Indonesia adalah negara yang memiliki beragam suku, budaya, dan keyakinan beragama. Sebagai wilayah yang multikultural ini, perbedaan adalah hal mutlak yang tidak bisa dipisahkan. Di antara komponen keberagaman itu adalah agama. Badan Pusat Statistik merilis, penduduk Indonesia yang beragama Islam berada pada angka 87%, sedangkan sisanya adalah Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, serta Khonghucu. Belum ditambah agama-agama lokal yang masih ajeg dianut oleh sebagian masyarakat kita. Statistik ini mendorong terjadinya dikotomi kelompok minoritas dan mayoritas. Serta menjadi rentan terhadap konflik identitas agama. Karenanya setiap warga negara perlu diingatkan tentang hikmah perbedaan ini, bahkan sejak usia dini. Agar ketika dewasa, potensi untuk melakukan tindakan rasisme yang mengantarkan kepada keretakan kita sebagai Bangsa bisa dihilangkan. Harmonitas antar pemeluk agama dapat terus terjaga dengan baik.
Penanaman nilai toleransi sejak dini bisa kita lihat pada penelitian Jumiatmoko di TK Negeri Pembina Karangmalang Sragen, Jawa Tengah. Pada TK ini, diterapkan pengayaan nilai-nilai keberagaman toleransi. Dalam materi sekolah tersebut juga ditekankan untuk melepaskan sekat-sekat beragama, meskipun di dalamnya terdapat peserta didik dengan latar belakang agama yang berbeda. Meskipun melepaskan sekat agama, materi keagamaan tetap menjadi prioritas bagi peserta didiknya.
Penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 ini juga menyebut bahwa nilai-nilai toleransi beragama bisa dilakukan kepada anak-anak dengan cara yang mudah. Sekurang-kurangnya terdapat empat komponen penting bagi institusi atau lembaga yang ingin melakukan hal serupa. Empat hal itu adalah Pola Pembiasaan, Kurikulum, Peran Guru, dan Peran Orang Tua.
Pertama, Pola Pembiasaan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengayaan atau pembiasaan yang dilaksanakan dengan tujuan utama memberikan pengetahuan dan penanaman sikap spiritual sesuai dengan agamanya masing-masing. Tiap anak diberikan waktu khusus untuk mendalami tata cara agamanya dengan melafalkan dua kalimat syahadat beserta terjemahnya, menghafal doa-doa harian, dan menghafal hadits-hadits pilihan. Sedangkan bagi anak Non-Muslim, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk doa bersama, bernyanyi, maupun kegiatan bermain lainnya, biasanya yang dilaksanakan adalah mewarnai gambar dengan tema- tema keagamaan. Keduanya dilakukan di ruangan yang berbeda.
Situasi ini menjadikan anak-anak setiap pagi, mulai hari Senin hingga Sabtu terlatih dan terbiasa mengetahui, memahami, dan menjalani pengalaman untuk bertoleransi dalam melaksanakan tata cara ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Selain kegiatan ritus di atas, di dalam kelas, anak-anak diberikan waktu pula untuk mengenal perbedaan lainnya. Terdapat kegiatan makan dan doa bersama, di mana setiap anak secara bergiliran diberikan kesempatan untuk memimpin doa sebelum dan sesudah makan, dan doa bersama dengan kepercayaannya masing-masing. Setiap anak diminta untuk diam dan mendengarkan ketika ada anak lainnya yang berdoa sesuai dengan ajarannya.
Kedua, Kurikulum. Secara keseluruhan, komposisi jadwal pembelajaran TK Negeri Pembina Karangmalang mengandung muatan toleransi beragama sebanyak 43,99%. Penelitian menyimpulkan bahwa kurikulum yang diterapkan telah mengakomodasi keinginan lembaga untuk mengenalkan hingga menanamkan sikap toleransi beragama sejak usia dini. Hal ini disebabkan jenjang usia 5-6 tahun, lingkup perkembangan Nilai Agama dan Moral menjadi salah satu tingkat pencapaian perkembangan anak. Pada masa itulah anak diharap mampu mengenal perbedaan agama orang lain dan menghormati agama lain. Dari hasil 43,99% di atas cara paling efektif adalah dengan menyisipkan nilai-nilai menghargai perbedaan melalui pembiasaan-pembiasaan dalam setiap kegiatan.
Ketiga, Peran Guru. Perilaku toleransi anak muncul secara alamiah berdasarkan situasi maupun kondisi lingkungan dan dapat berkembang sesuai yang diharapkan dengan bimbingan. Sebagai sosok yang bertanggungjawab di sekolah, guru mendapat peran penting pada proses ini. Untuk mendapatkan materi yang adil dan berimbang, guru perlu dibagi antara guru kelas dan guru agama.
Guru kelas betugas secara khusus pada pembelajaran masing-masing kelas dari awal hingga akhir jadwal harian. Guru kelas menyampaikan materi sekolah TK pada umumnya, hanya saja terdapat sebagian materi nilai menghargai perbedaan (toleransi) yang disisipkan guru pada kegiatan belajar anak. Di antaranya; membimbing anak agar saling menghargai perbedaan isi doa, membimbing anak agar saling menghargai perbedaan tata cara berdoa, membimbing anak agar saling menghargai perbedaan simbol agama, memberikan pemahaman kepada anak mengenai konsep halal dan haram, serta membimbing anak untuk memahami perbedaan Tuhan yang disembah.
Adapun guru agama, adalah guru yang melakukan pembinaan materi keagamaan. Guru Agama melaksanakan tugasnya dengan jumlah tatap muka sebanyak lima kali dalam seminggu. Dengan perincian, sebanyak satu kali dalam jadwal Agama dan empat kali dalam jadwal Religius. Artinya anak memiliki waktu yang lebih banyak dalam bentuk pengamalannya, tidak fokus pada materi agama saja.
Pada sekolah yang di dalamnya terdiri dari anak dengan agama yang berbeda-beda, guru agama memiliki peran yang amat penting. Dalam hal ini, masing-masing guru agama senantiasa memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pembiasaan sikap maupun perilaku toleransi beragama. Selain agar agar anak mendapatkan materi keagamaan yang memadai, pembagian guru agama dan guru kelas ini juga dibutuhkan agar tidak terlalu menitikberatkan pada satu sudut pandang agama saja. Setiap anakpun bisa melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar siswa dan guru kelas kemudian menjadi penengah melalui bimbingan-bimbingan.
Keempat, Peran Orang Tua. Orang tua memiliki peran untuk menyamakan persepsi pada setiap awal tahun pelajaran, membangun komitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat, dan berperan serta dalam kegiatan implementasi toleransi beragama. Tatkala komponen sekolah; guru dan perangkatnya, sudah membimbing sedemikian rupa di sekolah, maka tugas orang tua selanjutnya adalah meneruskan atau menjaga pengayaan tersebut. Orang tua bisa bertanya dan meminta pendapat kepada anaknya tentang perbedaan-perbedaan yang ia dapatkan di sekolah.
Orang tua bisa juga ikut berperan aktif memantau kegiatan dan perkembangan anak bersama sekolah. Misalnya dengan terhubung grup khusus diskusi melalui aplikasi WhatsApp Messenger. Diskusi itu bisa menjadi media menarik guna memunculkan ide-ide baru untuk kegiatan anak sekolah selanjutnya. Misalnya yang pernah dilakukan TK Negeri Pembina Karangmalang dalam agenda menjaga nilai toleransi bersama, yakni menghias telur pada saat Paskah dan menulis kartu ucapan lebaran pada saat hari Lebaran.
Empat komponen di atas dinilai cukup baik dalam menanamkan toleransi kepada anak usia dini. Tentu dengan melakukan evaluasi dan monitoring dari pihak pendidikan terkait secara bertahap. Selain sinergitas antar empat komponen ini, yang juga dibutuhkan adalah pengkajian lebih lanjut mengenai perbandingan konsep-konsep pembinaan toleransi beragama pada lembaga negeri dan swasta, baik swasta Islam maupun Non-Islam. Selain itu juga dibutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi bagi guru dalam melaksanakan pembinaan toleransi beragama di sekolah-sekolah lainnya.
Penulis: Sufyan Syafii
Editor: Kendi Setiawan
Tags:
#Diktis#Kemenag#penelitian#toleransi#anak#sekolah#pendidikan
Bagikan: