Para pemikir manajemen terkemuka silih berganti mengingatkan pentingnya kesiapan menghadapi perubahan dan dinamika dunia beserta berbagai ide untuk melampaui hal-hal tersebut. Dewasa ini kita akrab mendengar informasi mengenai era disrupsi dengan, sebutlah salah satunya, Rhenald Kasali sebagai pakar manajemen lokal yang kerap menyuarakannya. Ide-ide yang menginpirasi dan menggerakkan perubahan juga banyak sekali ditemui, salah satunya adalah Blue Ocean Paradigm. Jauh sebelumnya, tentu saja kita mengenal baik Peter Drucker dalam konteks ini. Pendek kata, ide dan inspirasi untuk menghadapi perubahan telah lama kita kenal baik, namun apakah kita telah benar-benar berubah adalah sesuatu yang masih perlu dilihat lebih jauh. Menilai perubahan, apalagi dengan alat ukur administratif --bukan pada mindset dan budaya, cenderung mendorong kita untuk memiliki persepsi dan simpulan semu terhadap capaian dan ukuran perubahan itu sendiri.
Simpulan yang semu dan persepsi yang tidak presisif tersebut bisa kita analogikan dalam citra gelembung. Saat anak-anak bermain, tentu keceriaan dan kebahagiaan yang terlihat. Beragam cara mereka tempuh untuk bermain dan memanfaatkan apa yang mungkin demi me time mereka. Salah satu yang sering dimainkan mereka adalah gelembung yang berasal dari air yang ditampung deterjen. Sebagaimana sifat materialnya, gelembung adalah sesuatu yang mudah membesar, mudah dibentuk, dimainkan, ditiup ke berbagai arah, tapi tak berisi, alias kosong. Pada dasarnya gelembung adalah sesuatu yang mudah pecah. Gambaran tentang gelembung sepert ini mewakili the bubble theory yang sudah lama dipahami dalam ilmu ekonomi: fenomena produk atau inovasi yang tiba-tiba membesar dan melesat, dan bisa membuat orang terkesima, bisa tiba-tiba ambruk dan tak dikenali lagi.
Pada awal 2000-an, ketika the new economy demikian mendominasi dan banyak perusahaan berlomba mengembangkan dot com companies, nilai saham perusahaan-perusahaan dalam bidang terkait yang go public melejit begitu tinggi. Ekspektasi dan keyakinan masyarakat juga demikian besar dalam booming bisnis berbasis internet ini. Amazon.com, Cisco System hingga Yahoo! berkibar-kibar menikmati fenomena ini. Namun sayang, ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan, tiba-tiba banyak dari perusahaan tersebut sempoyongan dan pada akhirnya semaput. Setelah diteliti, perusahaan-perusahaan tersebut ternyata lebih mementingkan aspek marketing saja dan mengabaikan hal-hal fundamental perusahaan.
Bagian dari kondisi seperti diatas adalah salah baca memaknai realitas. Pada konteks Reformasi Birokrasi, jika institusi lebih memilih mengedepankan aspek administratif ketimbang substansial, maka jebakan bubble imaging theory juga akan membayangi. Jika perubahan sebagai semangat dasar Reformasi Birokrasi sebatas dimaknai pemenuhan aspek administratif maka kurang lebih orang sedang menikmati fenomena gelembung itu sendiri. Perubahan yang dinilai dari euforia dan klaim sesungguhnya tidak mencerminkan perubahan itu sendiri. Perubahan yang cukup diyakini dan hanya sampai pada reporting system tidak lebih adalah perubahan dalam klaim dan dokumen saja.
Perubahan yang "transaksional"?
Seringkali dalam pikiran banyak orang memahami bahwa Reformasi Birokrasi bersanding erat dengan remunerasi. Mari berubah, maka remunerasi akan didapat. Mari transformatif, maka kesejahteraan meningkat. Pertanyaannya, jika tidak mau berubah apakah itu artinya remunerasi tidak akan pernah datang? Apakah perubahan itu harus dan bisa berlaku bagi sebagian saja sementara sebagian yang lain tidak, namun memilik hak remunerasi yang sama? Andaikan sistem penggajian ASN telah sedemikian rupa mencukupi kebutuhan dasar ASN, apakah dengan demikian Reformasi Birokrasi dapat diabaikan saja?
Ketika Reformasi Birokrasi dimaknai sebatas perbaikan remunerasi, tanpa disertai perubahan di sektor-sektor mendasar, maka hal ini bisa menimbulkan kesalahan pemahaman. Reformasi Birokrasi hadir karena berbagai hal mendasar dalam birokrasi yang perlu dibenahi. Ibarat orang sakit, penyakitnya membutuhkan pil yang umumnya pahit. Belum juga minum pil pahit, "pasien" tersebut sudah diberi minuman manis. Minuman manis tersebut adalah remunerasi, sementara pil pahit adalah "terlaksananya" Reformasi Birokrasi sesungguhnya.
ASN memang berubah dalam konteks disiplin presensi dan remunerasi. Kita berubah dari yang dulunya datang ke kantor pada jam semaunya, namun sekarang tidak bisa lagi. Kita juga telah berubah dengan mendapatkan remunerasi atas pelaksanaan nilai-nilai Reformasi Birokrasi yang kita jalankan. Jam absensi telah sedemikian ketat mengatur presensi kedatangan dan kepulangan. Tapi dibalik itu, mampukah kita mengkonversi dan mengisi disiplin presensi itu dengan kinerja yang optimal sesuai tugas dan fungsi? Apakah disiplin waktu yang sudah dijalankan mampu direspon dengan membagi tugas yang jelas dan terukur? Sudahkah pekerjaan yang dijalankan berdasar prosedur (SOP) dan SPM (standar pelayanan minimal) atau berdasar feeling saja? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan.
Capek dalam upaya Berubah?
Ada saatnya orang melihat pentingnya perubahan tapi tidak juga mau bergerak. Pada mereka, terdapat pengetahuan dan pemahaman tentang makna penting perubahn itu sendiri. Namun hal tersebut tidak disertai dengan keinginan dan tindakan berubah. Di sisi lain, ada saatnya orang yang yang sedang dalam upaya berubah tapi tidak cukup memiliki persistensi dan daya juang untuk menyelesaikan upaya tersebut sampai akhir. Dalam diri orang-orang seperti ini terdapat resiko untuk berhenti dalam upaya yang dijalankan karena berbagai hal yang mempengaruhinya. Berbagai kendala tersebut diantaranya adalah pertama, promosi perubahan terlalu tegang atau serius. Tidak serius bukan berarti abai pada substansi. Jika pada tiap sudut ruangan terdapat slogan dan banner perubahan dan tiap minggu menerima amanat untuk berubah dalam berbagai workshop tanpa peta from-to yang jelas dan terukur, maka upaya perubahan tersebut terasa terlalu tegang dan tidak asyik. Upaya perubahan bukan semata-mata perang penumpasan terhadap budaya jumud yang sudah usang dijalankan, tapi juga perlu memberi ruang untuk bernapas dan menikmati kehidupan. Ruang bernapas dan upaya menikmati ini pada akhirnya bisa ditransformasikan menjadi energi positif yang siap digelorakan lebih jauh karena berasal dari keinginan dalam diri.
Kedua, upaya perubahan adalah sebuah jalan panjang. Sudah jelas, perubahan adalah terutama menyangkut pola pikir dan budaya. Perubahan pola pikir dan budaya ini membutuhkan waktu dan jalan yang tidak sebentar. Berbagai upaya, kebijakan, dan eksperimen yang digerakkan menuju perubahan tersebut kerap menemui berbagai kendala karena membutuhkan energi yang besar dan berbagai upaya pendukung lainnya. It`s a long and winding road kata The Beatles, dan kurang lebih demikian adanya upaya perubahan ditempuh dan dijalani. Ibarat perjalanan panjang di tol Cipali, upaya perubahan juga membutuhkan beberapa rest area untuk istirahat dan meneduhkan capek. Momen istirahat ini bisa dikemas menjadi upaya untuk restrospeksi dan introspeksi atas jarak dan waktu perjalanan, meyakini dan membangunnya sebagai kemenangan-kemenangan kecil yang layak mendapat apresiasi dan sebagainya.
Ketiga, Rutinitas yang berlebihan. Routines could kill you. Ungkapan sederhana dan mungkin cenderung sekenanya itu dalam beberapa hal ada benarnya. Jika promosi perubahan ditempuh dengan cara-cara yang hanya menekankan rutinitas dan mematikan kreatifitas dan jerih pada inovasi yang menyenangkan dan menggugah, maka rutinitas tersebut bisa sangat menjebak dan menjenuhkan bagi individu yang terlibat di dalamnya.
Wallahu a`lam
Saiful Maarif
(Bekerja pada Bagian OKH Ditjen Pendidikan Islam)
Bahan Bacaan
Bungin, Burhan, Komunikasi Politik Pencitraan, Jakarta, Prenamedia Group, 2018
Dwiyanto, Agus, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011
Kasali, Rhenald, Disruption Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, cet kedelapan, 2018
W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, Blue Ocean Shift, Pergeseran Samudra Biru Melampaui Persaingan, (terjemahan), Gramedia Pustaka Utama, 2017
Bagikan: