Beragama untuk Manusia

Beragama untuk Manusia

Banyak gerakan keagamaan yang akhir-akhir ini membawa-bawa nama tuhan dalam aksi-aksinya. Gerakan ini kerap berujung pada kekerasan. “Kehadiran” tuhan dalam gerakan-gerakan tersebut pada akhirnya mengusir “kehadiran” manusia lian dalam wacana dan aksi keagamaan. Kelompok-kelompok teroris semisal ISIS, al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah, dan lain-lain adalah mereka yang kerap membawa nama tuhan dalam gerakan mereka. Dengan nama tuhan mereka menyerang dan membunuh kelompok lain.

Aksi-aksi kekerasan yang selama ini terjadi, salah satunya dipicu oleh hancurnya otoritas tradisional yang selama ini menjadi pegangan kaum beragama. Ulama digantikan oleh informasi instan yang banyak ditemukan di dunia maya. Orang tidak perlu lagi datang ke pesantren atau madrasah untuk belajar agama. Mereka cukup mengunjungi situs-situs keagamaan yang menawarkan agama secara instan. Akibat belajar agama yang demikian itu, orang kemudian memiliki paham yang sempit. Mereka nyaris tidak memberi ruang untuk perbedaan pendapat.

Banyak penelitian yang membahas bagaimana dampak internet terhadap paham keagamaan. Tidak hanya itu, internet pun bisa menjadikan seseorang memiliki sikap radikal dan ekstrim. Istilah lone-wolf adalah mereka yang menjadi ekstrimis secara mandiri; mereka mengakses berbagai situs yang menawarkan ideologi kekerasan, tanpa melalui organisasi atau jaringan lainnya.

Dalam penelitiannya, Aksin Wijaya, dosen dari IAIN Ponorogo, menggambarkan keadaan ini sebagai “Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia”. Aksin mencoba menelusuri akar-akar ekstremisme keagamaan lewat berbagai ideolognya yang karya-karyanya dipegangi oleh kelompok Islam tertentu. Di Indonesia kelompok-kelompok ini memonopoli tafsir agama dan menyalahkan bahkan mengkafir-kafirkan kelompok yang tidak sejalan dengan pendapat mereka. Maka lahirlah berbagai tindak kekerasan yang justru bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri.

Sementara itu Muzayyin Ahyar, dosen IAIN Samarinda, menyoroti fenomena internet yang turut membentuk wacana keagamaan masyarakat. Muzayyin menyebut fenomena ini sebagai ‘kliktivisme’, sebuah proses instan untuk mendapatkan informasi keagamaan di internet. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa kliktivisme adalah bagian dari fenomena global yang turut dalam gerbong demokrasi dan kebebasan berekspresi. Karena itu fenomena ini bisa bertahan dari waktu ke waktu.

Baik Muzayyin maupun Aksin keduanya sepakat bahwa bila otoritas keagamaan roboh, maka konsekuensinya sangat fatal. Kekacauan akan terjadi di ranah keagamaan. Sayangnya lagi, otoritas baru sebagai pengganti otoritas lama belum hadir. Ini yang mengakibatkan fenomena kekerasan terus menuai simpati dari mereka yang belajar agama secara instan. (FYI/Hik)

Oleh: Jajang Jahroni


Tags: