Belajar Agama Semakin Mudah Dengan Teknologi

Belajar Agama Semakin Mudah Dengan Teknologi

Pada Tadarus litapdimas episode ke-3 kali ini, kita belajar bagaimana mengoptimalkan teknologi dalam Pendidikan Islam dengan menghadirkan 2 orang presenter, yaitu Dr. Budiyono Saputro, M.Pd dari IAIN Salatiga dan Dr. Rado Yendra, M.Sc dari UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Kedua presenter bersepakat bahwa agama dan teknologi harus dapat diintegrasikan dengan agama, dan pendidikan agama sudah seharusnya mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Keduanya telah melakukan penelitian dan mengembangkan aplikasi bagaimana teknologi dapat digunakan dalam pendidikan Islam.

Kekuatan penelitian dua presenter di atas dapat ditemukan dari dua premis penting yang menjadi argumen penelitian mereka. Pertama, penelitian mereka berpijak pada prinsip adaptability (kemampuan beradaptasi) agama dan teknologi. Dengan prinsip ini, tema penelitian kedua presenter ini dapat diterjemahkan sebagai upaya “integrasi sains dan agama”, sebuah proyek besar yang sedang digarap oleh Kementerian Agama.

Kedua, penelitian mereka berpijak pada prinsip practicality, yakni berorientasi pada kegunaan teknologi dalam pendidikan agama. Prinsip yang terakhir ini sudah barang tentu mencerminkan perkembangan kajian, meski tidak keseluruhannya, di lingkungan PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) dalam menghadapi perubahan cepat melalui digitalisasi dan berorientansi pada teknologi “siap pakai.”

Dalam penelitiannya tentang Augmented Reality (AR) dan Pendidikan Islam untuk anak-anak, Dr. Rado Yendra menjelaskan bagaimana teknologi AR menjadi cara baru dalam mempelajari Islam, dalam hal ini pembelajaran doa-doa Islam untuk anak-anak. Menurutnya, teknik baru belajar Islam ini penting karena “menyenangkan dan menghindarkan anak dari kebosanan belajar tentang Islam.”

Dr. Rado juga beragumen bahwa aplikasi AR perlu diterapkan pada gawai (smartphone) berbasis android. Penggunaan gawai akan mengganti perangkat digital lain yang sulit digunakan oleh anak-anak. Penelitian Dr. Rado ini tentu tidak saja sangat diperlukan di masa pandemik Covid-19 seperti saat ini, tapi pada masa normal seperti biasanya. Anak-anak perlu belajar agama dengan “menyenangkan” dan saya kira kata “menyenangkan” inilah yang masih menjadi agenda besar pendidikan untuk anak pada era digital seperti saat ini.

Sementara itu, penelitian Dr. Budiyono Saputro tentang pembelajaran tafsir sains terpadu juga memahami relasi non-problematik Islam dan teknologi, atau sains pada umumnya. Dr. Budiyono menekankan signifikansi serta urgensi pembelajaran tafsir/Quran tentang sains melalui penggunaan teknologi, yaitu dengan model pembelajaran tafsir maudhu‘i tentang sains dan bersyntax melalui website http://bersaqural.com.

Tentu saja, model pembelajaran tafsir melalui website memadukan dua hal penting: tradisi dan modernitas. Kajian tafsir tidak lagi diajarkan dengan teknik klasik, namun melalui teknologi digital. Teknologi pada website http://bersaqural.com juga bisa dikembangkan dan menjadi solusi pembelajaran, tidak saja tafsir terpadu, namun mata pelajaran yang lainnya, yang saat di masa pandemik Covid-19 sudah sangat urgen diterapkan.

Dari sisi muatan penelitian, kedua penelitian di atas memiliki karakteristik berbeda. Jika penelitian Dr. Rado menekankan pada pendidikan Islam untuk anak-anak agar mereka dapat mempelajari agama dengan cara yang menyenangkan, penelitian Dr. Budiyono adalah desain pembelajaran untuk segmen pendidikan dewasa, utamanya untuk bangku perkuliahan.

Sistem yang dikembangkan atau digunakan oleh keduanya juga berbeda. Jika Dr. Rado menggunakan AR dengan basis android, maka Dr. Budiyono menerapkan system web-based application. Penggunaan kedua teknologi ini tentu saja masih perlu terus dikembangkan dan memerlukan “integrasi” antar sistem dan aplikasi.

Tentu saja, perkembangan teknologi yang terus berevolusi memerlukan energi baru untuk dapat beradaptasi dengan teknologi yang juga semakin baru. Karenanya, penelitian Budiyono, misalnya, sebenarnya masih menyisakan beberapa proyek garapan yang ke depan perlu ditindaklanjuti, salah satunya dengan membangun versi android dan/atau iOS untuk http://bersaqural.com.

Selain itu, konten website http://bersaqural.com tentu saja perlu diperkaya, salah satunya adalah memunculkan literatur tafsir, bukan saja terjemahan ayat al-Quran, untuk setiap tema (maudhu‘) yang diangkat dalam pembelajaran tafsir sains terpadu. Untuk mewujudkan hal terakhir ini, tentu saja diperlukan upaya kolaboratif dengan melibatkan sarjana lintas disiplin, utamanya ahli tafsir.

Demikian juga dengan penelitian Dr. Budiyono, upaya kongkrit lanjutan perlu dilakukan. Utamanya, mengembangkan aplikasi AR dan medium yang dapat dibaca oleh aplikasi tersebut secara mandiri. Jika saya tidak salah, penelitian ini masih belum melahirkan keduanya. Jikapun ada teknologi tersebut, aplikasi AR itu dikembangkan oleh pihak berbeda (third party) dan pengguna sebagai pengambil manfaat dari teknologi yang sudah siap pakai.

Namun demikian, sebagai sebuah gagasan, penelitian Budiyono menjadi stepping stone sekaligus rekomendasi kepada Kementerian Agama untuk terus mendukung gagasan-gagasan kreatif dan inovatif dalam rangka pengembangan perangkat lunak yang relevan dalam pembelajaran agama dan pembelajaran lainnya di madrasah serta PTKI. Apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Inovasi teknologi perlu terus dikembangkan agar proses pembelajaran dapat terus dilaksanakan, meski dilakukan tanpa tatap muka langsung.

Sebagai catatan akhir, saya kira “kolaborasi” menjadi kata kunci penting dalam mewujudkan “integrasi keilmuan” di lingkungan PTKI. Sederhananya, seorang ahli tafsir tidak bisa bekerja sendiri dengan kajiannya; dia dituntut untuk berkolaborasi dengan sarjana IT agar kajiannya dapat diajarkan dengan efektif dan efisien. Demikian juga dengan sarjana pendidikan anak; mereka perlu berkolaborasi agar pembelajaran anak dapat dilakukan dengan tepat.

Anak-anak saat ini adalah generasi digital native; mereka adalah “pribumi” di era yang semakin terdigitalisasi. Terakhir, di masa pandemi Covid-19, digitalisasi adalah jawaban atas pembatasan fisik/sosial. Digitalisasi ini tidak mungkin hadir jika sekat-sekat keilmuan masih membatasi interaksi antar disiplin. Karenanya, kolaborasi adalah kuncinya, dan prinsip kolaborasi sudah seharusnya menjadi agenda utama “integrasi” keilmuan di lingkungan PTKI. (FYI/Hik) 

Oleh: Syaifuddin Zuhri

 


Tags: