Guru yang Memerdekakan

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)


Oleh: Sudarjat, M.Pd (Tim Pengembang PPKB GPAI, Guru PAI SMAN 1 Cijeruk, email: kangajat78@gmail.com)

Kisah ini diawali dengan gerundelan pembuka hari. Pada suatu pagi di sebuah sekolah, terlihat seorang guru sedang memarahi beberapa muridnya yang datang terlambat ke sekolah.

Sang guru terlihat sangat kesal kepada murid-muridnya tersebut, nada suaranya tinggi memarahi murid-muridnya yang menunduk.

“Kalian mau jadi apa? Setiap hari terlambat, gak mikir kalian? Orang tua kalian bersusah payah menyekolahkan kalian. Ini balasan kalian terhadap mereka?” demikian sang guru keras bersuara kepada murid-muridnya.

“Jika kalian mau begini terus, mendingan kalian keluar saja dari sekolah ini. Kalian telah merusak nama baik sekolah. Kalian kurang ajar. Habis kesabaran saya menghadapi kalian, anak tidak bisa diatur. Kalian harus hormat bendera seharian di lapangan ini. Bapak malas ngurusin kalian!” lanjutnya, seakan belum puas mengajari murid-muridnya sambil meninggalkan mereka hormat bendera di lapangan.

Cerita berbeda di sekolah yang sama terjadi beberapa tahun kemudian. Di pagi yang sangat cerah, seorang siswa yang sering melanggar peraturan sekolah terlihat sedang menjalani hukuman dari gurunya.

Ia menjalani hukuman membersihkan area sekolah dengan raut muka yang datar. Selesai menyelesaikan tugasnya, siswa tersebut diminta menghadap wakil kepala urusan kesiswaan di sekolah tersebut. Dengan perasaan takut, ia memasuki ruangan wakil kepala sekolah.

“Silahkan duduk!” perintah wakil kepala. Anak tersebutpun mengikuti perintah gurunya dengan wajah tertunduk. Sambil sibuk memainkan keyboard di laptopnya, wakil kepala meminta si anak untuk menuliskan “Saya sekolah disini untuk belajar menjadi ...... “ pada selembar kertas.

“Silakan isi titik-titik tersebut dengan bebas sesuai kehendakmu!” perintahnya. Dengan ragu-ragu, siswa tersebut menuliskan kalimat tersebut dengan menambahkan kata polisi, sehingga tertulis pada kertas tersebut.

“Saya sekolah di sini untuk belajar menjadi Polisi”. Dengan pernuh keraguan, kertas tersebut diserahkan kepada wakil kepala. Wakil kepala sekolah kemudian menghentikan pekerjaannya dan menatap fokus kepada siswa tersebut.

Tanpa diduga oleh siswa, wakil kepala berdiri dan mengucapkan selamat kepada anak tersebut. “Selamat, kamu telah menemukan tujuanmu. Mulai besok kamu adalah polisi di sekolah ini. Bapak titipkan keamanan dan ketertiban sekolah ini menjadi tanggung jawabmu dan kamu boleh menyeleksi teman-teman kamu yang ingin menjadi polisi untuk bersama-sama kamu menjalankan misi ini. Apakah kamu siap?” tanya wakil kepala.

“Maksudnya, Pak?” tanya anak tersebut belum mengerti keinginan gurunya.

“Iya, sekolah itu adalah tempat untuk belajar menjadi. Kamu tadi telah menyatakan kepada Bapak bahwa kamu sekolah di sini untuk belajar menjadi polisi. Maka misi kamu sekolah disini adalah untuk belajar menjadi polisi. Maka oleh sebab itu, bapak harus memfasilitasi kamu agar belajar menjadi polisi. Menurut kamu apa yang harus kamu lakukan untuk belajar menjadi polisi?” tanya wakil kepala.

“Apa kamu paham?” desaknya

“Iya pak, tapi apa yang harus saya lakukan?” tanya anak itu penasaran.

Dengan tenang wakil kepala balik bertanya kepada siswanya yang berharap akan jawaban, “menurut kamu, apa yang dikerjakan seorang polisi?” tanya wakil kepala.

“Menjaga ketertiban dan menegakkan hukum, Pak,” Jawab anak tersebut cepat.

“Tepat sekali, itulah tugas polisi. Maka jika kamu ingin jadi polisi, maka belajarlah jadi polisi dari sekarang. Bantu bapak untuk menjaga ketertiban dan menegakkan hukum atau aturan di sekolah ini. Menurut kamu, apa yang kamu bisa lakukan untuk menjaga ketertiban dan penegakan aturan di sekolah ini?” kejar wakil kepala.

“Banyak pak, mengatur lalu lintas penyeberangan teman-teman, mengatur parkir motor teman-teman, razia seragam. Apa lagi ya pak?” jawab anak tersebut yang sudah tidak canggung lagi menjawab pertanyaan gurunya.

“Oke, cukup segitu aja dulu. Dari tiga hal yang kamu sebutkan, apa yang bisa kamu lakukan mulai saat ini?” tanya wakil kepala lebih konkret.

"Mengatur parkir teman-teman pak,” jawab anak tersebut.

“Sip, kapan kamu siap mulai bertugas?” tanya wakil kepala.

“Besok saya siap, Pa,k” jawab anak tersebut mantap.

“Ok. Besok kamu mulai bertugas membantu satpam kita untuk mengatur parkir motor teman-teman. Dan satu lagi, ketika kamu bersalaman dengan bapak atau Pak Satpam, kamu harus bergaya seperti polisi. Hormat dulu sebelum kamu bersalaman. Anggap Bapak dan Pak Satpam adalah komandan kamu,” tambah wakil kepala.

“Siap, Ndan!” jawab anak tersebut sambil berdiri dan memberi hormat.


Dua cerita tersebut menggambarkan dua pengalaman menarik dalam dunia pendidikan formal di Indonesia. Tipe peserta didik secara umum terbagi menjadi dua kelompok besar, kelompok penurut dan kelompok pemberontak.

Kesulitan yang dialami hampir semua guru di lembaga pendidikan adalah menghadapi peserta didik tipe pemberontak. Stempel “nakal” dan “badung” akhirnya melekat pada peserta didik tipe ini. Tipe anak pemberontak biasanya berjumlah minoritas, namun akan-anak ini biasanya menghabiskan energi guru-guru. perhatian mereka lebih banyak mengurusi anak-anak tipe ini daripada anak-anak tipe penurut.

Yang menarik dari tipe anak pemberontak adalah anak-anak ini biasanya merupakan anak-anak yang berhasil lebih dahulu setelah mereka lulus dari sekolah. Bahkan yang lebih menarik, anak-anak tipe inilah yang lebih perhatian ketika bertemu dengan gurunya setelah mereka lulus dibanding dengan anak-anak tipe penurut.

Mereka menyapa gurunya ketika bertemu di manapun, bahkan banyak di antara mereka yang bersilaturahmi kepada gurunya setelah mereka berhasil. Tipe anak pemberontak memiliki banyak teman dan hubungan pertemanan mereka terlihat lebih kuat dibanding dengan anak-anak tipe penurut.

Sebuah pemikiran menarik yang menggelitik dunia pendidikan kita adalah ungkapan seorang teman guru yang mengatakan bahwa pendidikan kita itu mendidik anak atau memaksa anak untuk memenuhi ego kita, bagaimana mungkin? Dua cerita di atas adalah gambaran yang membedakan antara memenuhi ego guru dan mendidik.

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mereka siap menjalani masa depannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Pasal ini sangat jelas menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik. Permasalahannya adalah, apakah setiap kita sebagai guru dan orang tua memahami apa yang dimaksud potensi peserta didik?

Potensi merupakan energi potensial yang dimiiliki manusia dan dianugrahkan Tuhan sejak lahir. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa potensi manusia terdiri dari jasmani, akal, dan hati. Al-Quran menyebutkan bahwa potensi manusia terdiri dari sam’a (pendengaran), abshor (penglihatan) dan af-idah (hati/perasaan).

Jika kita merujuk kepada pandangan Dzakiah, maka potensi manusia yang harus dikembangkan adalah fisik, akal, dan hati (qalbu). Hal ini selaras dengan konsep pendidikan Indonesia, bahwa ruang lingkup pengembangan kompetensi terdiri dari kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Dalam hal mengembangkan ketiga potensi tersebut tentu membutuhkan strategi yang berbeda. Strategi pengembangan hati akan berbeda dengan strategi pengembangan akal demikian pula dengan pengembangan fisik. Pengembangan potensi hati harus dilakukan dengan melatih peserta didik untuk dapat merasa, maka teknik introspeksi dan tenggang rasa menjadi teknik utama dalam melatih hati.

Potensi akal hanya dapat dikembangkan dengan strategi berpikir. Untuk melatih berpikir, strategi pemecahan masalah (problem solving) menjadi teknik utama. Sementara untuk mengembangkan potensi fisik/jasmani/keterampilan, dikembangkan dengan strategi melakukan/berbuat. Untuk itu, agar potensi keterampilannya berkembang, peserta didik perlu dilatih untuk melakukan berbagai hal terkait.

Berdasar pandangan tersebut, maka tugas guru sebenarnya adalah melatih merasa/introspeksi, membuat masalah, dan menyuruh melakukan.

Melatih Rasa

Tugas hati adalah merasa, maka untuk mengembangkan potensi hati membutuhkan banyak latihan merasa. Kolaboratif, komunikatif, demokratis (saling menghargai) dan bertanggung jawab merupakan produk dari latihan merasa. Teknik muhasabah (merenung), tukar nasib, introspeksi diri, dzikir, yoga menjadi pilihan untuk mengembangkan potensi ini.

Semakin terampil peserta didik merasakan apa yang orang lain rasakan jika dia berbuat sesuatu, maka hati peserta didik akan semakin lunak dan semakin mudah untuk berbuat baik. Untuk mencapai tingkat pengembangan potensi hati yang maksimal, sekolah perlu melakukan pendekatan tukar nasib untuk seluruh perbuatan yang dilakukan oleh peserta didik.

Pendekatan tukar nasib akan menjadi arus utama dalam pembentukan karakter peserta didik. Salah satu contoh ketika peserta didik melakukan kenakalan, bawa mereka ke alam bawah sadar mereka pada kondisi alfa. Posisikan mereka sebagai orang tuanya. Bagaimana rasanya? Pendekatan ini akan membekas pada mereka ketika dilakukan secara terus menerus.

Sisi lain, dapat pula dibuat sebuah program kontemplasi pagi. Setiap pagi selama 5-10 menit, peserta didik melakukan kontemplasi untuk merenungi apa yang sudah mereka lakukan dan posisikan mereka pada posisi orang tua mereka yang menyimpan harapan akan keberhasilan dan kebahagiaan mereka. Bisa pula dicoba cara lain, yakni sesekali peserta didik dibawa jalan-jalan mengunjungi tempat bencana atau ke rumah sakit untuk melatih rasa mereka bagaimana jika mereka yang berada di wilayah bencana atau terbaring di tempat tidur rumah sakit tersebut, bila perlu inapkan mereka beberapa malam di tempat pengungsian.

Memberi Masalah

Fungsi akal adalah untuk berpikir. Berilmu dan kreativitas merupakan produk dari pengembangan akal. Untuk melatih berpikir, maka pemberian masalah untuk dicarikan solusi merupakan menu utama bagi peserta didik. Model pembelajaran problem solving adalah model utama dalam pengembangan potensi ini.

Peserta didik yang setiap hari dilatih memikirkan solusi untuk memecahkan masalah kehidupan, akan menjadi peserta didik yang terampil dalam menyelesaikan masalah kehidupannya. Akhirnya, mereka akan menjadi sosok yang kritis, kreatif dan inovatif menghadapi setiap permasalahan. Tugas guru dalam hal ini adalah pembuat masalah. Semakin mahir guru membuat masalah, maka semakin terampil peserta didik menyelesaikan masalah.

Menyuruh

Fungsi Jasmani adalah melalukan atau berbuat. Sehat, cakap, terampil, produktif dan mandiri merupakan produk dari melakukan dan berbuat. Untuk mengembangkan potensi ini, maka guru perlu memiliki kemampuan menyuruh yang mumpuni. Kemampuan menyuruh guru agar peserta didik dengan sukarela melakukan apa yang diminta oleh gurunya akan berbanding lurus dengan kemampuan melakukan peserta didik.

Semakin sering guru menyuruh peserta didik, maka semakin banyak peserta didik melakukannya. Akibatnya, semakin tinggi produktivitas peserta didik, semakin cakap dan terampil peserta didik dalam melakukan sesuatu. Maka dari itu, bagi setiap guru berhentilah menjadi aktor. Jadilah sutradara yang handal. Jadilah penyuruh yang hebat. Jadilah penyuruh yang menghipnotis, agar peserta didik dengan suka rela melakukan yang kita suruh. Tingkatkan kemampuan menyuruh kita.

Akhirnya, melatih rasa, membuat masalah, dan menyuruh merupakan ruh utama dari merdeka belajar sebagaimana yang diharapkan oleh Peratutan Pemerintah No 32 Tahun 2013 Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi “Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis Peserta Didik”.

Inilah hakikat dari merdeka belajar, belajar yang memberikan ruang yang cukup untuk prakarsa, kreativitas dan kemandirian yang diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi.

Editor: Saiful Maarif (Subdit PAI pada PAUD/TK Direktorat PAI)



Terkait