Mari Menyemai dan Menebar Kedamaian

Rabu, 17 Januari 2018 09:46 WIB
Pendis

Mari Menyemai dan Menebar Kedamaian

"Tebarkan Kedamaian" menjadi tema Hari Amal Bhakti (HAB) Kemenag ke -72. "Saya mengajak seluruh aparatur sipil negara Kementerian Agama dan semua komponen umat beragama di tanah air agar bersama-sama menjadi duta penebar kedamaian. Marilah kita buktikan bahwa agama sesungguhnya membawa angin kesejukan yang menenteramkan. Dalam damai akan tercipta negeri yang tenteram dan sejahtera," ujar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam arahan di Jakarta dalam rangka Peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-72 Kementerian Agama, Rabu (03/01/18). Demikian kutipan arahan Menteri Agama sebagaimana dirilis laman situs ini. Himbauan Menag terasa menyentuh dan menginspirasi, di tengah situasi sosial politik dan budaya belakangan ini yang kerap riuh mengedepankan ujaran kebencian dan rupa-rupa laku yang memedomani kekerasan, verbal maupun non verbal.

Pada diri insan Pendidikan Islam sejatinya nilai-nilai perdamaian sangatlah dekat. Secara kategoris, nilai-nilai seperti berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, kreatif, inovatif, jujur,adil, etis dan berdisiplin merupakan kategori akhlak yang bersifat personal. Sedangkan nilai-nilai seperti toleran, harmoni personal dan sosial serta budaya Islami dalam komunitas merupakan contoh sikap sosial.Pembedaan seperti ini secara mendasar dapat kita kenali dalam konstruksi kurikulum Pendidikan Islam yang menyatakan bahwa dimensi sikap meliputi `sikap spiritual` yang berdimensi personal dan `sikap sosial` menyangkut relasi pribadi dengan orang lain, komunitas dan lingkungannya

Pesan "Menebarkan kedamaian" setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, nilai-nilai kedamaian sudah inheren dalam diri kita. Pada setiap yang kita pahami sebagai bagian dari diri kita dalam berinteraksi dan mengafirmasi diri ke lingkungan sekitar, menebarkan kedamaian merujuk pada diri kita lebih dulu sebagai individu yang berkedamaian. Pertanyaannya, jika ternyata belum menjadi individu yang penuh dengan damai, apa yang mau kita tebar sesungguhya? dus; Kedua, kedamaian itu dimulai dari kita sendiri dulu. Saat ini, jamak ditemui konstruksi dan pemahaman kedamaian justru berlawanan dengan makna damai itu sendiri. Orang dengan mudah meneriakkan perlunya perdamaian, tapi pada saat yang bersamaan sedang membangun perangkat perang dan rusuh. "Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai", sebuah penggalan lirik satiris dari orkes gambus Nasida Ria terasa menyentak, dan itu sudah tersampaikan lama. Ketiga, menggaungkan kedamaian pada sebuah ruang sosial, budaya dan politik hakekatnya terselip kesadaran adanya sesuatu yang mengusik kedamaian itu sendiri, sesuatu yang "tidak damai", setidaknya mengarah pada "ketidakdamaian", di luar sana.

Kerangka Konseptual Damai: yang Positif atau Negatif?
Pandangan tentang kondisi damai beragam. Mahatma Gandhi melihat kemiskinan sebagai penyubur kekerasan. Damai bukan sekedar kondisi tiadanya kecamuk perang atau merajanya kekerasan di sekitar kita, namun juga kondisi yang memungkinkan kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan mampu disemai dan ditumbuhkembangkan bersama. Pada sisi lain, Johan Galtung, Sosiolog terkemuka yang banyak menggelontorkan ide tentang perdamaian, melihat perdamaian pada dan sebagai dua kutub: perdamaian negatif (negative peace) dan perdamaian positif (positive peace). Sudut pandang perdamaian negatif (negative peace) melihat konstruksi damai sebagai situasi tanpa perang (war), pemerkosaan (rape), pembunuhan (homicide) atau kekerasan (violence). Galtung juga memaknai belum terwujudnya persamaan hak dan keadilan sebagai kekerasan tidak langsung (indirect violence).

Berpijak dari pandangan diatas, konsep rahmatan lil alamin dalam Pendidikan Islam, eloknya, bukan hanya dipahami pada tataran bagaimana Pendidikan Islam hadir dan mampu mempromosikan nilai nilai harmoni, kesejukan, dan ketentraman, namun juga bagaimana mewujudkan pembangunan Pendidikan Islam yang berkeadilan, menjauhkan diri dari kepentingan sementara dan partisan.

Perdamaian Dimulai dari Diri Sendiri
Pada konteks Pembangunan Pendidikan Islam, kondisi damai setidaknya bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, perspektif Pendidikan Islam yang mengedepankan nilai nilai rahmatan lil alamin telah sedemikian rupa inheren dalam derap langkah dan sendi-sendi pembangunan Pendidikan Islam. Selaku aparatur Pendidikan Islam, sepatutnya kita menempatkan nilai nilai damai dalam melayani masyarakat dan mengembangkan Pendidikan Islam, sehingga lanskap Pendidikan Islam penuh dengan nuansa kesejukan dan ketentraman. Kedua, meminjam persepktif Galtung dan Gandhi, bahwa kemiskinan dan pada dasarnya adalah juga bagian dari ketidakadilan, maka pesan damai dalam Pendidikan Islam adalah juga bagaimana kita menebar dan memastikan pembangunan Pendidikan Islam yang berkeadilan. Pada berbagai kemungkinan untuk menjadi tidak adil dan berpihak pada kepentingan sementara, kita harus meyakinkan diri bahwa pilihan semacam ini sesungguhnya hanyalah pilihan untuk mengedepankan kekerasan secara tidak langsung (indirect violence) dan pada saat yang bersamaan jauh dari pesan-pesan dasar perdamaian.

Lebih jauh, Galtung secara tajam juga melihat bahwa terdapat aspek indirect violence secara struktural. Dia melihat usaha yang menghambat seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya sebagai bagian dari kekerasan, kekerasan secara struktural. Berpijak dari definisi itulah Galtung kemudian berpendapat bila kekerasan tak melulu hanya berupa kekerasan personal yang dilakukan secara langsung lewat serangan fisik maupun mental, melainkan terdapat pula kekerasan struktural yang dilakukan secara tidak langsung, semisal yang dilakukan melalui tatanan sosial yang tidak adil. Untuk itu perdamaian membutuhkan sebuah upaya yang terus menerus untuk merawatnya, megembangkannya menjadi energi bersama. Upaya menumbuhkembangkan perdamaian adalah juga upaya menolak finalitas, upaya menghindari status menyerah pada kemungkinan non-damai.

Damai bukanlah sebuah titik akhir, damai mengandaikan juga upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berulang. Kekerasan struktural akan menciptakan tatanan sosial yang tidak adil dan rentan memunculkan polarisasi di masyarakat, yang pada akhirnya dapat berujung pada terciptanya konflik. Selamat Hari Amal Bhakti ke-72 Kementerian Agama. Mari Tebarkan Kedamaian..

Wallahu a`lam..
Saiful Maarif (bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)


Tags:

Bagikan: