Penelitian kliktivisme Islam ini sebenarnya ingin menguji tren perkembangan post-Islamisme pada gerakan-gerakan Islamis di Indonesia dengan cara melihat wacana dan metode gerakan yang disebarkan melalui jejaring sosial baik luring maupun daring. Berbagai aktivisme Islam secara umum memainkan pola aktivisme luring (offline activism) dan aktivisme daring (online activism) sehingga terbentung kait-kelindan yang dinamis (dynamic interplay) antara keduanya. Kait kelindan yang dinamis antara aktivisme online dan offline tren yang terjadi hampir di setiap lingkup gerakan sosial. Micah White menyebut tren aktivisme ini dengan istilah “clicktivism”, akronim antara kata “click” sebagai aktivitas maya, dan “activism” sebagai gerakan politik dan identitas. Istilah ini mulai banyak digunakan setelah dipopulerkan oleh Micah White ketika ia membuat gerakan protes Occupy Wall Street (OWS) pada pertengahan tahun 2011 di Amerika Serikat.
Gerakan ini semakin banyak dilakukan oleh masyarakat berkat kemudahan mengakses teknologi. Meskipun menjadi tren yang efektif dan efisien dalam kegiatan mengumpulkan suara aspirasi masyarakat, White menyadari bahwa clicktivism justru menghambat daya juang para “leftist” sebagai garda terdepan melawan hegemoni para elit politik. Clicktivism hanya berusaha mengkuantifikasi empati terhadap suatu wacana tanpa menekankan partisipasi nyata. Para aktivis berusaha untuk memobilisasi suara secara online untuk mendapatkan dukungan dari masyarkat global, sehingga kesuksesan dapat diukur dengan melacak seberapa banyak “click” atau dukungan online yang diterima dari sebuah wacana yang dimuat melalui sosial media online.
Dalam arena aktivisme Islam, kliktivisme juga dimanfaatkan untuk menyebar wacana keagamaan. Kliktivisme Islam menjadi arena bermain yang aman sekaligus mudah untuk dilakukan bagi para aktifis Islamisme untuk penuyaraan wacana-wacana identitas. Proliferasi kliktivisme Islam, sebagaimana kelompok-kelompok Islamis di Solo lainnya, tidak dapat terwujud tanpa iringan laju pertumbuhan modernisasi, demokrasi dan globalisasi yang membuka hambatan-hambatan partisipasi masyarakat luas.
Proliferasi kliktivisme Islam yang dilakukan para aktivis Islamisme sebagai konsekuensi atas keterbukaan dari proses demokratisasi tersebut, oleh karena itu mereka mengaktualisasikan diri dengan cara-cara dan perangkat-perangkat yang disesuaikan dengan nuansa demokrasi, seperti membentuk gerakan sosial sebagai aktualisasi kebebasan sipil, membangun jejaring massa melalui internet, keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan, hingga kritik terhadap institusi sebagai proses check and balances. Pada konteks inilah, kliktivisme Islam dihadirkansebagaiusaha merebut ruang publik dengan memanfaatkan momentum sosial yang terus berubah. Dapat dilihat pada tabel di bawah bagaimana narasi wacana tuntutan kalangan islamis sangat berdekatan dengan tuntutan narasi wacana dalam pemerintahan yang demokratis.
Dalam beberapa penelitian kami tentang kliktivisme Islam menemukan bahwa proliferasi gerakan-gerakan Islamis memanfaatkan kliktivisme sebagai wahana mobilisasi massa dan penyebaran wacana. Selain itu, dalam konteks demokrasi, kliktivisme sebenarnya menandakan usaha kalangan aktivis yang sadar bahwa dunia ini sedang berjalan dalam mekanisme pasar, dan oleh karena itu pola pikir pun ikut terseret ke dalam logika pasar (logic of marketplace).
Pola pikir ini memberikan penekanan bahwa semua orang berhak mempromosikan dan menawarkan produknya dengan bebas kepada konsumen yang membutuhkan. Seiring dengan perjalanan demokrasi liberal, tampaknya mekanisme pasar tidak hanya menjadi sudut pandang yang berkembang pada kajian-kajian ekonomi, tetapi juga dapat menjadi pembacaan pada kajian-kajian identitas. Masyarakat boleh menyuarakan identitasnya demi keseimbangan dan keadilan yang ingin mereka terima.
Seiring dengan kemajuan teknologi, proses demokratisasi pasca reformasi menjadikan segala macam identitas dapat dengan mudah disebar dan disosialisasikan kepada masyarakat luas hanya dengan sekali sentuh. Identitas agama pada zaman Orde Baru harus disampaikan oleh para otoritas keagamaan yang mana kanal-kanal penyampaiannya telah disaring oleh pemerintah. Pasca reformasi, kanal kanal tersebut tidak lagi memiliki hambatan yang menjadikan siapapun merasa berhak untuk memiliki otoritas agama.
Meningkatnya gejala kliktivisme Islam adalah bagian dari berkembangnya komodifikasi Islam, di mana kepentingan keagamaan bertemu dengan perhitungan ekonomi dan pertarungan politik dalam masyarakat luas pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Selain itu. Penggunaan sosial media online sangat membantu melakukan proses mobilisasi massa secara lebih demokratis. Proses penyebaran berita dapat langsung dikonsumsi publik tanpa proses verivikasi yang ruwet.
Islamic clicktivism pada dasarnya adalah fenomena sosial keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi kemajuan teknologi dan proses demokratisasi yang terus berlangsung. Sebagaimana agenda kliktivisme lainnya yang berjalan karena logika pasar pada zaman kemajuan teknologi, islamic clicktivism pun lahir dengan semangat komodifikasi identitas agama yang disuarakan di ruang publik. Dengan begitu, Islamic clictivism sebenarnya menandakan adanya agenda keinginan para aktor untuk menjadikan identitas kelompoknya sebagai otoritas keislaman baru (new islamic authorities) yang dirujuk oleh masyarakat Muslim Indonesia dalam berbagai hal, terutama ketika berkenaan dengan permasalahan agama.
Pola gerakan yang sesuai dengan alam kebebasan dan keterbukaan masyarakat turut menjadi faktor dalam menumbuh suburkan islamic clicktivism di Indonesia. Selain itu convivialitas dari aktivitas ini membuat gerakan ini dapat bertahan lama dan mudah menyebar kepadapara aktifis ataupun simpatisan kelompo Islamis, bahkan tidak jarang masyarakat awam turut menyumbangkan solidaritasnya jika terdapat suatu narasi wacana yang sejalan dengan narasi wacana nasional.
Sebagai suatu aktivitas yang lahir dari rahim kebebasan, modernisasi dan globalisasi, Kliktivisme Islam tentu menggunakan prinsip, perangkat dan pilar demokrasi agar tetap bertahan dan terus menunjukkan eksistensi di tengah pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari wacana yang disuarakan dalam setiap gerakan selalu membawa isu nasional yang menjadi kepentingan bersama bangsa Indonesia; stabilitas keamanan, toleransi beragama, keadilan hukum, pembelaan hak asasi manusia, birokrasi yang jelas dan administrasi yang transparan. Narasi Wacana Kalangan Islamis yang sejalan dengan narasi kepentingan nasional inilah sebagai determinan yang membuat gerakan mereka dapat menjadi gerakan masif dan mendapat banyak dukungan dari gerakan-gerakan lain di luar lingkar ideologi mereka. (MZ/Hik)
Oleh: Muzayyin Ahyar
Bagikan: