Bekasi (Kemenag) – Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tengah mempersiapkan langkah strategis untuk menanamkan nilai-nilai wakaf kepada Generasi Z melalui program bertajuk “Dari PAI untuk Indonesia #AyoBerwakaf di Sekolah”. Program ini merupakan bagian dari penguatan budaya filantropi Islam yang inklusif dan moderat di satuan pendidikan.
Sebagai langkah awal, program ini akan diuji coba (piloting) di beberapa sekolah binaan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Tujuannya, membentuk ekosistem wakaf yang sehat, edukatif, dan layak dijadikan model nasional dalam pengelolaan dana sosial Islam berbasis sekolah.
Guna menyosialisasikan program tersebut, Direktorat PAI menggelar Sosialisasi Program Zawa (Zakat dan Wakaf) Goes to School dan Goes to Campus selama tiga hari, 21–23 Mei 2025, di Bekasi. Sebanyak 110 pemangku kepentingan PAI dan Budi Pekerti (BP) hadir dari enam wilayah kota/kabupaten se-DKI Jakarta, meliputi para guru PAI SD, SMP, SMA, dan SMK, serta jajaran struktural Kementerian Agama di tingkat provinsi dan kota.
Salah satu materi kunci dalam kegiatan ini adalah “Literasi Cinta Wakaf Gen Z”, yang dibawakan oleh Eddy Aqdhiwijaya, doktor bidang Social Sciences & Education Policy dari Stanford University sekaligus pegiat filantropi muda.
“Data di lapangan menunjukkan literasi ZISWaf (Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf) masih rendah. Bahkan banyak peserta didik belum bisa membedakan antara zakat dan wakaf,” ungkap Eddy (Kamis, 22/05/2025).
Menurutnya, rendahnya pemahaman ini bukan semata karena kurangnya informasi, tapi juga metode pengajaran yang belum relevan dengan karakter Gen Z yang adaptif, visual, dan suka tantangan.
“Terminologi wakaf masih asing di telinga Gen Z. Branding dan narasi filantropi Islam harus disesuaikan agar tidak terasa eksklusif dan berat,” ujar Eddy yang juga merupakan pendiri Gerakan Islam Cinta.
Ia menekankan pentingnya edukasi berbasis gaya hidup Gen Z, dengan diksi-diksi yang dekat dan bersahabat. Misalnya, mengganti istilah amil dengan fundraiser, volunteer, atau bahkan influencer. “Mereka tidak suka istilah yang terdengar seperti minta-minta. Bagi Gen Z, filantropi adalah ekspresi kepedulian yang menyenangkan dan bermakna,” imbuhnya.
Lebih jauh, Eddy menyebut laporan Bank of America yang memprediksi Gen Z akan menjadi generasi terkaya pada 2035 dengan potensi kekayaan global mencapai USD 74 triliun di tahun 2040. Potensi inilah yang menurutnya harus dikelola dengan menumbuhkan semangat berbagi melalui wakaf.
“Mereka sudah punya empati, suka berbagi, meski penghasilannya belum besar. Artinya, jika dibina sejak dini, Gen Z akan menjadi pionir gerakan wakaf uang yang visioner,” jelasnya.
Ia pun menawarkan strategi penguatan literasi wakaf bagi Gen Z dengan pendekatan tiga langkah: to know (mengenal), to value (memberi makna), dan to act (bertindak nyata).
Program ini menjadi bagian dari visi besar Direktorat PAI untuk menjadikan peserta didik tidak hanya religius, tapi juga berjiwa sosial tinggi, siap menjadi motor perubahan dan pelaku filantropi Islam masa depan yang cerdas dan moderat.
Bagikan: