a

" />

Islam Sebagai Agama, Bukan Identitas

Oleh : Sudarjat,M.Pd. (Guru PAI SMA N 1 Cijeruk, Tim Pusat PPKB GPAI)

Agama berasal dari bahasa Sansekerta, a dan gama, artinya tidak kacau. Dari arti bahasa tersebut dapat dimaknai bahwa agama adalah penataan atau tata aturan agar rapi dan tidak kacau. Menurut etimologi dalam kamus besar bahasa Indonesia agama didefinisikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan amtara manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Dalam tradisi islam, agama disebut dengan “ad-din” yang dapat diartikan sebagai tatanan atau aturan hidup.

Berdasar pada definisi tersebut, maka agama sebenarnya bukan hanya tentang identitas, tetapi lebih kepada tata aturan hidup sesuai dengan cita-cita yang mengajarkannya. Agama lahir dari kebutuhan manusia yang bersifat sosial dan tidak bisa hidup sendiri. Diperlukan kebutuhan akan sebuah aturan untuk dijalankan secara bersama-sama sehingga terwujud kehidupan bahagia dan harmonis.

Kepercayaan manusia terhadap tuhannya akan melahirkan sistem aturan yang sesuai dengan keyakinannya. Hal ini tergambar dalam perbedaan ritual dari masing-masing agama. Sebuah agama akan selalu berisi tentang tiga hal penting, yaitu keyakinan (keimanan), ritual (syariat), dan akhlak (ihsan/kebajikan). Dalam Islam tergambar dalam hadits tentang agama yang menyatukan 3 hal sebagai rukun agama, iman, islam, dan ihsan. Iman sebagai sebuah keyakinan, Islam sebagai sebuah pembinaan, dan ihsan sebagai sebuah tujuan.

Islam menurut bahasa artinya pasrah atau berserah diri. Islam sebagai sebuah agama adalah tata aturan untuk menjadikan pemeluknya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Maka dari itu, seorang muslim berarti adalah orang yang hidupnya pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Setiap gerak langkahnya tegak lurus terhadap aturan Allah dan rasulNya.

Dalam mewujudkan tatanan Islam, rasulullah bersabda, “Islam dibina/dibangun diatas lima hal, yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan berhaji ke baitullah jika mampu”. Hadits inilah yang kemudian menjadi dasar ulama menetapkan rukun islam. Apa arti rukun? Rukun adalah sesuatu yang harus ada, jika tidak ada/tidak terpenuhi salah satunya maka dianggap tidak sah. Oleh karenanya, penetapan hadits ini menjadi rukun sepertinya perlu ditelaah lebih mendalam. Selain membiaskan maksud hadits yang sebenarnya, juga membuat hadits ini tidak memberikan makna apa-apa untuk umat islam.

Sejenak mari kita renungi konstruksi hadits tersebut jika diterjemahkan begini, “Islam dibina di atas lima perkara, yaitu engkau berikrar akan membuktikan bahwa tidak ada ilah/tuhan (yang menjadi sembahan/ditaati) selain Allah/tuhan sejati, dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (yang menjadi contoh/tauladan hidup saya), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika mampu”.

Rukun Islam adalah sebuah metode pembinaan seseorang untuk menjadi Muslim, yaitu seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulnya. Kelima rukun tersebut bersifat hirarkis.

Untuk menjelaskan tentang lima metode seseorang menjadi muslim, perlu jelas dulu apa definisi muslim. Selama ini kita memahami bahwa muslim adalah seseorang yang mengaku memiliki identitas agama islam. Padahal jika merujuk pada keterangan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah tidak membeda-bedakan ajaran para rasulNya, bahkan nabi Ibrahim disebutkan Al-Quran sebagai muslim yang hanif. Kehanifannya itulah kemudian yang diingatkan oleh rasulullah Muhammad dalam shalawat ibrahimiyah yang dibaca setiap kali shalat. “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad, kama shollaita ‘ala Ibrohim wa’ala aali Ibrahim”. Ini menarik untuk dikaji, kenapa rasulullah memilih Ibrahim tidak nabi-nabi yang lain? Itu semua karena kita mengetahui bahwa hanya nabi Ibrahim yang rela menyembelih anaknya untuk dipersembahkan pada Allah.

Islam sebagai agama (din) adalah tatacara hidup seseorang yang pasrah diatur oleh Allah dan rasulNya. Akhirnya seorang muslim berarti adalah seseorang yang memasrahkan hidupnya diatur oleh Allah dan rasulNya. Untuk menjadi seorang muslim, seseorang dilatih dengan lima latihan.

Pertama, syahadat. Berjanji akan membuktikan (menjadi saksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ditaati selain Allah dan akan membuktikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Selama ini, syahadat yang kita ucapkan seakan-akan tidak memiliki makna apapun ketika meluncur dari mulut. Padahal dahulu kala, seseorang yang sudah mengucapkan syahadat rela mati untuk mempertahankannya. Ini terjadi karena pembiasan makna dari syahadat yang awalnya adalah bai’at masuk Islam menjadi hanya ucapan tanpa kita mengerti apa sebenarnya yang kita ucapkan. Makna syahadat yang menggetarkan ketika kita mengucapkannya adalah “saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa tidak ada tuhan (yang disembah, diikuti, ditaati, ditakuti) selain Allah, dan saya akan menjadi saksi (membuktikan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah (menjadi contoh dalam setiap perilaku saya)

Kedua, shalat. Shalat adalah latihan memasrahkan kepemilikan diri dan waktu untuk siap diatur oleh Allah. Dalam shalat kita melatih diri pasrah dengan aturan Allah dan rasulNya meliputi waktu dan perilaku kita yang terdiri dari gerakan dan ucapan. Waktu, ucapan dan gerakan shalat yang kita lakukan persis sesuai dengan yang dicontohkan, tidak bisa kita ngarang-ngarang sendiri waktunya, ucapannya atau gerakannya. Inilah latihan lavel dua yang merupakan tiang dari agama.

Latihan rutin, semakin pasrah waktu, ucapan, gerakan shalat kita sesuai yang diatur oleh Allah dan rasulnya semakin tegaklah islam (kepasrahan) dalam diri kita. Maka sebenarnya shalat kita menunjukkan seberapa muslim kita. Shalat berjamaah awal waktu adalah proses awal pembinaan kepasrahan kita pada aturan Allah, dilanjutkan dengan pemahaman kita akan setiap gerakan dan bacaan yang penuh dengan simbol dan sastra. Sehingga akhirnya sampailah kita pada posisi assholatu mi’rajul mukminin, shalat adalah mikrajnya orang-orang mukmin, menikmati shalat sebagaimana kisah Ali bin Abi Thalib yang dicabut panah dari punggungnya di waktu shalat, penuh kekhusuan dan kenikmatan.

Ketiga, zakat. Pembinaan tahap selanjutnya adalah memasrahkan kepemilikan kita terhadap harta dengan mengeluarkan zakat. Setelah kita mampu memasrahkan waktu, ucapan dan gerak kita siap diatur Allah, selanjutkan kita membina diri dengan mengeluarkan sesuatu yang sudah kita dapatkan. Ini level lebih berat dibanding shalat, karena harta sudah masuk dalam perangkap milik. Harta kita cari dengan susah payah, lalu Allah bilang keluarkanlah hartamu. Disinilah diuji lagi kepasrahan kita terhadap keakuan dan kepemilikan. Semakin kita terlepas dari keterikatan terhadap kepemilikan, semakin meningkatlah kualitas keislaman kita.

Keempat, puasa ramadhan. Puasa ramadhan adalah ritual/latihan menjadi muslim pada level lebih berat dari zakat. Pada level ini kita menyerahkan jiwa raga untuk ikut aturan Allah dengan puasa. Selama sebulan kita melatih diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks, tidak berbuat maksiat, tidak mendzalimi orang lain dan ditutup dengan mengeluarkan zakat fitrah. Puasa ramadhan melatih jiwa raga kita untuk pasrah dengan aturan, tidak makan sebelum magrib, kita ikuti walaupun terbuka kesempatan untuk berbuka kapan saja, tapi kita bertahan demi menunjukkan ketaatan/kepasrahan kita kepadaNya.

Kelima, Haji. Level selanjutnya adalah haji. Dengan haji kita meninggalkan seluruh kepemilikan kita terhadap duniawi untuk menghadap Allah. Hanya kain ihram tidak berjahit yang dipakai melambangkan kain kafan. Suami, istri, anak, cucu, harta, jabatan, kampung halaman, semua kita tinggalkan untuk menuju Allah. Dalam proses ritualnya pun, sangat menguras tenaga, rela mati di jalan Allah. Maka wajar kemudian rasulullah menyebutkan jika mampu. Ini artinya, jika kalian mampu lepaskan semua selain Allah, itulah haji.

Akhirnya, rukun islam sebagai tirakat/pembinaan/pembiasaan untuk hidup pasrah pada aturan Allah dan rasulNya menjadi indikator kualitas keislaman kita. Semakin kecil peran kita dalam mengatur ritual-ritual tersebut, akan semakin meningkat kualitas keislaman kita. Maka dari sini, jelaslah antara Islam sebagai identitas dan sebagai agama. Semoga Allah mengampuni jika ada tulisan ini yang tidak sesuai dengan harapanNya. Amin.



Terkait