Secara umum, mahasiswa yang sedang menempuh dunia akademiknya mengalami problem atau hambatan. Hambatan ini bisa dispesifikasikan menjadi dua, yakni hambatan studi (akademik) dan hambatan sosial-pribadi. Sebagai generasi penerus kemajuan bangsa, mahasiswa sudah sepatutnya bisa melalui hambatan-hambatan ini. Sehingga manusia terpelajar itu senantiasa mampu menjalankan perannya sebagai agen perubahan.
Kendala yang cederung menjadi problem tersendiri ini harus ada jalan keluarnya.
Imas Kania Rahman, mahasiswa yang menempuh Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dalam penelitiannya berjudul Model Pendekatan Bimbingan dan Konseling Gestalt Profetik (G-pro) Berbasis E-Learning untuk Membantu Mahasiswa Prokrastinasi Akademik menyebutkan bahwa layanan bimbingan dan konseling (BK) di perguruan tinggi merupakan keniscayaan untuk menyelesaikan persoalan di atas.
Memang, tulis Kania dalam laporannya, tidak banyak perguruan tinggi yang menerapkan adanya layanan bimbingan dan konseling. Tetapi hal ini dinilai sangat bisa mengatasi dua persoalan yang dihadapi mahasiswa, sehingga butuh perhatian serius dari perguruan tinggi, tentu dengan segala kebijakan yang dibuat.
Prokrastinasi sendiri, dalam dunia Psikologi, berarti tindakan mengganti tugas berkepentingan tinggi dengan tugas berkepentingan rendah. Akibatnyatugas penting pun tertunda. Psikolog sering menyebut perilaku ini sebagai mekanisme untuk mengatasi kecemasan yang berhubungan dengan memulai atau menyelesaikan tugas atau keputusan apa pun.
Dalam penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, Kania menjelaskan, meski dianggap solutif mengatasi problem mahasiswa, namun masih ada kendala, yaitu pemerintah belum mengeluarkan regulasi yang mengatur pelayanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi hingga saat ini.
Kendati tidak ada aturan yang baku dari pihak pemerintah, beberapa perguruan tinggi sudah memberanikan diri membuat regulasi layanan yang sejenis dengan layanan bimbingan dan konseling, meski belum mencapai taraf maksimal, karena pelaksanaanya lebih memprioritaskan pada pelayanan karir (career center). Adapun pada aspek akademik, pribadi, dan sosial kerap dipercayakan kepada Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang kompetensinya masih belum memadai dalam hal layanan bimbingan dan konseling mahasiswa.
Penelitian ini juga menyebutkan kasus prokrastinasi akademik yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Faktor secara mayoritas karena ada kecenderungan mahasiswa menunda dalam memulai, melaksanakan, dan mengakhiri aktivitas pembelajaran, penelitian ilmiah, dan pengabdian masyarakat.
Dari data yang dikemukakan dalam penelitian ini, Ellis & Knaus (1977) menemukan hampir 70 persen mahasiswa di luar negeri melakukan prokrastinasi. Sedangkan di Indonesia, temuan tahun 2016 di Universitas Muhammadiyah Surakarta, dari 24.493 mahasiswa aktif tingkat S1 (semua fakultas) sebanyak 4.937 mahasiswa yang telah mengambil skripsi. Namun dari sebagian mahasiswa ini tidak menyelesaikan tugas pembuatan skripsi dengan tepat waktu.
Di kampus lain, tepatnya di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) ditemukan fenomina prokrastinasi akademik mahasiswa Program Studi Psikologi UNS Solo mencapai 13,68 persen prokrastinasi katagori tinggi, 74,74 peren katagori sedang, dan 11,58 persen prokrastinasi katagori rendah.
Sedangkan di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, dari jumlah mahasiswa aktif tahun ajaran 2016/2017 sebanyak 5.149 mahasiswa dan tahun 2012/2013 semester ganjil 3.658. Adapun jumlah wisudawan tahun 2016/2017 hanya 835. Dari data tersebut, sebanyak 2.823 terindikasi prokrastinasi. Angka ini sangat besar, tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penanganan yang cukup efektif dari perguruan tinggi terkait.
Kondisi ini tentu juga terjadi di perguruan tinggi lain. Hal ini memberikan gambaran bahwa sumber daya manusia Indonesia di usia produktif banyak yang gagal menuntaskan studinya, dan harus mulai menjadi perhatian serius dari perguruan tinggi dan pemerintah.
Ada ragam bentuk fenomina prokrastinasi, di antaranya penundaan menuntaskan tugas, penundaan belajar dalam menghadapi ujian, penundaan tugas membaca sumber rujukan, penundaan menghadiri pertemuan perkuliahan, menyelesaikan tugas pada menit-menit terakhir pengumpulan, cenderung melakukan plagiarisme dan kecurangan-kecurangan lainnya (Clark &Hill, Wolters, 2003; Westpal, 2004; Penn, 2007; dalam artikel Mesovelia, 2017).
Jika terus dibiarkan, tidak hanya berdampak buruk kepada mahasiswa secara internal, citra negatif juga akan melekat kepada kampus yang bersangkutan dengan sendirinya. Kampus dianggap tidak bisa melahirkan mahasiswa yang berkompeten. Untuk itu penting bagi jajaran akadekmik meneliti sekaligus memberikan solusi bagi mahasiswa yang terindikasi prokrastinasi.
Sebagai upaya menyelesaikan fenomina ini, peneliti menawarkan Bimbingan dan Konseling Gestalt Profetik (G-Pro), sebuah pendekatan bimbingan dan konseling bernuansa islami. Pendekatan ini telah lolos uji coba melalui penelitian quasi eksperimen Tahun 2010-2011 terhadap 60 orang peserta didik di sekolah menengah. Pendekatan ini juga dinilai efektif diterapkan di kampus.
Kendati demikian, dalam pelaksanaannya tidak semua orang bisa menerapkan BK G-Pro, model pendekatan ini hanya bisa dilakukan oleh konselor atau pembimbing yang memiliki kompetensi khusus dalam dunia bimbingan konseling. Di samping itu harus mempunyai media atau alat tertentu yang mendukung terhadap praktik BK. Seperti Kartu Permainan SDBHSM, lembar jawaban, lembar konseling individual serta video dan power point yang mendukung sebagai perangkat wajib.
Penulis: Syamsul Arifin
Editor: Kendi Setiawan
Tags:
Bagikan: