H. Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Akademisi UIN Raden Intan Lampung
Di tengah industrialisasi pendidikan tinggi keislaman, Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nazaruddin Umar menggagas wacana yang tak biasa: Kurikulum Cinta. Sebuah gagasan yang di mata sebagian mungkin terdengar sentimental, tapi sejatinya bersumber dari intisari wahyu dan kebijaksanaan para wali.
Kurikulum ini bukan ingin menggantikan logika dengan air mata, melainkan menghidupkan kembali ruh pendidikan Islam yang sesungguhnya: cinta yang menghidupkan ilmu, cinta yang menumbuhkan adab, cinta yang menyuburkan kasih sayang antara murid dan guru.
Cinta, dalam pengertian mahabah ilahiyah, bukan barang baru dalam khazanah Islam. Bahkan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa cinta kepada Allah adalah maqam tertinggi yang bisa diraih manusia. Dalam Kitab Ihya, beliau menyebut:
"al-mahabbah huwa al-ghayah al-qushwa min ad-darajat wa nihayat al-mathalib..."
(Cinta adalah tujuan akhir dari seluruh derajat spiritual dan puncak dari seluruh pencarian.)
Begitu pula dalam Risalah Qusyairiyah, Abu al-Qasim al-Qusyairi menulis satu bab khusus tentang cinta sebagai jalan menuju makrifat. Ia mencatat bahwa para sufi sepakat bahwa cinta kepada Allah bukan semata-mata karena surga atau takut neraka, tapi karena Allah itu layak dicinta, ahlan lil-mahabbah.
Gagasan kurikulum cinta bukan semata imajinasi romantis, melainkan koreksi terhadap akademisasi kering yang terlalu lama mereduksi pendidikan Islam menjadi sekadar hafalan dan ujian. Kita terlalu asyik menghafal kitab, tapi lupa untuk membiarkan kitab itu menghafal kita kembali. Kita gemar membedah teks, tapi abai membiarkan teks itu membedah jiwa kita.
Dulu, para ulama besar seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, hingga Syaikh Nawawi Banten, tidak memulai belajar dari logika atau ushul, tapi dari tazkiyatun nafs. Hati dibersihkan dulu, baru ilmu diserap. Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim, Imam Az-Zarnuji bahkan memberi bab khusus tentang adab murid terhadap guru, dimulai dengan cinta, hormat, dan rasa takzim.
Hari ini, berapa banyak mahasiswa PTKIN yang mencintai gurunya seperti Imam Syafi’i mencintai Imam Malik? Berapa banyak dosen yang melihat mahasiswa bukan sekadar peserta kelas, tapi anak-anak ruhani yang harus dirangkul dengan kasih sayang? Cinta di kampus kini tampak seperti data yang harus diinput ke PDDikti. Ada, tapi beku.
Kurikulum cinta menawarkan arah baru. Tafsir tak lagi sekadar menyoal metode, tapi menanamkan kepekaan rasa. Ketika membaca ayat “Ar-Rahmanu ‘alal ‘arsy istawa”, kita tidak hanya membahas makna istiwa’, tapi juga merenungkan kelembutan Sang Maha Penyayang yang menaungi segala.
Dalam kajian fikih, kita tidak hanya belajar syarat dan rukun, tetapi diajak memahami hikmah di baliknya. Dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya shalat sebagai perjumpaan penuh cinta dengan Allah. Jika ibadah menjadi rutinitas tanpa cinta, maka ia hanya gerakan badan tanpa ruh.
Mata kuliah tasawuf bisa menghidupkan kembali bab-bab penting dari Ihya, Qut al-Qulub, atau Manazil as-Sa’irin. Mahasiswa bisa diajak merenungi kisah Ibrahim bin Adham yang meninggalkan istana demi mencari Tuhan. Atau Syekh Abu Yazid al-Busthami yang berkata, “Aku ingin meninggal di cinta, bangkit di cinta, dan hidup abadi dalam cinta.”
Tentu, membumikan kurikulum cinta bukan hal mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Sejarah mencatat, ulama Nusantara sejak dahulu sudah menanamkan cinta dalam pengajaran. Dalam Nadham Sullam Taufiq, Syekh Nawawi menulis dengan nada cinta yang menyejukkan. Dalam pengajaran Kitab Al-Hikam, KH Hasyim Asy’ari selalu memulai dengan zikir agar ruhani para santri tersambung dengan Allah sebelum belajar dimulai.
Bahkan di pesantren-pesantren klasik, pembacaan Qasidah Burdah sebelum kajian bukan hanya tradisi, tapi metode mencintai Nabi sebelum mendalami ilmunya. Pendidikan bukan transfer ilmu, tapi penularan cinta.
Di sinilah Prof. Nazaruddin Umar berperan sebagai penyambung lidah warisan itu. Sebagai guru besar tasawuf dan mantan Imam Besar Istiqlal, beliau meletakkan kembali cinta sebagai poros pendidikan Islam. Ia bukan hanya visi, tapi praktik—dimulai dari ruang kelas, perpustakaan, hingga masjid kampus.
Cinta akan menjadikan dosen bukan hanya pengajar, tapi penuntun. Mahasiswa bukan hanya pencari IPK, tapi pencinta ilmu. PTKIN bukan hanya tempat kuliah, tapi halaman rindang tempat rindu kepada Allah tumbuh dari hati yang tenang.
Dan ketika ruh cinta itu tumbuh, pendidikan akan melahirkan manusia yang utuh yang bukan hanya cerdas, tapi juga lembut. Yang bukan hanya fasih, tapi juga kasih. Yang bukan hanya mengerti hukum, tapi juga tahu cara memaafkan.
Sebagai penutup, mari kita panjatkan doa dalam puisi satu tarikan napas, sebagaimana Rabi’ah al-Adawiyah yang tak meminta surga, tak takut neraka, hanya ingin mencintai-Nya:
Mahabah: Dalam Jejak Rabi'ah
Tuhanku, aku tak menyembah-Mu karena surga,
dan aku tak takut kepada neraka.
Cintaku bukan hitung-hitungan amal,
bukan pula tawar-menawar pahala.
Aku mencintai-Mu karena Engkau layak dicinta,
karena dalam gelap aku tetap mencari wajah-Mu,
karena dalam sunyi aku tetap merintih pada-Mu.
Biar malam beku,
biar dunia riuh,
hatiku tetap menyebut nama-Mu
dengan gemetar dan gentar,
dengan rindu yang tak punya kata.
Jika aku tenggelam dalam-Mu,
jangan selamatkan aku—
biarkan aku karam,
biarkan aku hilang,
asalkan dalam-Mu,
bukan yang lain.
Cintaku bukan permintaan,
cintaku adalah keberadaan.
Kurikulum cinta mungkin tak mengisi indeks kinerja kampus. Tapi ia mengisi ruang jiwa. Ia tidak terlihat dalam statistik, tapi tertanam dalam hati. Dan dari hati itulah, peradaban Islam tumbuh kembali dengan cinta.
Oleh: H. Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Akademisi UIN Raden Intan Lampung
Tags:
UINBagikan: