Sektor pendidikan terus menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Selain ekonomi, sebagai salah satu tiang langgengnya suatu negara, pendidikan adalah tolok ukur kemajuannya. Dari sistem pendidikan yang baik normalnya akan melahirkan Sumber Daya Manusia yang lebih unggul. Karenanya, evaluasi terhadap perkembangan pendidikan adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Baik dari segi pemerataan kesempatan mengeyam pendidikan bagi seluruh warga, maupun sejauh mana nilai-nilai dalam proses pendidikan mampu diimplementasikan oleh para peserta didik.
Taxonomi Bloom mengemukakan bahwa pendidikan tidak hanya perlu membuat peserta didik menjadi orang yang kaya ilmu pengetahuan dan teori, tetapi juga membentuk manusia yang mampu berprilaku baik di dalam masyarakat sekaligus terampil dalam mempraktikkan ilmu yang dimilikinya. Pendidikan yang ideal adalah proses yang harus dapat membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, dapat hidup bersama orang lain dan memiliki keterampilan dalam mengaplikasikan ilmunya di masyarakat. Namun, fakta yang terjadi di lapangan, kerap kali masih bak api jauh dari panggangnya.
Fitria Carli Wiseza dan Noviriani dalam penelitiannya tahun 2018 tentang pendidikan di Indonesia memperlihatkan hasil yang cukup memperihatinkan. Penelitian yang berkonsentrasi pada Provinsi Jambi itu menemukan, bahwa masih terhitung banyak siswa di Jambi yang menunjukkan sikap perilaku non-sosial dalam proses kegiatan belajarnya di sekolah.
Penelitian berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 berjudul Pengaruh Pengetahuan Agama dan Pertimbangan Moral terhadap Agresivitas Siswa MAN Kabupaten Bungo, ini juga menjelaskan, bahwa sikap penyimpangan itu mengalami kenaikan sampai 6 persen dalam dua tahun terakhir (2016-2017).
Dalam penelitian ini, Fitria dan Noviriani mengutip dua identifikasi masalah yang kerap memengaruhi naiknya kesenjangan hal di atas. Di antaranya adalah kuatnya agresivitas siswa dalam menghadapi perubahan zaman. Pertama faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal penyebab agresivitas adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah: kemiskinan, anominitas, suhu udara yang panas dan kuatnya sikap meniru atau tidak berintuisi. Sedangkan faktor internal tersebut adalah faktor biologis. Faktor-faktor biologis yang mempengaruhi perilaku yaitu transmisi genetik dan sistem otak.
Artinya, kenaikan penyimpangan siswa pada dasarnya dapat ditanggulangi jika setiap elemen lingkungan peserta didik (siswa, guru dan orang tua) dapat bersinergi untuk menghadapi problem ini. Tingkat agresivitas para siswa Madrasah Aliyah/setingkat merupakan masa yang kerap kali menunjukkan emosi tak terkendali maupun tidak terkontrol, membuatnya perlu melakukan langkah-langkah penanggulangan atau preventif.
Fitria dan Noviriani, atas permasalahan di atas kemudian memberikan saran, yakni perlunya penyampaiannya nilai-nilai agama yang bersifat pengamalan dalam realitas kehidupan (implementatif). Minimnya pengetahuan tentang agama dari aspek nilai yang para siswa miliki, ditambah dengan pengaruh lingkungan yang buruk menjadi permasalahan berikutnya. Tingkat agresivitas remaja yang masih bergelora perlu didampingi dengan nilai agama.
Dalam penelitian yang didukung Diktis Pendis ini, Fitria dan Noviriani, menemukan, nilai agama yang bersifat impelemtatif ini akan memberikan panduan kepada manusia berhubungan dengan Tuhan. Hubungan manusia tuhannya ini sangat penting untuk membatasi tingkah laku manusia.
Dengan demikian, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan ini untuk kemudian dapat mempertimbangan lebih dalam pada aspek moral. Kondisi ini juga perlu menuntut tindakan nyata dari semua pihak: pemerintah, orang tua, sekolah dan masyarakat agar agresivitas siswa menjadi semakin terkendali.
Penulis: Sufyan Syafi'i
Editor: Kendi Setiawan
Tags:
Bagikan: