MIMBAR GURU BESAR UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA
Di bulan Mei 2025, tepatnya Senin 19 Mei 2025, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melalui Program Studi Pendidikan Agama Islam, untuk pertama kalinya menggelar even Mimbar Guru Besar. Even ini merupakan ikhtiar-akademik-strategis untuk mewadahi pemikiran dan gagasan para dosen yang telah meraih jabatan akademik tertinggi tentang pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI). Tentu, pemikiran dan gagasan ini sangat penting untuk diungkap, didiskusikan, dan disampaikan dalam forum yang tepat, agar selanjutnya dapat direkonstruksi secara matang baik dalam konteks pengembangan akademik, perbaikan sosial, maupun politik atau kebijakan pendidikan itu sendiri.
Di sejumlah forum akademik bergengsi di ranah internasional, tradisi ini sebenarnya pernah terjadi secara rutin di tahun 1990-an. Salah satunya adalah yang dahulu digagas oleh cendekiawan besar Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia, dengan nama Kursi Al-Ghazali . Forum Kursi Al-Ghazali menampilkan para tokoh dari berbagai belahan dunia guna menjadi ruang akademik yang mempertemukan tradisi keilmuan klasik Islam dengan tantangan modernitas. Dari forum itu, lahirlah sejumlah riset dan karya-karya ilmiah yang terpublikasi di dunia internasional.
Dalam konteks perguruan tinggi keagamaan Islam, termasuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mimbar Guru Besar ini menjadi penting untuk dilakukan. Terutama pascalahirnya PMA Nomor 7 Tahun 2021 dan KMA Nomor 856 Tahun 2021, perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) mengalami lonjakan jumlah guru besar. Menurut data yang diperoleh, Kementerian Agama telah melahirkan 959 guru besar sejak akhir 2021 hingga Desember 2023. Sebanyak 461 orang adalah guru besar rumpun ilmu agama dan 498 lainnya merupakan profesor untuk rumpun ilmu umum. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri, hingga kini setidaknya terdapat 121 guru besar atau 9,77% dari total dosen 1.238 orang. Dalam konteks ini, kontribusi akademik dari para guru besar sangat diharapkan; dan kampus UIN Jakarta pun dipandang perlu untuk menyediakan ruang-ruang pengembangan akademik tersebut.
Di sisi lain, terdapat tuntutan akademik bagi institusi PTKI yang tampaknya belum sepenuhnya dijawab. Mandat PP 49 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan yang menegaskan bahwa distingsi PTKI dibanding dengan perguruan tinggi lainnya adalah integrasi ilmu, yakni terjadinya hubungan produktif, baik pada aspek ontologi, epistemologi maupun aksiologi antara ilmu pengetahuan dengan Islam. Relasi ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu keislaman harus didasarkan atas kerangka konsepsi dan terimplementasi dengan baik. Meski telah terdapat sejumlah regulasi seperti Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 2498 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Integrasi Ilmu di PTKI dan Surat Keputusan Rektor UIN Jakarta Nomor 864 Tahun 2017 tentang Pedoman Integrasi Ilmu pada UIN Jakarta, ditemui berdasarkan sejumlah riset, integrasi ilmu di PTKI tersebut belum sepenuhnya diimplementasi dengan baik.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, melalui Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), mengambil ruang strategis itu. Mimbar Guru Besar ini diharapkan akan menjadi simpul intelektual yang menjembatani khazanah pemikiran Islam dengan kompleksitas dunia pendidikan dewasa ini. Ia bukan hanya sekadar forum seremonial, melainkan sebuah institusi gagasan, tempat bersemainya pemikiran dan penyemaian visi peradaban pendidikan Islam serta akan melahirkan dialog akademik bagaimana isu-isu pendidikan Islam itu ditinjau dari berbagai lintas disiplin keilmuan.
Aksentuasi Mimbar Guru Besar terhadap PAI itu memiliki landasan rasional yang signifikan, baik pada aspek akademik maupun aspek praksis. Pada aspek akademik, PAI sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan didaktika atau proses belajar mengajar di lembaga pendidikan yang bernuansa normatif-religius, tetapi juga bagaimana isu-isu PAI itu bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi, pedagogi, ekonomi, hukum, ilmu komunikasi, dan lain-lain. PAI bukanlah sebuah disiplin keilmuan yang berdiri sendiri dengan tanpa memiliki hubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Akan tetapi, ia justeru terbentuk oleh karena adanya korelasi dan keterkaitan dengan berbagai disiplin ilmu tersebut. Dalam kontek inilah, Mimbar Guru Besar diharapkan dapat menjadi ruang kajian akademik yang lebih mendalam dan multidisipliner agar PAI dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan intelektual dan spiritual bangsa.
Secara praksis, PAI memiliki ruang pengabdian dan kontribusi sosial yang sangat nyata. Dosen, mahasiswa, dan lulusan PAI akan mewarnai bagaimana siswa-siswi terutama pada lembaga pendidikan sekolah, seperti TK/ SD/SMP/SMA/SMK yang saat ini berjumlah sekitar 53,17 juta dan siswa-siswi pada madrasah, yakni RA/MI/MTs/MA) yang berjumlah sekitar 10,3 juta itu memiliki pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan keislamannya. Artinya, peran PAI terhadap siswa pada sekolah dan madrasah sekitar 63,47 juta atau 22,53% dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 281,6 juta jiwa. Tentu, kontribusi yang demikian besar ini perlu untuk dipersiapkan dengan baik, termasuk prodi-prodi PAI di PTKI diharapkan terus meningkatkan kualitas dan kapabilitasnya sehingga lulusannya kontributif untuk negara dan bangsa.
Dengan memahami latar dan makna Mimbar Guru Besar ini, diharapkan ia dapat menginspirasi bagi dunia akademik dan kampus PTKI di tanah air untuk terus mendorong dan sekaligus memanfaatkan kapabilitas dan kontribusi dosen, khususnya yang telah meraih guru besar, demi keilmuan dan peradaban yang lebih baik. Semoga.
Tags:
KampusBagikan: