Cakrawala Pemikiran dari Indonesia, Mengikis Radikalisme

Cakrawala Pemikiran dari Indonesia, Mengikis Radikalisme

Jakarta (Pendis) - Keberadaan Islam radikal sesungguhnya kurang menguntungkan karena aksi-aksi mereka menghambat pembangunan. Karakter Islam radikal yang eksklusif dan sering kali mengabsahkan penggunaan jalan kekerasan, sangat bertentangan dengan karakteristik Indonesia unik dan khas. Karakteristik ini menjadi pembeda dengan Islam di berbagai belahan dunia yang lainnya. Interaksi dan dialektika dengan berbagai faktor yang berlangsung secara intensif menjadikan Islam Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang. Selalu saja terdapat aspek unik yang menjadi pembeda antara Islam Indonesia dengan Islam dari berbagai belahan dunia yang lainnya.

Islam radikal eksistensinya menguat setelah jatuhnya era Orde Baru, menemukan momentum untuk mengekspresikan dan mengembangkan diri di era reformasi. Orde Baru yang sangat ketat mengawasi eksistensi kelompok radikal menjadikan kelompok semacam ini tiarap dan menjalankan aktivitasnya "di bawah tanah". Ketika ruang ekspresi terbuka lebar di era reformasi, kelompok Islam radikal segera memanfaatkannya sebaik mungkin. Padahal, keberadaan Islam radikal sesungguhnya tidak menguntungkan karena ketika kelompok ini tumbuh dan berkembang, aksi-aksi mereka sesungguhnya menghambat pembangunan (Ariel Heryanto: 2008, 9). Pertumbuhan radikalisme, pelahan tapi pasti, dihambat dengan gerakan dan moderasi pemikiran.

Akar Radikalisme
Terdapat empat faktor yang menjadi pemicu kian suburnya perkembangan Islam radikal di Indonesia. Pertama, pengaruh gerakan-gerakan transnasional. Kedua, terbukanya arus demokratisasi di era reformasi. Kondisi ditekan secara politik selama puluhan tahun di era Orde Baru menjadikan kelompok Islam radikal menemukan momentum aktualisasi diri saat pintu terbuka lebar. Ketiga, penegakan hukum di era demokratisasi jauh dari memuaskan sehingga memunculkan semangat untuk menegakkan syariat Islam. Dan keempat, kegagalan gerakan Islam , yang toleran dan menghargai terhadap keanekaragaman (M. Dawam Rahardjo, dalam Irwan Masduqi: 2011, xxvii).

Fenomena Islam radikal merupakan fenomena yang sangat kompleks. Aspek penting yang tidak bisa diabaikan adalah radikalisme keagamaan merupakan manifestasi dari persinggungan antara agama dan politik. Persinggungan ini berkaitan dengan dinamika dalam skala global hingga pada level lokal. Namun ia juga bertautan dengan kompleksitas relasi modernisasi dan globalisasi yang memberikan ruang bagi munculnya identitas parokial dan ekspresi politik yang lekat dengan nuansa kekerasan (Noorhaidi Hasan: 2008, vii-viii).

Persebaran secara luas kelompok Islam radikal telah memunculkan keresahan dan kekwatiran berbagai lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai ekses negatif yang mengiringi setiap jejak kemunculannya. Maka, berbagai upaya untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya kelompok Islam radikal pun terus dilakukan. Berbagai konsep dan strategi yang telah ditawarkan, namun demikian harus diakui bahwa berbagai upaya yang telah dilakukan belum berlangsung secara maksimal (Adjie Suradji: 2016, 6). Kelompok Islam radikal dalam berbagai variannya masih tetap eksis dan tidak kenal lelah dalam menyebarkan sayapnya ke berbagai bidang kehidupan.

Deradikalisasi, berarti mengurangi atau mereduksi radikalisme, artinya, "suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris" (Agus SB: 2016, 142). Cakupan dari deradikalisasi cukup luas, mulai dari aspek keyakinan, penegakan hukum, sampai kepada aspek pemasyarakatan. Semua itu dilakukan dalam kerangka melakukan transformasi dari "yang radikal" menjadi "yang tidak radikal". Pada perspektif ini, substansi deradikalisasi adalah melakukan upaya netralisasi terhadap mereka yang berpaham radikal (Agus SB: 2016, 143). Deradikalisasi tidak hanya ditujukan kepada mereka yang telah menganut paham radikal. Perspektif lain menyebutkan bahwa deradikalisasi bisa juga mencakup upaya deteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagai lapisan potensial dengan beragam bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing kelompok yang menjadi sasaran (Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naispospos (eds.): 2012, 191). Artinya deradikalisasi bisa bersifat preventif agar tidak terkena ideologi radikalisme dan bisa juga bersifat netralisir mereka yang telah terindikasi ideologi radikal.

Deradikalisasi sesungguhnya bukan strategi sederhana. Ada berbagai kerumitan, hambatan, dan kompleksitas persoalan pada tataran implementasi. Salah satu persoalan yang menjadi penghambat deradikalisasi adalah pemahaman terhadap ajaran agama. Aspek yang menjadi pembeda antara satu satu umat beragama yang radikal dengan yang tidak radikal adalah pemahaman terhadap ajaran agama. Substansi ajaran agama, dengan demikian, menjadi medan perebutan pemaknaan antara kelompok radikalis dengan kelompok non-radikalis. Hal ini wajar mengingat gerakan radikalis dan non-radikalis sesungguhnya memiliki obyek dasar yang sama. Keduanya berjuang melalui berbagai upaya untuk memperebutkan makna agama agar selaras dengan kepentingan mereka.

Kerumitan implementasi strategi deradikalisasi semakin terasa ketika objeknya adalah mereka yang telah mengalami radikalisasi pemahaman agama. Mereka yang teradikalisasi cenderung menjadi sosok yang intoleran. Jika tidak mendapatkan penanganan kondusif dalam kerangka deradikalisasi, tidak tertutup kemungkinan mereka dengan cepat dapat menjadi teroris (M. Amin Abdullah, dalam Komaruddin Hidayat: 2014, 207). Kondisinya berbeda dengan mereka yang belum pernah teradikalisasi. Mereka lebih mudah memahami dan menyerap spirit keberagamaan yang non-radikal.

Problem lainnya adalah program deradikalisasi yang ada selama ini belum dijalankan secara sistematis. Deradikalisasi baru menjadi strategi yang diimplementasikan secara sporadis. Implikasinya, program deradikalisasi belum mampu mencegah penyebaran gerakan Islam radikal secara lebih intensif (Zuly Qodir: 2014, 112-114). Padahal, kelompok Islam radikal terus melebarkan sayapnya dengan berbagai cara. Pada titik inilah gerakan deradikalisasi seharusnya dilakukan secara intensif, integratif, berkelanjutan, dan melibatkan berbagai unsur secara komprehensif (Masdar Hilmy: 2016, 6).

Ada dua langkah strategis yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan. Langkah pertama adalah melakukan deteksi dini (early warning) terhadap pergerakan paham radikal, baik yang melalui proses dari atas ke bawah (top-down process) yang dilakukan oleh pihak luar, maupun yang dilakukan dari bawah ke atas (bottom-up process) yakni individu sendiri yang mengekplorasi paham radikal melalui berbagai sumber sehingga dirinya terinfiltrasi. Mengenal secara dini terhadap perilaku yang terinfiltrasi oleh paham radikal sebenarnya relatif mudah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati perilaku sehari-hari, membandingkannya dengan perilaku sebelumnya dan mencermati ada atau tidaknya perubahan dari perilaku mereka. Deteksi secara dini menuntut adanya suatu pola hubungan yang memungkinkan pihak pengajar memiliki kepekaan terhadap perubahan paham keagamaan murid dan teman.

Perspektif psikologi sosial mengenal adanya dua pola interaksi. Pertama, hubungan pertukaran (exchange relationship). Hubungan semacam ini lebih banyak didasarkan pada kalkulasi-kalkulasi keterpenuhan kepentingan antar-kedua belah pihak. Kedua, hubungan komunal (communal relationship). Dalam lingkungan pendidikan, pola hubungan seperti ini perlu dikembangkan karena keterikatan antar-individu dalam suatu kelompok lebih didasarkan pada kasih sayang, kesetaraan, keadilan, dan perasaan ke-kita-an. Dalam kerangka deteksi dini, pola yang penting untuk dikembangkan adalah pola hubungan komunal. Pola hubungan komunal memungkinkan untuk memberikan respons persuasif terhadap individu yang terinfiltrasi paham radikal sehingga bisa dikembalikan kepada paham moderat.

Langkah kedua yang perlu dilakukan oleh institusi pendidikan dalam rangka deradikalisasi adalah dengan mengembangkan suatu model pendidikan yang dapat mencegah terjadinya infiltrasi paham radikal. Model ini perlu mengacu pada suatu desain utuh yang memuat: kerangka pandang yang mendasar (philosophical foundation) terhadap Islam; materi; model pembelajaran; serta lingkungan yang dapat menumbuhkan pengetahuan dan sikap pengakuan, toleran, dan koperatif terhadap pihak yang berbeda baik karena alasan agama, paham keagamaan, budaya, dan lain sebagainya (Syamsul Arifin: 2015, 59-61).

Strategi deradikalisasi seyogyanya memang dilakukan secara intensif-integratif agar membawa hasil yang lebih optimal. Keberhasilan strategi deradikalisasi akan berimplikasi pada tidak menyebarnya ideologi Islam radikal. Islam radikal yang eksklusif dan tidak menghargai terhadap keanekaragaman membuat wajah Islam Indonesia kurang ramah dan tidak toleran. Pada titik inilah deradikalisasi seharusnya dilakukan oleh seluruh instrumen masyarakat.

Langkah kongkrit pemerintah di awal 2017 untuk mengesahkan Undang-undang Ormas merupakan vocal point untuk membendung gerakan radikalisme. Perpu nomor 2 tahun 2017 tentang ormas yang disahkan menjadi undang-undang langsung melibas HTI dan mengancam eksistensi ormas anti pancasila lain. Sebagai ancaman nyata eksistensi organisasi, berbagai upaya dilakukan untuk menjegal pasal-pasal dalam aturan tersebut.

Setidaknya ada tiga hal besar yang akan terjadi terhadap ormas-ormas radikal dengan diberlakukannya atruran tersebut (sebagaimana dilansir Kumparan.com 24 Oktober 2017);
1. Terdapat hukuman pidana bagi anggota dan pengurus ormas yang dinilai bertentangan dengan ideologi Pancasila dengan sanksi pidana penjara seumur hidup, pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 82A ayat 2). Pasal ini dikritisi oleh beberapa pihak, karena hukuman yang diberikan dianggap terlalu lama dan langsung menyasar kepada keseluruhan anggota ormas.
2. Tidak adanya proses pengadilan bagi ormas yang dibubarkan. Artinya, pembubaran ormas bisa dilakukan secara sepihak tanpa melewati mekanisme peradilan. Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan yang mengatur soal pengadilan seperti yang tertera dalam Pasal 63 sampai dengan pasal 80 UU nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi masyarakat dihapus. Peniadaan proses hukum tersebut dianggap sewenang-wenang karena secara sepihak memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut kegiatan ormas dan melakukan pembubaran dengan sendirinya.
3. Pemerintah bisa menafsirkan sendiri secara sepihak apakah ormas tersebut dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila, tanpa melewati proses seperti pembelaan atau klarifikasi ormas di pengadilan.

Pada tanggal 20 s/d 23 November 2017, Pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama menyelenggarakan konferensi Islam Internasional, yang familier disebut AICIS. Tahun ini diselengarakan di Jakarta, tepatnya ICE BSD Serpong dengan menghadirkan pembicara internasional dan nasional dengan angka yang sangat besar, yaitu 412 orang. Momen ini merupakan timing yang tepat menyuarakan cakrawala Indonseia untuk deradikalisasi.

(Penulis: Abdul Mukti Bisri)


Tags: