Guru Menulis: Pemula dan Pemalu Itu Keren

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". Dari ungkapan tersebut, jelas tersurat pentingnya sebuah karya bagi seseorang. Meski jasad sudah terkubur, namun karyanya tak pernah mati. Hal tersebut dapat kita lihat dari kiprah para tokoh pujangga di Indonesia.


Bung Hatta misalnya, proklamator yang sangat produktif menulis. Beliau menulis sejak usia 16 tahun hingga 77 tahun. Semasa hidupnya, Bung Hatta telah menghasilkan lebih dari 800 karya tulis dalam bahasa Indonesia, Belanda maupun Inggris. Kumpulan hasil karya Bung Hatta dibukukan ke dalam 10 buku dan diluncurkan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2018.


Tokoh selanjutnya adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama pena NH Dini. Novelis wanita yang aktif menulis sampai di usia senja. NH Dini telah melahirkan tidak kurang dari 40 buku, puluhan cerita pendek dan puisi. Salah satu karya monumental NH Dini adalah novel berjudul “Pada Sebuah Kapal”. Sebuah kisah tentang pencarian cinta sejati yang masih relevan untuk dinikmati hingga hari ini.


Nia Rohayati (2021) menyatakan bahwa aktivitas menulis adalah kegiatan mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan emosi melalui simbol-simbol grafis. Menurutnya, menulis menjelmakan bahasa lisan dengan menyalin, melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, membuat laporan, membuat karya ilmiah dan sebagainya.


Berdasarkan definisi tersebut, menulis sepatutnya menjadi suatu hal yang tidak asing bagi para guru. Mereka dapat mengemukakan gagasan dan pikirannya terkait profesi yang dijalankan melalui tulisan. Hal itu bila disertai pengalaman guru selama mendidik pasti menarik dan layak dituangkan menjadi sebuah karya tulis.


Data Kemendikbudristek semester ganjil Tahun Ajaran 2022/2023 mencatat ada 3,3 juta guru di seluruh Indonesia. Apabila 10-20 persen dari jumlah tersebut terbiasa menulis dan menggerakkan guru lain untuk menulis, maka dapat dibayangkan dampak positifnya terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Guru mengajar itu biasa dan memang sebuah keharusan. Akan tetapi, guru mengajar sekaligus mampu menghasilkan karya tulis itu baru luar biasa.

Manfaat Menulis


Akhadiah dkk (2017) menyebutkan beberapa manfaat menulis, antara lain: Pertama, menulis menyumbangkan kecerdasan, kemampuan mengharmonikan berbagai aspek yang mendukung kualitas sebuah tulisan. Kedua, menulis mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Tulisan yang enak dibaca harus ditata dengan runtut, jelas, dan menarik. Hal ini membutuhkan daya kreativitas dari seorang penulis untuk mewujudkannya.


Ketiga, menulis mengembangkan keberanian untuk menampilkan pemikiran, perasaan, dan ciri khas yang dimiliki serta menawarkannya kepada publik. Seorang penulis harus siap menerima penilaian serta tanggapan dari pembaca, baik bersifat positif atau negatif. Keempat, menulis mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Penulis akan terpacu untuk mencari, mengumpulkan, dan menyerap informasi sebagai bahan tulisan dengan cara membaca, mendengar, mengamati, berdiskusi atau wawancara.


Aktivitas menulis juga memiliki manfaat bagi pengembangan profesi guru. Bagi guru PNS mulai jenjang 3b ke atas, diperlukan publikasi ilmiah sebagai syarat kenaikan pangkat. Guru yang terampil menulis tentu lebih mudah mengusahakan poin untuk kenaikan pangkat. Tidak menutup kemungkinan guru juga bisa mendapatkan koin dari karya tulisnya. Tak sedikit guru yang memperoleh royalti dari penerbit atau memperoleh honor dari karya tulis yang dihasilkan.


Hambatan Menulis


Beberapa kendala yang dialami terkadang menyebabkan guru menyerah dan menjadi malas untuk menulis. Anita Candra Dewi (2023) menyebutkan beberapa hambatan dalam menulis meliputi rasa kurang percaya diri, suka menunda-nunda untuk mulai menulis, perasaan bingung harus mengawali dari mana, dan hasil tulisan dirasa tidak sesuai dengan maksud dan tujuan.


Hambatan-hambatan tersebut lebih banyak berasal dari diri penulis sendiri, yang sesungguhnya dapat diatasi. Mengubah pola pikir, memperbaiki sikap menunda-nunda, yakin menetapkan ide dan mau memulai menulis serta menetapkan kerangka penulisan adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam menulis.


Penulis Pemula dan Pemalu


Menulis itu keren, perlu segera dimulai dan jangan malu untuk memulai. Setidaknya ada dua tipe penulis yang perlu didorong agar kebiasaan menulis menjadi bagian dari aktivitas kehidupan mereka, yakni penulis pemula dan penulis pemalu.


Penulis pemula adalah mereka yang sudah memiliki kemauan untuk menulis, memiliki permasalahan dan ide pemecahan masalah. Mereka mencoba menuangkan ide, menulis judul, membuat beberapa kalimat, namun tidak selesai. Dalam proses penulisan, hal ini dikenal dengan istilah writer’s block atau stuck writer. Sebuah kondisi ketika seorang penulis mengalami kebuntuan ide untuk menulis.


Pada tipe penulis pemula, butuh motivasi atau kemauan kuat untuk menulis. Disarankan pula untuk mengikuti komunitas-komunitas menulis. Di sana penulis pemula dapat berguru pada teman seprofesi yang sudah pernah menulis atau mengikuti workshop penulisan. Melalui belajar menulis dan bergabung dengan komunitas menulis, upaya untuk memiliki karya berupa tulisan tidak hanya sekedar angan-angan.


Penulis pemalu adalah mereka yang sudah pernah menulis kemudian mencoba mempublikasikan ke media massa atau jurnal, tetapi tidak pernah dimuat. Guru penulis pemalu mungkin juga pernah mencoba menulis, tetapi merasa kerepotan membagi waktu sehingga tidak ada kesempatan untuk konsisten menulis.


Guru yang menulis bukan karena suatu kebutuhan biasanya akan malu-malu untuk menulis lagi. Ia hanya menunggu dan kembali menulis saat terdesak saja, seperti mau naik pangkat atau diminta kepala sekolah untuk mengikuti lomba dan lain sebagainya.


Kritikan orang lain. merasa gagal karena tulisannya ditolak media massa atau jurnal, tidak tahu langkah selanjutnya setelah berhasil menulis, dan merasa tidak memiliki waktu untuk menulis merupakan faktor-faktor yang kerap menyebabkan guru berhenti menulis. Guru yang mampu mengelola semua hambatan tersebut adalah guru yang istimewa. Memulai menjadi penulis pemula atau membuang rasa malu bagi penulis pemalu adalah sebuah tantangan bagi guru. Entah sebagai penulis pemula atau penulis pemalu, itu sama-sama keren.



Penulis: Tatik Pudjiani, Pengawas PAI Kemenag Kabupaten Purworejo

Editor: Apriyadi






Terkait