Berbicara moderasi beragama tentu tidak jauh dari tokoh agama sekaligus nasional, Gus Dur (sapaan akrab K.H. Abdurrahman Wahid).
Siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur?
Beliau adalah bapak bangsa sekaligus ulama atau kiai yang berpengaruh di Indonesia. Semasa hidupnya, ia pernah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan juga pernah menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4.
Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme. Keselarasan antara nilai agama dengan kemanusiaan merupakan warisan dari pemikirannya. Sebagai tokoh cendekiawan muslim berpengaruh di Indonesia, Gus Dur mendapat penghormatan yang luar biasa di mata masyarakat, bukan hanya oleh umat muslim, akan tetapi juga non-muslim. Gus Dur disebut juga sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, karena memberikan perhatian besar kepada terciptanya umat yang harmonis dan mampu berlaku adil dalam kehidupan manusia.
Dirinya dianggap sebagai seorang pejuang kemanusiaan, karena perhatian besarnya dalam membela kaum minoritas. Sepanjang hidupnya, Gus Dur selalu berpegang pada nilai-nilai perjuangan kemanusiaan yang bersumber dari nilai agama sebagai rahmat semesta alam.
Bagi Gus Dur, pesan semua agama hakikatnya sama yaitu pesan kemanusiaan. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan, misalnya kasih sayang, persaudaraan, cinta, tolong menolong dan sebagainya. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan agar merusak alam, merusak persaudaraan, mengembangkan konflik sosial dan sebagainya.
Begitu pula agama Islam. Menurut Gus Dur Islam adalah agama yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pondasinya. Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi umatnya dan memberikan petunjuk untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Ajaran tersebut bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah.
Salah satu ajarannya mengandung nilai-nilai kemanusiaan, mengajarkan dan menuntut umatnya untuk berlaku adil, tidak memihak atau dapat diartikan seimbang. Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakankamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnyayang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.’’ (QS al-Hujurat [49]: 13).
Gagasan Gus Dur tersebut menarik untuk kita cermati dan didiskusikan bersama, terutama dalam memperjuangkan hak-hak sipil rakyat dan membela kaum minoritas meskipun berbeda keyakinan. Mengapa Gus Dur sangat mengedepankankemanusiaan? Sebab dalam pandangan Gus Dur, Islam mengajarkan hidup tanpa kekerasan, dan Islam hadir secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, dalam pandangan Gus Dur, kitab suci haruslah dipahami secara baik dan benar, dan lembaga keIslaman harus berperan dalam memberikan pemahaman tentang cara beragama yang benar kepada umatnya.
Jika kita cermati pemikiran Gus Dur secara mendalam terkait Moderasi Beragama, terutama dalam karyanya yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, (2006). Moderasi Beragama perspektif plurasime Gus Dur sebagai konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan serta kesatuan bangsa.
Terkait dengan moderasi beragama, sikap toleransi merupakan bentuk menghargai perbedaan yang ada tanpa menyudutkan atau mengunggulkan salah satu pihak agar tidak ada lagi diskriminasi. Tidak ada lagi masyarakat yang minoritas ataupun mayoritas, semua adalah sama sebagai warga negara yang berhak menjalankan kewajiban agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tujuan utamanya adalah agar suatu masyarakat memiliki pola hidup berdampingan secara damai.
Gus Dur juga menekankan terkait moderasi beragama, kerjasama antar umat beragama sangat penting sebagai bentuk kerukunan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila, diantaranya melalui dialog antar agama dalam penyelesaian masalah bangsa. Karena itu, merujuk kepada pemikiran dan gagasan Gus Dur di atas, menurut hemat penulis “Moderasi Beragama” yang kini dikembangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia perlu didukung, sebab program tersebut menjadi solusi bagi meningkatnya ekstrimisme dalam beragama.
Moderasi Beragama bukan upaya memoderasi agama, melainkan memoderasi pemahaman dan pengamalan dalam beragama dan berkepercayaan. Moderasi Beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Melalui Moderasi Beragama pula, akan menjadi bagian dari upaya strategis dalam rangka memperkokoh kerukunan umat dan membangun harmonis, rukun dan damai dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara jelas menegaskan bahwa, negara wajib menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Moderasi Beragama telah ditetapkan sebagai bagian dari arah kebijakan negara untuk membangun karakter sumber daya manusia Indonesia yang moderat. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama sebagai sebuah kebijakan untuk memperkuat Moderasi Beragama di Indonesia. Kebijakan tersebut tentunya didasarkan pada paradigma bahwa, di satu sisi Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari negara, namun di sisi lain Indonesia bukan juga negara yang diatur berdasarkan satu agama. Indonesia adalah negara yang kehidupan warga dan bangsanya tidak dapat dipisahkan dari nilai agama. Oleh karena itu, negara memfasilitasi kebutuhan kehidupan keagamaan warga sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Gus Dur merupakan substansi dari moderasi beragama. Untuk menjaga dan memperkokoh persatuan bangsa, gagasan dan prinsip moderasi beragama Gus Dur perlu kita implementasikan dalam kehidupan, terutama untuk mengajak masyarakat agar selalu berbuat baik dan menghormati hak serta kewajiban manusia. Termasuk pemimpin Negara harus memastikan setiap pemeluk agama yang ada di Indonesia ini berhak mengekspresikan ritualnya sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini.
Sebab, sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warga negara, karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali kalau mereka berkhianat atau melanggar perjanjian atau mengganggu agama.
Penulis
Dr. Rahmad Syah Putra, M.Pd., M.Ag
(Akademisi & Peneliti Ilmu Sosial dan Keislaman yang saatini menjabat sebagai Manajer Program dan Kerjasama Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama (PKMB) UIN Ar-RaniryBanda Aceh).
Bagikan: