejumlah pertemuan dengan BAPPENAS dan K/L lain, sudah disampaikan bahwa terkait dengan buku PAI menjadi kewenangan Kemenag dan harus dianggarkan," papar lulusan pondok pesantren Sidogiri Jawa Timur. Selain itu, masalah yang belakangan ini muncul, misalnya, tambahan penghasilan untuk guru PAI yang tidak dibiayai oleh Pemda karena dilarang oleh Permendikbud itu perlu untuk dilakukan komunikasi dengan baik. (swd/dod)
Bagikan: