Menyongsong Pendidikan Islam 4.0

Kamis, 23 Agustus 2018 14:49 WIB
Pendis

Menyongsong Pendidikan Islam 4.0

Jika kita ikuti berita di media cetak, elektronik, media sosisal, dan lainnya, pemberitaan tentang pendidikan generasi keempat/4.0 belakangan makin sering kita lihat dan dengar. Hal ini wajar karena isu tentang Pendidikan 4.0 berkembang seiring dengan mengemukanya pemberitaan tentang Revolusi Industri 4.0 yang dinilai berdampak pada berbagai sisi kehidupan. Setidaknya Kemendikbud dan Kemenristekdikti dari awal tahun 2018 sudah terlihat sangat aktif dalam mengelola isu ini. Perhelatan ISODEL (International Symposium on Open, Distance, and E-learning) pada Desember 2018 mendatang oleh Kemendikbud, misalnya, sudah sejak awal tahun digemakan di berbagai saluran informasi. Salah satu topik dasar yang akan dibahas adalah tentang pendidikan 4.0. Sementara itu, Kemenristekdikti pada laman situsnya juga aktif memberitakan pendidikan 4.0 dan relevansinya dengan kebijakan yang dijalankan.

Pendidikan 4.0 kerap disandingkan dengan Revolusi Industri 4.0, meskipun tidak berarti ketika terjadi revolusi industri 1.0 penyebutan yang sama juga dialamatkan ke ranah pendidikan. Disinyalir, Jerman adalah negara pertama yang mempopulerkan peristilahan Revolusi Industri kepada publik pada saat mereka makin intensif mengenalkan komputerisasi industri manufaktur mereka. Dalam konteks historis, Revolusi Industri Gelombang Pertama ditandai dengan mekanisasi produksi untuk menunjang efektifitas dan efisiensi aktivitas manusia, Industri 2.0 dicirikan oleh produksi massal dan standarisasi mutu, dan industri 3.0 ditandai dengan berbagai pola otomasi dan robotika. Selanjutnya, Industri 4.0 hadir menggantikan industri 3.0 yang ditandai dengan kolaborasi jaringan cerdas yang menggabungkan mesin, alur kerja, dan sistem di seluruh lapis produksi secara mandiri.

Dengan pendekatan otomasi dan robotika pada Revolusi Industri Gelombang Ketiga saja sudah terjadi peminggiran peran manusia dalam dunia kerja, kini kolaborasi sistemik yang dijalankan jaringan cerdas pada revolusi industri 4.0 bisa jadi akan makin membuat manusia menjadi penonton dari proses industri yang berjalan. Saat ini, di berbagai layanan yang terkait dengan kebutuhan sehari-hari, kita sering mendengar makin maraknya pola internet of things (IoT), Big Data Analytic, dan Artificial Intelligent (AI). Internet of things merujuk pada kondisi dimana benda-benda di sekitar kita dapat berkomunikasi satu sama lain melalui sebuah jaringan internet, sementara AI adalah "kecerdasan" buatan manusia yang dibenamkan setidaknya pada operasi komputasi dan robotika. Sebagai contoh sederhana, pada IoT orang dimungkinkan akan mendapatkan notifikasi otomatis lewat messaging atau email mengenai apa saja barang atau kebutuhan stok makanan yang habis di kulkas hari itu. Lebih jauh, pendekatan big data analytic dan AI memungkinkan orang mendapat saran pembelian apa saja untuk mengisi kulkas tersebut berdasar ide kebiasaan dan kecenderungan makanan yang biasa Anda beli, menyarankan makanan diet yang diperlukan untuk kesehatan --di toko dan swalayan mana yang paling murah dan bagus, dan yang lebih menakjubkan berdasar ketersediaan cashflow keuangan Anda.

Sepintas, peran IoT, Big Data Analytic, dan AI sangat membantu kehidupan manusia dan dengan demikian kita bisa sangat berteman dengannya. Namun demikian, kombinasi atau salah satu dari ketiganya bisa juga menjadi hal yang sangat merisaukan. Elon Musk, miliarder tersohor dunia saat ini, pemilik Tesla dan SpaceX, pada tahun 2017 mengatakan di depan para Gubernur Amerika Serikat bahwa "saya tahu tentang teknologi kecerdasan terbaru saaat ini, dan saya pikir kita harus mengkhawatirkan hal ini." Pada pihak lain, almarhum fisikawan terkemuka Stephen Hawking bahkan menilai perkembangan Artificial Intelligent dapat menjadi akhir dari kehidupan manusia.

Pada sisi lain, bisa jadi semangat dan citra diri kita hingga hari ini masih berada pada level globalisasi dan dinamika teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan kita berinteraksi secara global dan real-time, dan kita merasa cukup dengannya. Bisa jadi kita akan terkaget-kaget begitu gelombang revolusi industri itu mengetuk dengan keras pintu kita. Ketukan itu bisa berupa sekedar afirmasi perkenalan, kebijakan, bahkan regulasi. IoT, big data, AI dan berbagai perkembangan serupa adalah cerminan dari disrupsi teknologi. Dibutuhkan sebuah kesiapan yang tepat untuk menyongsong era ini.

Dinamika teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini telah merubah sedemikian rupa semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya pendidikan. Tuntutan industri yang menekankan pentingnya big data analytic, AI, dan IoT mau tidak mau mempengaruhi perspektif dasar pendidikan dan proses pembelajaran yang dijalankan. Dengan kecepatan perkembangan teknologi dan informasi saat ini, rasanya tidak lagi memungkinkan stakeholder pendidikan berpikir dengan cara dan mutu konvensional lagi. Diperlukan langkah dan kebijakan transformatif untuk mengiringi berbagai perkembangan tersebut.

Perkembangan teknologi merupakan sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Teknologi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia dan keingintahuan yang kuat untuk memecahkan masalah yang dihadapi menggunakan sarana yang ada. Yang diperlukan untuk menghadapi perkembangan tersebut setidaknya adalah penyesuaian terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Sepintas, dampak dan tantangan terbesar dari Revolusi Industri Generasi Keempat mungkin adalah makin terpinggirkannya peran manusia dan perlunya penguatan pendidikan vokasi. Namun demikian, pendapat seperti ini cenderung hanya melihat berkembang dan masifnya teknologi secara materialistik saja; pendidikan hanya diukur dari sejauhmana bisa menghasilkan tenaga kerja yang siap menerima pekerjaan. Pendidikan hanya dilihat sebagai sarana untuk menguasai teknologi, bukan sarana efektif untuk transformasi pengembangan kualitas individu.

Oleh karena itu, transformasi pendidikan yang peka terhadap perubahan juga harus menimbang teknologi bukan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai produk tunggal yang perlu disasar. Proses pendidikan jangan hanya berupa penyiapan teknologi saja, tapi juga penyiapan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari siswa, guru, pimpinan lembaga pendidikan, orang tua, pemerintah dan dunia industri. Dengan melihat perbedaan sifat kependidikan pada masing-masing jenjang, kiranya sekelumit usulan pendekatan untuk menyongsong Pendidikan 4.0 perlu dibedakan per jenjang pendidikan.

Bagi pendidikan dasar dan menengah, pendidikan 4.0 setidaknya memiliki beberapa keniscayaan untuk mempersiapkan diri. Pertama, kecenderungan untuk harus solutif terhadap ragam masalah yang menyertai Revolusi Industri 4.0 harus diimbangi dengan menyiapkan siswa dengan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah, mampu mengembangkan komunikasi interpersonal dengan baik, kreatif, dan tentu saja kolaboratif. Kedua, pola pikir guru dan pemangku pendidikan lain perlu didorong untuk lebih adaptif dengan perkembangan TIK dalam pembelajaran. Hal ini jelas terkait dengan sarana dan prasarana secara langsung. Meskipun terdengar agak bombastis, pada tahun 2015 pernah tercetus ide satu siswa satu tablet. Pada tahun itu barangkali belum terbayang urgensi dan manfaat ide itu akan seperti apa. Namun, ceritanya bisa lain untuk saat ini. Siswa yang bisa terhubung ke jejaring internet adalah jembatan penting bagi beroperasinya rekayasa teknologi terkini. Big data analytic akan mudah memetakan personalisasi prestasi, kendala, dan capaian masing-masing siswa. Dengan data tersebut, selain hasil atau nilai akhir, guru atau orang tua bisa mengetahui apa saja yang telah dipelajari oleh siswa serta kendala-kendala dalam proses belajar secara lebih rinci. Penerapan teknologi big data juga dapat dibarengi dengan analisis prediktif untuk menentukan pembelajaran seperti apa yang cocok untuk setiap masing-masing siswa. History dan cookies siswa seperti soal apa yang dikerjakan, soal mana yang menjadi permasalahan, serta pola jawaban dari siswa dapat dikumpulkan dan dirumuskan menjadi sebuah standar untuk memberikan sebuah metode pembelajaran yang lebih baik. Ketiga, perlunya penyesuaian kurikulum untuk membekali siswa mengenai big data, kecerdasan buatan, dan masyarakat digital secara umum. Keempat, perlunya menyediakan konten pembelajaran digital yang mudah diakses seluruh siswa. Penyediaan sarana seperti rumah belajar yang sudah berjalan dengan baik kiranya bisa diadopsi dan dikembangkan. Memasuki rumah belajar terasa seperti kelas virtual yang inspiratif. Dengan pengayaan nilai-nilai islam dan khazanah kekayaan historis islami, rasanya visualisasi digital Pendidikan Islam mampu sedemikian rupa memikat dan menginspirasi.

Sementara itu, Revolusi Industri Generasi Keempat mau tidak mau juga menghampiri domain Pendidikan Tinggi Islam. Dengan konteks yang berbeda dengan Pendidikan dasar dan menengah, PTKI setidaknya perlu menyiapakan diri menyongsong Pendidikan 4.0 dengan setidaknya beberapa hal berikut. Pertama, penyesuaian kurikulum pembelajaran dengan kemampuan mahasiswa dalam hal data Information Technology (IT), Internet of Things (IoT), dan Big Data Analytic, meningkatkan kemampuan dalam aspek data literacy, technological literacy and human literacy. Kedua, diperlukan rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. Kebijakan seperti ini mengandaikan adanya keterbukaan dan adaptif terhadap perkembangan. Jika kita setidaknya mengunjungi laman e-learning Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT), untuk menyebut universitas terkemuka di dunia, dengan mudah kita akan mendapati layanan kursus dan kuliah terbuka secara digital dan gratis. Layanan digital dan gratis dikembangkan secara luas dan dibuka untuk umum. Konten dan layanannya dikembangkan sedemikian rupa sehingga berbagai pihak dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari perspektif sivitas akademik kampus terkemuka tersebut. Dengan mengadopsi hal yang kurang lebih sama, warga PTKI bisa mengembangkan semacam cyber university tanpa harus takut hilangnya mahasiswa karena kursus dan kuliah terbuka gratis. Mengembangkan informasi gratis yang berguna dan membangun akan dengan sendirinya menjadikan PTKI sebagai wadah kebaikan untuk kemajuan bersama. Ketiga, penyiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsif, adaptif, dan handal dengan dukungan infrastruktur pendidikan, riset, dan inovasi yang juga mumpuni. Kondisi ini memungkinkan PTKI untuk membuat terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 dan ekosistem terkait tanpa kehilangan jati diri Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam.

Wallahu a`lam
Saiful Maarif
(Bekerja pada Bag Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum Ditjen Pendidikan Islam)


Tags:

Bagikan: