Dalam rilis laporan tahun 2018, World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak tantangan dalam menapak langkah industri. Berbagai indikator yang digariskan oleh WEF menegaskan sinyalemen ini. Dari tingkat kesiapan teknologi, Indonesia berada pada peringkat 80 dari 137 negara. Sementara itu, dari aspek efisiensi pasar kerja, posisi Indonesia berada pada peringkat 96 dari 137 negara.
Rilis data ini tentu saja mengentak bukan saja mengenai peringkatnya, namun juga karena lembaga yang merilisnya. World Economic Forum didirikan oleh Klaus Schwab, penulis The Fourth Industrial Revolution, sebuah buku penting yang memiliki pengaruh luas dan dipandang sebagai peletak pemikiran dan ide dasar tentang Revolusi Industri 4.0. Klaus Schwab, dengan dinamika dan kualitas pemikiran yang dimilikinya, bukanlah pemikir yang biasa-biasa saja. Idenya tentang Revolusi Industri keempat menandai dengan tepat bagaimana pendulum sejarah peradaban akan bergerak. Inilah peradaban yang gerak dan dinamikanya sedemikain cepat dengan parameter lajunya yang tidak bisa ditemukan sebelumnya. Oleh karenanya, informasi tentang kesiapan teknologi dan efisiensi pasar kerja dari WEF ini rasanya patut dicermati bersama. Hal ini menjadi penting karena rasanya tidak tersedia waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri.
Merujuk pada data yang dilansir McKinsey Global Institute (2017), diperkirakan pada tahun 2030 sebanyak 800 juta pekerjaan di seluruh dunia akan hilang akibat otomatisasi. Otomatisasi dipahami sebagai berakhirnya peran manual yang dikerjakan oleh fisik manusia, digantikan peran algoritma digital yang lahir dari perkembangan teknologi terkini, anak kandung Revolusi Industri 4.0 tersebut. Bagi Indonesia, momen saat itu seperti hadiah berganda: satu hadiah bernama bonus demografi, hadiah lainnya adalah prediksi McKinsey Institute tersebut.
Seringkali terdengar semangat menggebu untuk menyambut 2028-2030 sebagai bonus demografi yakni ketika usia produktif (15-64 tahun) akan membentuk persentase 67,2% dari total seluruh populasi (BAPPENAS dan BPS, 2018). Namun demikian, jika prediksi McKinsey kelak terbukti dan Indonesia mengalami dampak langsung dari prediksi itu, bonus demografi bisa jadi bukan sebuah bonus yang sepenuhnya menggembirakan terkait laju dan derajat tantangan yang dihadapi. Asian Development Bank melaporkan pada tahun 2015 bahwa 52% dari populasi pekerja di Indonesia memiliki keterampilan di bawah standar (underqualified) untuk posisinya. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Memang benar kondisi di bawah standar ini banyak dialami negara lainnya, terutama negara-negara berkembang. Data terbaru World Employment and Social Outlook: Trends 2019 dari ILO (International Labour Organization) menunjukkan bahwa pada tahun 2018 mayoritas dari 3 milyar lebih pekerja di dunia mengalami problem kualitas dalam pekerjaan mereka. Para pekerja ini menghadapi tekanan perkembangan teknologi baru yang mengancam pencapain pasar tenaga kerja yang ada.
Berbagai kondisi mengkhawatirkan tersebut mau tidak mau mendorong pemerintah dan semua pihak terkait untuk bergerak cepat. Bulan madu pembangunan infrastruktur di berbagai lini dirasa sudah cukup memadai, sudah saatnya pembangunan manusia digerakkan semaksimal mungkin. Tahun 2018 lahirlah Making Indonesia 4.0, sebuah upaya bersama untuk membuat ekosistem ekonomi digital dalam bentuk kerangka strategis dengan pendekatan memangkas regulasi yang dipandang tidak lagi relevan dan sepenuhnya mendorong inovasi digital. Sebagai peta dan strategi menuju Revolusi Industri 4.0, Making Indonesia 4.0 memiliki lima sektor yang menjadi fokus dan 10 prioritas nasional dalam upaya memperkuat struktur perindustrian nasional. Disamping itu, Making Indonesia 4.0 mengenalkan berbagai keterampilan baru: internet of things, artificial intelligent, e-commerce, Big Data, Robotics, Augmented Reality, Cloud Computing, Additive Manufactirung 3D Printing, Nanotech dan Biotech, dll.
Pesan penting Making Indonesia 4.0 terkait pendidikan adalah pemerintah berencana untuk merombak kurikulum pendidikan dengan lebih menekankan pada STEAM (Science, Technology, Engineering, the Arts, dan Mathematics), menyelaraskan kurikulum pendidikan nasional dengan kebutuhan industri di masa mendatang. Pemerintah akan bekerja sama dengan pelaku industri dan pemerintah asing untuk meningkatkan kualitas sekolah kejuruan, sekaligus memperbaiki program mobilitas tenaga kerja global untuk memanfaatkan ketersediaan SDM dalam mempercepat transfer kemampuan.
Perspektif seperti ini sejalan dengan substansi forum International Symposium on Open, Distance, and E-Learning 2018 (ISODEL) 2018 di Bali. Disampaikan dalam forum tersebut bahwa Revolusi Industri 4.0 tidak hanya mendekati tetapi sudah terjadi dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Pertanyaannya adalah bagaimana sektor pendidikan, mulai dari guru, siswa, kepala sekolah/madrasah, dosen, pemerintah pusat dan daerah, serta pemangku kepentingan lainnya agar dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman yang demikian cepat. Dari sekian banyak rekomendasi yang disampaikan dalam forum tersebut, secara umum ada dua catatan penting yang bisa ditarik.
Pertama, pemanfaatan teknologi digital harus mewarnai berbagai aspek pendidikan, yakni proses dan model belajar (belajar dan bekerja terjadi pada waktu yang sama, memfasilitasi gamifikasi sebagai bagian dari pembelajaran, e-commerce, e-learning, dll), strategi dan teknik belajar, dan keterampilan dasar TIK. Sepintas, kondisi ini seperti menomorsatukan teknologi digital pada semua aspek pendidikan, menepikan aspek sosial dan kemanusiaan secara umum. Namun demikian, catatan kedua menjadi penyeimbang dari kondisi tersebut, bahwa keterampilan sosial tidak dapat digantikan oleh robot/teknologi; pun toleransi, imajinasi, intregitas, kebijaksanaan, kreativitas, dan semangat juang. Semangat untuk menyongong perkembangan teknologi juga harus mengedepankan inovasi dan semangat untuk menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga berbagai kekhawatiran sebagaimana tersebut diatas bisa diantisipasi dengan baik.
Diatas semua itu, penting untuk tetap menekankan bahwa perkembangan teknologi tidaklah kemudian membuat kepantasan tersendiri untuk kehilangan karakter diri dan wawasan kebangsaan.
Wallahu a`lam
Saiful Maarif
(Bekerja pada Bagian Organisasi, Kepegawaian dan Hukum, Ditjen Pendidikan Islam)
Bagikan: