Salah satu televisi swasta nasional di tahun 2017 sudah 2 (dua) kali menayangkan diskusi publik dengan tema LBGT (lesbi, gay, biseksual, transgender). Entah sebuah kebetulan atau tidak, beberapa hari kemudian polisi mengungkap sindikat kejahatan seksual gay yang menyasar anak-anak sebagai target. Tak berselang lama, di tempat berbeda sebuah media online mengungkap berita adanya pesta sex sesama sejenis (gay) dibarengi pesta minuman keras. Dari lima pelaku yang ditangkap Polisi satu diantaranya masih anak di bawah umur dan berstatus pelajar. Sangat mudah bagi pembaca berita online menemukan informasi dimana kalangan pelajar menjadi korban atau bahkan pelaku perilaku LGBT. Fakta ini juga dikuatkan data temuan dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di beberapa Provinsi, sebagai contoh data Kepulauan Riau. Di Kepulauan Riau diduga sekitar 3.000 anak laki-laki usia di bawah 18 tahun merupakan penyuka sesama jenis.
Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan bahwa sekitar 18,6 juta pelajar adalah pengguna aktif internet. Di sisi lain Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan bahwa sekitar 78% waktu pengguna internet dihabiskan untuk membuka media sosial. Fakta mengungkap bahwa pelaku LBGT memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk membangun komunitas, berkomunikasi dan berinteraksi serta mencari korban baru. Pelaku LBGT menggunakan modus dengan cara mengirim/menyebar konten porno baik berupa gambar atau video untuk menjaring calon korbannya. Tidak hanya menyasar pelajar, beberapa sindikat kelompok LGBT menyasar anak-anak dengan cara membuat aplikasi yang memuat konten video porno yang menampilkan adegan hubungan intim antar anak laki-laki atau popular dengan istilah video gay kids (vgk). Aparat Kepolisian mengungkapkan bahwa sindikat ini tidak hanya beroperasi di Jakarta, tapi juga merambah di kota-kota lain di pulau jawa ataupun luar jawa. Melakuan penyebaran konten pornografi dan menjadikan anak sebagai objek ataupun subjek perilaku seksual adalah tindak kejahatan yang sangat merusak dan membahayakan.
Aktivitas penganut LBGT yang menyasar anak dan pelajar ini sangat meresahkan para orang tua, tokoh agama hingga para akademisi. Bentuk keresahan tersebut misalnya diwujudkan dengan melakukan judicial review Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait delik kesusilan yang dipelopori oleh Prof. Euis Sunarti guru besar IPB. Pemohon meminta pelaku LGBT dapat dipidana mengingat bahaya dan dampak yang ditimbulkan di masyarakat. Bahaya perilaku LBGT ini juga diingatkan oleh pakar neuropsikolog Universitas Al Azhar Jakarta Ikhsan Gumilar. Ikhsan mengatakan bahwa LGBT sangat membahayakan kelangsungan generasi suatu bangsa karena mayoritas perilaku LBGT menyasar dan berkembang pada anak-anak dan remaja. LBGT menurut Dr. Fidiansjah (Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan) masuk dalam kategori orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ahli hukum tata negara menyatakan bahwa salah satu maksud pasal ini adalah bahwa segala hukum dan peraturan yang dibuat di Indonesia harus bernafaskan dan mengedepankan norma agama sebagai acuan. Sebagian besar tokoh agama mengaminkan bahwa perilaku LGBT tidak sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia. Melindungi generasi penerus bangsa, terutama generasi Islam adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Langkah Kementerian Agama membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi sangat patut diapresiasi. Satuan tugas ini dalam kesehariannya berkantor di lantai 2 (dua) Gedung Kementerian Agama Lapangan Banteng. Jika bertandang ke sana, pengunjung disambut beberapa standing banner berisi himbauan kewaspadaan terhadap perilaku dan konten pornografi serta kewajiban melindungi diri dan keluarga atas kejahatan dan kekerasan seksual.
Fakta bahwa pelaku LGBT dan penyebaran konten porno telah menyasar, mengincar kalangan anak-anak, pelajar dan mahasiswa sudah seharusnya menjadikan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dapat mengambil peran lebih aktif dalam mendukung Satuan Tugas Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi yang telah dibentuk di tingkat Kementerian. Dukungan dan peran aktif tersebut dapat diwujudkan dengan membentuk gugus tugas di madrasah-madrasah, pondok pesantren dan kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Gugus tugas ini diharapkan semakin memantapkan dan menguatkan peran Satuan Tugas di tingkat Pusat. Selain sebagai penangkal masuknya faham LGBT dan konten porno, tidak berlebihan kiranya jika gugus tugas ini diharapkan dapat melengkapi dan mendukung instrumen lain di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam menjaga dan merawat moral bangsa.
Doni Wibowo
Pecinta Data dan Pemerhati Masalah Sosial
Bagikan: