Jakarta (Pendis) - Agen perubahan dan seluruh komponen Reformasi Birokrasi pada hakekatnya adalah penggerak perubahan itu sendiri. Ibarat sebuah klub sepakbola, agen perubahan adalah seorang il metronome, sosok yang didapuk selaku playmakeril metronome terkemuka dalam jagad sepakbola, Andrea Pirlo.
Dalam masa aktifnya bermain, Andrea Pirlo adalah sebuah nama dimana bola yang berada di kakinya akan aman-aman saja dan operan-operannya adalah jaminan sebuah gol menjadi mungkin. Agen perubahan tentu tidak perlu harus resign dulu untuk menjadi Il Metronome sebagaimana Andrea Pirlo. Baiklah, untuk menyebut yang lebih kekinian dengan peran dan reputasi yang kurang lebih sama, kita bisa menganalogikan Il Metronome ini pada sosok Kevin de Bruyn di Manchester City saat ini.
Il Metronome dalam aksi sepakbola lebih sering dimainkan seorang playmaker, pengatur serangan, dirigen permainan, dan protagonis dalam skenario dan strategi yang dijalankan. Lebih kurang seperti ini pula peran agen perubahan dibebankan. Pada pundaknya, agen perubahan membawa misi penting dan tentu saja strategis dalam Reformasi Birokrasi.
Posisi penting dan stretegis Agen Perubahan Kementerian Agama terlihat dan terjelaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 111 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Agen Perubahan pada Kementerian Agama. Dalam KMA ini dijelaskan bahwa diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan pada 8 (delapan) area penting manajemen pemerintahan.
Salah satu concern area perubahan itu adalah pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set). Pola pikir dan budaya kerja ini terkait erat keteladanan berperilaku dan bekerja nyata dari pimpinan dan seluruh pegawai Kementerian Agama. Dalam upaya percepatan perubahan yang dituju, diperlukan role model sebagai unsur penggerak perubahan dalam berperilaku dan berkinerja sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi. Nilai nilai tersebut adalah profesional, adaptif, berintegritas, bersih dari perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh kode etik perilaku pegawai pada Kementerian Agama. Pada satu helaan nafas, bisa dikatakan agen perubahan mengusung mission sacred yang demikian penting.
Sebagai sebuah agency untuk misi yang demikian penting, keterpilihan sebagai agen perubahan, bagaimanapun proses keterpilihan itu berlangsung, agen perubahan memiliki posisi yang sangat penting. Sebagian dari kita mungkin masih asing dengan keberadaan agen perubahan, beberapa mungkin malah baru mendengarnya. Namun demikian, sebagai amanat regulasi, figur Agen perubahan memang diperlukan. Sebagai sebuah pedoman, KMA Nomor 111 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Agen Perubahan pada Kementerian Agama sudah menyediakan sebuah peta from - to yang sangat jelas dan terukur terkait tugas, peran, dan fungsi agen perubahan. Tulisan singkat ini hanya ingin melihat agen perubahan dari beberapa hal terkait konteks psikologi sosial yang harus dihadapi.
Aspek psikologi sosial rasanya kental dihadapi agen perubahan. Berubah dan perubahan adalah kata kunci dalam Reformasi Birokrasi. Perubahan ini perlu menjadi perhatian bersama, terlebih kita tengah berada di era disruption. Menurut Rhenald Kasali, kondisi disruptif secara singkat dapat digambarkan dalam lima hal.
Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. Keempat, produk atau jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita. Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.
Singkatnya, perkembangan di luar sana bisa merambah dan mempengaruhi semua pihak, termasuk Ditjen Pendidikan Islam. Dahulu, bahkan mungkin belum cukup lama, kita meyakini dan menempatkan mesin faksimili menjadi sarana penting dalam berkirim dan menerima surat. Kini, dalam hitungan detik surat dinas bisa terkirim cepat dengan sarana media sosial whatsapp atau email yang lebih mudah dan cepat saat ini. Ini hanya sekedar contoh era disruptif tersebut.
Untuk itu, pertama sekali penting bagi agen perubahan untuk meyakini bahwa spirit perubahan adalah titik inklinasi yang perlu dijalankan. Padanya terletak harapan lebih lanjut untuk mendiseminasi konsep perubahan tersebut ke lingkungan sekitarnya. Karena terkait erat dengan proses keteladanan dan role model, pada setiap agen perubahan melekat cara pandang entitas kelompok yang menjadi pihak yang harus diberi teladan. Dengan demikian, pada masing-masing agen perubahan perlu menjadikan lingkungannya sebagai target perubahan itu sendiri.
Strategi Operasional
Salah satu strategi yang mungkin bisa dikembangkan adalah apa yang kita kenal dalam psikologi sosial sebagai dinamika kelompok (group dynamic). Cara pandang ini meletakkan hubungan kerja, dimana agen perubahan berada, dalam beberapa hal. Pertama, hubungan kerja sebagai sebuah hubungan psikologis yang jelas antara satu aggota dengan yang lain yang berlangsung dalam situasi yang dialami bersama. Kata kunci dari hubungan ini adalah kerja dipahami sebagai hubungan psikologis dan bersama dalam situasi apapun. Kedua, dinamika kelompok mengandaikan sebuah organisasi sebagai lembaga yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah-ubah.
Dinamika kelompok menjadi penting karena semangat perubahan tidak mungkin berkembang pada satu dua individu, perubahan adalah sebuah hajat bersama. Dalam sebuah kerja bersama menuju perubahan, diperlukan pembagian kerja agar target dan sasaran perubahan dapat dicapai dengan baik.
Lebih jauh, dalam konteks psikologi sosial dan akitannya dengan agency perubahan, dinamika kelompok perlu dikembangkan lebih jauh dengan pendekatan-pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan perubahan yang diharapkan. Dalam kaitan pendekatan dinamika kelompok ini, kita bisa menyegarkan ingatan tentang opsi pendekatan yang ditawarkan oleh Stogdill dan aliran Psycho Analysis yang digawangi Freud dan Scheidilinger.
Jika Stogdill menekankan aspek leadership (kepemimpinan) dalam mempengaruhi aktivitas kelompok untuk mencapai tujuan bersama,maka Freud dan Scheidilinger menegaskan perlunya kesatuan motif dan emotif sebagai energi bersama untuk mencapai tujuan kelompok yang disasar. Cara pandang Stogdill dan Freudian ini jika disatukan kurang lebih akan menghasilkan pentingnya kepemimpinan yang kuat dengan memperhatikan sepenuhnya aspek motif dan emotif anggota-anggota didalamnya. Agen perubahan dapat memainkan peran sebagai figur yang memberi contoh tentang misi perubahan, memimpin misi tersebut pada unit-unit yang diampunya, dengan sepenuhnya memperhatikan aspek psikologi sosial lingkungannya.
Aspek psikologi sosial ini mengandaikan adanya kesepahaman kelompok (in-group feeling), sebuah kerja bareng mengenai perubahan, yang ditopang oleh pemodelan dari agen perubahan mengenai segala hal terkait semangat perubahan dalam reformasi birokrasi dan kesepakatan bersama anggota-anggota didalamnya untuk menjalankan perubahan.
Saiful Maarif (Bekerja pada Bagian OKH Ditjen Pendidikan Islam)
Bagikan: