Jakarta (Pendis) - Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) merupakan wahana intelektual dunia yang secara khusus mengkaji tentang isu-isu kajian keislaman yang berkembang di berbagai negara, utamanya Indonesia. Ajang rutin tahunan yang digelar oleh Kementerian Agama RI dengan sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) ini dimaksudkan untuk mengukur dinamika wacana keislaman itu difahami, dianalisa, dan didiskusikan oleh para pakar di bidangnya untuk kemudian dijadikan perspektif dalam meninjau studi keislaman di masa yang akan datang. AICIS menjadi barometer tingkat intelektualitas keislaman yang berkembang di Indonesoa dengan berbagai perspektif. Dengan penyelenggaraan AICIS ini, diharapkan Indonesia benar-benar memiliki kontribusi intelektual yang signifikan sehingga pada gilirannya layak untuk menjadi destinasi pendidikan Islam dunia.
Penyelenggaran AICIS tahun 2017 memasuki periode yang ke-17 kalinya dan akan diselenggarakan bersamaan dengan International Islamic Education Expo (IIEE) Kementerian Agama di tanggal 20-22 Nopember di ICE BSD Serpong, Banten. Menurut sejumlah informasi, direncanakan AICIS 2017 akan menghadirkan sejumlah narasumber baik dari luar maupun dalam negeri. Untuk dari luar negeri, tercatat sejumlah akademisi yang akan hadir, seperti Prof. Farid Alatas, Ph.D (National University of Singapore), Prof. Nico J Kaptein (Leiden University), Prof. Imtiyas Yusuf (Mahidol University, Tailand), Prof. Lisolette Abid (Vienna University), Prof. Livia Holden (Oxford University), Prof. Saif Rashid al-Jabiri (University Canada Dubai), Prof. Dr. Ahmed Omar Chapakia (Universitas Pattani Thailand), Dr. Nargiza F Amiroza (Nagoya University Japan), Dr. Ahmed al-Senouni (Emirati Development Program, dan Muwatta Center Abu Dhabi). Sementara untuk dalam negeri, tercatat sejumlah guru besar di berbagai studi keislaman, di antaranya adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Kehadiran Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. atau biasa biasa disapa "Pak Nasar" ini tampaknya memiliki makna tersendiri bagi forum AICIS ini. Pasalnya, jika melihat sosok Pak Nasar ini, AICIS akan mendapatkan setidaknya 3 (tiga) afirmasi sekaligus, yakni afirmasi intelektual, sosial, dan birokrasi.
Afirmasi intelektual atas kehadiran pak Nasar dalam forum AICIS ini dapat difahami, setidaknya, dari rekam jejak intelektualnya. Pak Nasar lahir di daerah perkampungan Ujung, Dua Boccoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, pada tanggal 23 Juni 1959. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Pesantren As`adiyah, Sengkang, Wajo, ia melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung Pandang pada 1980-an, dan lulus dengan penghargaan sebagai mahasiswa teladan di kampus tersebut. Ia kemudian melanjutkan studi di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar magister (1992) serta doktor, dengan predikat terbaik (1998). Ia menulis disertasi tentang Perspektif Gender dalam Alquran, dan dinobatkan sebagai alumni terbaik oleh UIN Syarif Hidayatullah. Selama studi menuju doktor, ia sempat menjadi salah satu mahasiswa tamu di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), Universitas Leiden, Belanda (1994-1995), dan Universite Sorbonne (1995).
Setelah meraih gelar doktor, ia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), School of Oriental and African Studies, University of London (2001-2002), Georgetown University, Washington DC (2003-2004) dan di Universite Sorbonne Nouvelle-Paris III.
Sebagai Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah, sampai saat ini Pak Nasar masih aktif membimbing mahasiswa untuk penulisan skripsi S1, tesis S2 dan disertasi S3. Sejak 2006 pula, Pak Nasar adalah rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur`an, selama empat peiode sampai saat ini.
Ia juga pendiri organisasi lintas agama Masyarakat Dialog antar Umat Beragama dan anggota dari Anggota Indonesia-UK Islamic Advisory Group yang didirikan oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair.
Magnus oppus pak Nasar tertuang dalam buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran yang pertama kali diterbitkan oleh Paramadina Jakarta tahun 1999. Karya ini merupakan buku rujukan utama dalam diskursus dan penelitian tentang jender. Dalam berbagai penelitian akademis tentang relasi laki-laki dan perempuan seperti disertasi dan thesis pada perguruan tinggi di Indonesia, karya pak Nasar ini selalu dirujuk.
Karya ini sekaligus menempatkan sosok pak Nasar sebagai tokoh feminis yang secara akademis memperjuangkan keadilan untuk semua. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis masih dijadikan alasan untuk saling mensubordinasi antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan cukup jelas, namun efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin itu melahirkan seperangkat konsep budaya. Menurut pak Nasar, Al-Quran mengakui adanya "perbedaan" (distinction) antara laki-laki dan perempuan itu, tetapi "perbedaan" itu bukanlah "pembedaan" (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan itu sejatinya dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Alquran, yakni terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal di masyarakat secara luas. Kualitas individual laki-laki dan perempuan di mata Tuhan tidak ada perbedaan. Surga dan neraka bukanlah tempat yang dihuni atas dasar jenis kelamin. Kedua kategori jenis kelamin itu mempunyai potensi yang sama untuk masuk surga atau neraka. Amal dan prestasi yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuanlah yang membedakan seseorang itu masuk surga atau neraka. Oleh karenanya, tidak perlu ada diskriminasi secara sosial yang didasarkan atas dasar perbedaan jenis kelamin.
Pemikiran pak Nasar ini, menurut hemat penulis, sangat tepat diketengahkan dalam forum AICIS ini. Pasalnya, gelombang radikalisme dan fundamentalisme keislaman di Indonesia belakangan mulai tampil dengan begitu terbuka. Praktek-praktek poligami dan diskriminasi jender yang diatasnamakan kebenaran agama begitu vulgar dilakukan oleh sejumlah kalangan elit dan agamawan. Dengan begitu bangganya, sosok agamawan tampil di muka publik dengan kasus praktek poligami yang dijalaninya. Bahkan lebih dari itu, seminar dan ceramah-ceramah keagamaan mensosialisasikan gerakan poligami seringkali dilakukan di berbagai even. Di sinilah, pemikiran pak Nasar mendapatkan momentumnya untuk disuarakan dan digelorakan kembali dengan bijak, lebih-lebih dalam forum AICIS.
Afirmasi sosiologis kehadiran pak Nasar dalam AICIS setidaknya dapat dilihat dari 3 (tiga) aktivitas utama yang kini aktif dijalaninya, yakni Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlas, dan dai di sejumlah mimbar keagamaan. Pak Nasar kini menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, sebuah masjid kebanggaan bagi bangsa dan negara. Masjid yang dibangun dengan artsitek yang begitu megah dan berdampingan dengan gereja Kathedral ini menjadi simbol tingkat kedewasaan beragama umat muslim Indonesia. Di masjid ini dilakukan sejumlah kajian keagamaan untuk mendorong moderasi keislaman bagi umat Islam, di samping kegiatan-kegiatan yang mengiringi ibadah rutin lainnya. Dengan tata kelola masjid yang baik, tiap hari tidak pernah sepi dari berbagai kunjungan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri. Intinya, melalui masjid Istiqlal, pak Nasar mendorong untuk memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang santun, toleran, dan moderat.
Di kampung Ujung, Dua Boccoe, Kabupaten Bone tempat kelahiran pak Nasar, telah berdiri pondok Pesantren Al-Ikhlas lebih dari satu dasawarna terakhir. Pondok pesantren ini lahir dari inisiatif dan kerja keras pak Nasar dengan dukungan sejumlah pihak. Di pesantren ini diajarkan pengetahuan keislaman berbasis kitab kuning, sebuah literatur klasik keislaman yang mutlak diajarkan di pondok pesantren, dan dilengkapi dengan mata-mata pelajaran umum melalui layanan pendidikan formal dan penguatan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di pesantren ini dikenal dengan menggunakan 100% mata pelajaran agama dan 100% mata pelajaran umum. Mengintegrasikan dua keilmuan ini, agama dan umum, serta penguatan keterampilan bahasa, diharapkan para lulusan pesantren Al-Ikhlas tampil menjadi kader-kader intelekual dan tokoh sosial yang memiliki pemikiran dan wawasan yang luas, moderat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih dari itu, aktivitas pak Nasar sebagai dai umat secara rutin menghiasi sejumlah forum-forum keagamaan, baik masjid, perkantoran, pusat kajian, televisi, dan mimba-mimbar lainnya. Masjid-masjid besar dengan antusiasme jamaahnya demikian besar. Pengajian rutin di Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Agung Attin, dan masjid-masjid lainnya dilakoninya lebih dari 10 (sepuluh) tahun terakhir secara istiqamah. Kajian keagamaannya mengangkat tema tasawuf, husnul khatimah, asmaul husna, dan sejumlah kajian keislaman lainnya yang terus dipenuhi oleh para jamaah dari berbagai segmen. Pak Nasar memperkenalkan ajaran Islam untuk kalangan masyarakat perkotaan dengan demikian telaten dan santun. Tuhan diperkenalkan oleh pak Nasar sebagai "Maha Pengampun", bukan melulu sebagai "Maha Pendendam". Kelembutan dan ketenteraman yang diperoleh ketika mengikuti kajian keagamaannya begitu terasa di jamaah.
Sosok imam besar masjid Istiqlal, pengasuh pondok pesantren, dan dai umat merupakan indikator yang begitu kuat untuk menunjukkan sosok pak Nasar sebagai orang yang diterima secara sosial. Afirmasi sosial dalam banyak hal tidak selalu linear dan terafirmasi secara intelektual. Tidak setiap orang yang memiliki kekuatan secara sosial itu memiliki kekuatan secara intelektual. Kekuatan sosial dan intelektual itu ada pada diri pak Nasar.
Afirmasi birokrasi juga melekat pada sosok pak Nasar, meski kini tidak menjabat lagi. Sebagaimana diketahui, pak Nasar pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoono, yakni periode tahun 2011-2014. Dan sebelumnya, ia juga pernah menjabat eselon 1 di Kementerian Agama Republik Indonesia, yakni sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Pengalaman di lingkungan birokrasi ini memberikan kekuatan tersendiri bagi sosok pak Nasar. Pengetahuan, pengalaman dan keterlibatan secara aktif dalam memberikan keputusan masif dan strategis dalam struktur negara menjadikan pak Nasar sebagai orang yang kontributif dalam membangun peradaban yang lebih baik. Kebijakan membangun keluarga sakinah, inisiasi lahirnya Undang-Undang Produk Halal, dan sejumlah kebijakan strategis lainnya dilahirkan dari jabatan yang diembannya.
Melihat rekam jejak pak Nasar dan dihadirkannya dalam event AICIS ini tentu menjadi semakin menguatkan bobot forum yang bergengsi itu. Afirmasi intelektual, sosial, dan birokrasi yang melekat pada diri pak Nasar diharapkan dapat dimanifestasikan dalam AICIS. AICIS bukan lagi hanya sekedar forum tukar menukar gagasan intelektual semata, tetapi AICIS harus dapat mengasilkan rumusan yang dapat diimplementasikan secara sosial dan sekaligus dapat direkognisi oleh negara. Rumusan yang diafirmasi secara intelektual, sosial, dan birokrasi merupakan target yang harus dapat ditunjukkan oleh AICIS. Persis sama halnya dengan sosok pak Nasar: intelektual, sosial, dan birokrasi.
Semoga manfaat.
(Suwendi/Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta)
Bagikan: