Semarang (Pendis) --- Gerakan radikalisme dan terorisme mempunyai akar sejarah yang panjang, tidak saja menjadi masalah Islam tetapi hampir semua agama di dunia. Masalah perbudakan dan radikalisme terdapat rujukannya di dalam khazanah pemikiran Islam.
Hal itu dikatakan KH. Yahya Cholil Tsaquf Katib Áam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat membawakan materi Genealogi Ekstremisme/Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia, Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Nasional (DIKLATPIMNAS) dihadapan 80 aktivis Mahasiswa PTKI se-Indonesia, Rabu (22/12)
Gus Yahya menegaskan pandangan radikalisme dan terosrisme mendapatkan dukungan dari sebagaian umat beragama, karena disandarkan pada referensi yang muncul pada abad pertengahan Islam. “Paham itu sekarang tidak relevan lagi dalam konteks negara bangsa modern, seperti sekarang ini di mana antar bangsa sudah membaur”, katanya.
“Generasi milennial termasuk Anda semua harus melakukan riset sejarah untuk melacak akar radikalisme dalam Islam, apakah benar terorisme tidak mempunya agama dan tidak ada hubungannya dengan agama termasuk Islam?”, tantan Gus Yahya kepada mahasiswa.
“Saya menolak keras anggapan itu karena itu bukti ketidakjujuran akan fakta-fakta historis, karena wacana itu dalam Islam kita temukan cangkolan literaturnya di sekitar pertengahan abad ke 15”, tegas Pengasuh Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang ini.
Kyai Yahya mengurfaikan, gerakan radikal belakangan di sebut sebagai gerakan takfiri, karena kerap mengkafirkan sesama muslim. “Gerakan takfiri berbahaya karena menganggap, setiap orang kafir harus dimusuhi, halal darahnya dan halal kehormatannya. Sebaliknya jika kita muslim maka haram darahnya, kehormatan dan hartanya”.
Bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar kafir (selain Islam)?, tanya Gus Yahya. “Kalau merujuk pemikiran Islam abad pertengahan, konsekuensi adalah orang “kafir” itu tidak perlu mendapatkan perlindungan, mereka halal darahnya dan halal segala-galanya oleh penguasa”, terangnya.
Diklatpimnas diselengarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo. Berlangsung selama sepuluh hari, 20-26 Desember 2020 berlangsung secara online dan 28-30 Desember secara offline.
Untuk mengatasi gerakan extrimisme dan radikalisme, Mantan Juru Bicara Presiden Era Gus ini memandang perlunya mengidentifikasi dan mengakui masalah agama dan radikalisme secara jujur dan diikuti dengan membangun wacana baru tentang Islam.
Terkait Wacana Baru, Gus Yahya mencatat, Muhammadiyah telah menelorkan konsep darul ahdi wa syahadah dan NU melalui Munas di Banjar 2019 telah merumuskan lima hal penting, yaitu; (a). Katagori kafir tidak relevan dalam negara modern; (b). mendirikam khilafah bukan kewajiban agama; ©. syariat tidak boleh dipertentangkan dengan hukum positif artinya setiap muslim mempunyai kewajiban syari terhadap hukum negara; (d) konflik yang melibatkan antar muslim, tidak boleh terlibat atas nama muslim tetapi harus atas nama perdamaian.
Selain itu lanjut Gus Yahya, pentingnya resolusi konflik dan reformasi pendidikan keagamaan, karena masih ada kurikulum pendidikan keagamaan yang kuirang menampilkan wajah keagamaan yang moderat dan damai.
KH. Yahya Cholil Tsaquf dipandu oleh Ruchman Basori Kasubdit Sarpras dan Kemahasiswaan. Nara sumber lain di hari ketiga, Diklatpimnas adalah Amin Mudzakkir Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan M. Mukhsin Jamil Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Walisongo Semarang.
(RB)
Bagikan: