Pergaulan Remaja dan Tantangan yang Dihadapi

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Oleh: Emi Indra (GPAI SMPN 1 Palu, Sulteng)

Pengantar (ed). (Opini ini adalah salah satu pemenang Lomba Karya Tulis bagi Guru pada Lomba Menulis Media Guru yang diselenggarakan media gurusiana.id, Februari 2023)

Dalam salah satu Hadisnya, Nabi Muhammad SAW memberikan pemisalan yang sangat dalam mengenai makna pergaulan. Menurut Nabi Muhammad, mendapatkan teman yang tepat dapat diibaratkan pada diri penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.

Mendekat ke penjual minyak wangi, seseorang setidaknya akan mendapat bau harum darinya, apalagi jika sampai mendapatkan minyaknya. Saat mendekat ke pandai besi, seseorang akan mendapat bau asapnya yang tidak sedap, bisa jadi malah mendapat percikan api darinya.

Hadis ini tetap terasa kuat relevansinya. Menjalin pergaulan antarsesama teman selayaknya dihadapkan pada pilihan dramatis: jika salah memilih, maka akan terjerumus dalam beragam rupa hal negatif, begitupun sebaliknya.

Meski memilih pergaulan adalah tantangan yang dihadapi semua orang, namun anak muda, khususnya generasi milenial, memiliki tantangan yang lebih besar. Pada usia millenial, keinginan untuk memiliki pergaulan yang luas mendapat landasan psikologis atas nama upaya pencarian jati diri.

Pada tiga-empat dekade lalu, ekspresi kebersamaan untuk bergaul masih terbatas pada asumsi yang tidak mudah dibuktikan. Apa yang disinyalir sebagai pergaulan bebas masih berputar pada keprihatinan para orang tua, ahli kepribadian, atau dendang nyinyir nan perih lagu di radio.

Kini, ekspresi tersebut mudah ditemukan dalam cuitan media sosial secara vulgar, dengan segala dinamika miring yang mengiris dan menikam kesadaran bersama. Saat ini, banyak anak muda yang sengaja memamerkan staycation pacaran mereka tanpa malu, banyak pula yang terang-terangan mengaku sebagai LGBTQI (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Intersexual) dan entah peristilahan baru apa lagi yang muncul sebagai kejanggalan dan penyimpangan perilaku seksual.

Sejalan dengan itu, beragam riset lembaga kredibel mengenai dampak pergaulan bebas juga menyeruak. Data survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2007 pernah mencatatkan bahwa dari 4.500 remaja yang disurvei, 97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno (Koran Sindo, 18/3/2022).

Data tersebut juga menyebutkan, sebanyak 93,7 persen remaja SMP dan SMA pernah berciuman, bahkan 62,7 persen di antaranya sudah berhubungan seks, dan 21,2 persennya pernah melakukan aborsi. Data survei KPAI ini dipublikasi 16 tahun silam yang bisa berubah lebih baik atau malah lebih buruk.

Seks bebas adalah salah salah satu dampak dari pergaulan bebas. Dampak lain yang dihadapi di antaranya adalah kriminalitas, penyalahgunaan obat, penggunaan narkotika dan obat terlarang, dan berbagai tindakan asusila-amoral lainnya.

Banyak faktor penyebab terjadinya pergaulan bebas, diantaranya kurangnya ilmu agama, minimnya pengawasan orangtua, ekonomi keluarga, broken home, sosial media, dan kondisi lingkungan. Dalam konteks demikian, lingkungan teman sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang. Bagi remaja, teman merupakan relasi yang menjadi tempat ternyaman mengeluarkan curahan hatinya. Karenanya, seseorang harus selektif dalam mencari teman.

Dengan melihat dampak yang ditimbulkan dari pergaulan bebas, maka memerangi pergaulan bebas di sekolah maupun di lingkungan sekitar adalah sebuah keniscayaan. Dalam memerangi pergaulan bebas perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan.

Beberapa solusi dalam mencegah pergaulan bebas di antaranya pertama, memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi. Lingkungan keluarga sudah selayaknya memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sejak anak masih kecil dengan bahasa yang cocok dengan usia mereka. Dengan demikian, mereka mengetahui bahaya dan akibat dari pergaulan bebas.

Kedua, menjaga hubungan baik antara anak dan orang tua. Hubungan yang harmonis dalam keluarga secara langsung menjadi perekat sehingga orang tua dapat mengawasi anak dengan mudah. Hubungan yang erat antara anak dan orang tua juga memberikan keleluasaan pada anak untuk terbuka dengan segala permasalahan yang dia hadapi.

Ketiga, memberikan pendidikan agama. Kontrol yang paling mumpuni dalam memerangi pergaulan bebas adalah pendidikan agama yang diberikan sejak dini. Anak yang diberikan pendidikan agama sejak dini dan terus menerus akan menjadi benteng bagi anak untuk tidak terjerumus ke pergaulan bebas.

Agar anak terhindar dari pergaulan bebas, maka harus ada kerja sama yang harmonis antara pendidik dan orang tua untuk berani tegas dalam menekan, mengurangi, dan pada akhirnya menghilangkan budaya pergaulan bebas yang mengarah pada permisifme seksualitas.

Di samping itu, penting juga dipikirkan dan didesiminasikan tentang pengatahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada siswa sesuai umur dan kapasitasnya. Berdasarkan data yang dilansir dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia oleh Kemenkokesara pada tahun tahun 2010, disebutkan bahwa pengetahuaan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan remaja masih terbilang rendah. Sebanyak 13% perempuan tidak mengetahui perubahan fisik yang terjadi pada diri mereka dan hampir separuh dari mereka (49,9%) tidak mengetahui masa suburnya.

Hal tersebut tentu saja hal yang mengkahwatirkan dan membutuhkan perhatian bersama. Masalah dasanya adalah bahwasanya masa remaja adalah masa transisi dan sangat problematis dalam aspek psikologis. Hal ini membuat mereka berada dalam kondisi anomi (sebuah situasi tanpa norma dan hukum) karena kontradiksi antara norma dan fase orientasi.

Pada titik kondisi seperti ini, peran orang tua, keluarga, dan lingkungan dalam perkembangan anak menjadi sangat urgen. Dengan dukungan pemahaman santifik mengenai pendidikan kesehatan dan reproduksi, kita dapat mengharapkan sinergi dan kerja bersama yang tepat dan produktif dalam menangkal pergaulan bebas beserta segala dampaknya.

Editor: Saiful Maarif



Terkait