Ki Ageng Selo adalah tokoh sufi Nusantara berkebangsaan asli Jawa, tepatnya daerah Demak, Jawa Tengah. Sebagai seorang sufi, Ki Ageng Selo memilik konsep dan ajaran tasawuf fenomenal yang dituliskan dalam syair-syair tembang macapat yang tersusun dalam Pepali Ki Ageng Selo.
Untuk memehami pesan moral (moral idea) Pepali Ki Ageng Selo secara holistik, hal mendasar yang perlu diketahui bersama adalah bentuk karya Pepali Ki Ageng Selo berupa karangan sastra, dan dituliskan dalam bentuk syair. Pengetahuan ini selanjutnya akan berpengaruh pada proses interpretasi yang dilakukan dalam 'proyek' penelitian atas naskah itu sendiri.
Sebagai seorang peneliti, Rima—untuk membedah naskah Pepali Ki Ageng Selo—mendudukkan Hermeneutika Friedrich Daniel Er Nst Schleiermacher sebagai alat verstehen, atau suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab–sebab tindakan tersebut—terhadapnya. Dalam hal ini Rima meminjam teori Hermeneutika sebagai pisau analisis teks untuk menangkap ajaran-ajaran tasawuf yang disampaikan Ki Ageng Selo dalam pepalinya.
Sebagaimana mafhum, Schleiermacher adalah salah seorang tokoh hermeneutika berkebangsaan Jerman. Schleiermacher menawarkan satu konsep lingkaran hermeneutika sebagai kerangka metodologi interpretasi akomudatif. Yaitu, metode interpretasi yang didasarkan pada (1) proses reposisi mental pengarang dan (2) pemahaman interteks secara besamaan.
Sederhananya, hermeneutika Schleiermacher mengajarkan bahwa seorang yang hendak memahami pesan suatu teks—tak terkecualikan juga naskah Pepali Ki Ageng Selo dalam posisinya sebagai karya sastra—harus melalui dua 'pembacaan' yang saling terkait kelindan. Pertama, seorang pembaca teks (reader) harus melakukan pembacaan ulang terhadap segala apapun yang melatari pengarang teks (author). Dalam hal ini yang harus dipahami dari pengarang adalah sosiokultural beserta sosioreligi sang pengarang, kecenderungan psikologi pengarang hingga kepentingan yang menunggangi pengarang itu sendiri. Langkah ini dimaksudkan untuk mencerna segala hal yang berkaitan dengan pengarang.
Kedua, seorang pembaca teks (reader) harus mencerna leksikal gramatikal teks itu sendiri secara utuh. Dalam hal ini yang harus dipahami adalah keterkaitan interteks dari satu bab ke bab selanjutnya, pemilihan istilah-istilah dalam tata kebahasaannya bahkan struktur susunan gramatikal yang digunakan oleh pengarang (author). Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui pesan teks—secara tekstual—yang dituliskan oleh pengarang.
Sementara itu, Rima dalam penelitiannya yang berjudul Corak Ajaran Tasawuf dalam Pêpali Ki Agêng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher menggunakan hermeneutika Schleiermacher ini sebabgai metode interpretasi atas teks Pepali Ki Ageng Selo.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, merujuk teori Hermeneutika Schleiermacher sebagaimana dijabarkan di atas, peneliti menuturkan bahwa untuk memahami pesan-pesan moral (moral idia) dan ajaran tasawuf Pepali Ki Ageng Selo, pembaca (reader) harus memahami dua aspek dominan dari teks itu sendiri. Pertama, memahami psikologis kepengarangan, Ki Ageng Selo dalam posisinya sebagai text authority. Dan kedua, memhami leksikal gramatikal interteks syair-syair tembang macatap Pepali itu sendiri.
Sebagai langkah yang pertama, peneliti menuturkan latar belakang Ki Ageng Selo. Menurut Rima, Ki Ageng Selo adalah masyarakat pribumi asli Jawa yang merupakan leluhur kerajaan Mataram. Oleh karenanya Rima menarik kesimpulan bahwa pribadi dan latar belakang Ki Ageng Selo tidak dapat dilepaskan dengan segala bentuk tradisi serta kebudayaan Jawa yang begitu arif pada masa Kerajaan Demak. Implikasi latar belakang kedaerahan ini, mengakibatkan Ki Ageng Selo dalam ajaran tasawufnya banyak bertutur tentang tradisi, kebudayaan dan adat Jawa sebagai pedoman hidup manusia berbudi luhur.
Kecenderungan tasawuf Ki Ageng Selo ini diperkuat dengan kepribadian Ki Ageng Selo yang merupakan sosok seorang petani. Oleh karenanya, semakin tampak bahwa ajaran tasawuf Ki Ageng Selo lebih 'membumi' ketimbang ajaran tasawuf falsafi murni yang cenderug melangit.
Bersamaan dengan latar 'Jawi' ini, Rima juga menuturkan bahwa Ki Ageng Selo juga merupakan murid Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagaimana mafhum, Kalijaga adalah seorang dai muslim yang menggunakan pendekatan tradisi dan kearifan lokal sebagai media dakwahnya. Kalijaga dari segi pemikiran filsadat dan tasawufnya, lebih menonjolkan dimensi praktis prilaku-prilaku mulia. Maka, sebagai implikasi dari latarbelakang ini, tasawuf yang diajarkan Ki Ageng Selo dapat digolongkan pada tasawuf akhlaki.
Setalah memahmi latar kepengarangan tersebut—masih tetap dalam pijakan hermeneutika Schleiermacher—langkah kedua yang harus ditempuh oleh pembaca (reader) adalah memahmi leksikal gramatikal interteks itu sendiri.
Dalam hal ini, Rima mencermati dengan rinci tembang-tembang syair Pepali Ki Ageng Selo secara pupuh-perpupu. Rima juga menjelaskan kandungan isi dari tiap-tiap bagian—yang secara umum dibagi menjadi enam bab—dalam Pepali itu.
Menurut penelitian Rima yang didukung Diktis Kemenag ini, ajaran tasawuf Ki Ageng Selo memiliki porsi paling dominan dalam dalam Asmaradana dan Mijil. Syair-syair tembang macapat yang terdapat dalam kedua bagian tersebut menjelaskan tentang ilmu-ilmu yang digunakan untuk mengetahui dan mendekatkan diri kepada Tuhan: ilmu syariat, tarekat, hakikat, dan ilmu makrifat.
Namun demikian, peneliti sama sekali tidak menafikan beberapa bagian yang lain. Peniliti juga menyebutkan bahwa Ki Ageng Selo menuturkan tentang konsep 'Tuhan' dalam Dhandanggula. Dalam bagian ini Ki Ageng Selo menggunakan kata 'Hyang Widi untuk menyebut Tuhan. Pemilihan kata 'Hyang Widi' dalam bab ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan sosio-religi masyarakat Jawa yang notabene Hindu-Buda di masanya.
Bagian bab ini oleh peneliti dikaitkan dengan-bagian sebelumnya, Maskumambang. Dalam Maskumambang—khususnya pada pupuh delapan sampai sepuluh—Ki Ageng Selo mengutip Surat Al-Imran ayat 27 untuk menerangkan konsep hidup dan mati. Hal ini menjelaskan bahwa ajaran Islam sudah mengakar di tanah jawa sejak abad 16.
Berdasarkan—dua pendekatan hermeneutika Schleiermacher yang telah dideskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran tasawuf Ki Ageng Selo dipengaruhi oleh latar masyarakat jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan lokal berkearifan tingngi. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa Ki Ageng Selo memusatkan ajarannya pada tatacara hidup mulia di tengah-tengah masyarakat jawa yang berorientasi pada kebahagian hadirnya Tuhan, Allah dalam diri manusia.
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan
Tags:
Bagikan: