Citra SMK Provinsi Vokasi

Citra SMK Provinsi Vokasi

ADA yang cenderung terlupakan dalam perbincangan tentang mobil Kiat Esemka karya SMKN 2 dan SMK Warga Surakarta, sepekan terakhir ini. Lebih-lebih ketika persoalannya melebar ke ranah lain. Hal yang saya sebut terlupakan adalah menempatkan setiap kemajuan SMK di provinsi ini dalam bingkai pencapaian Jawa Tengah sebagai provinsi vokasi.
Sekadar pengingat, pertengahan 2008 di Ngablak Kabupaten Magelang, Gubernur Jateng bersama Menteri Pendidikan Nasional mendeklarasikan provinsi ini sebagai provinsi vokasi. Deklarasi itu sekaligus sebagai wujud komitmen mengatasi persoalan terkait dengan besarnya angka pengangguran, terutama lulusan SMA. Dengan menjadi provinsi vokasi, jumlah SMK yang semula sangat sedikit dibanding SMA, akan jauh lebih besar dari SMA/ MA, yakni 70:30.
Lebih dari tiga tahun berjalan, apa yang kemudian bisa disaksikan? SMK-SMK baru didirikan oleh pemerintah, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Seiring dengan itu, tak sedikit masyarakat yang mendirikan SMK swasta, sementara yang lain mengubah SMA menjadi sekolah kejuruan. Tak mengherankan jika berdasarkan data terbaru Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, awal 2012 di Jateng ada 1.253 SMK negeri-swasta.
Promosi-Reputasi
Seiring dengan itu, Kemdikbud juga gencar mempromosikan SMK. Tak sedikit iklan ditayangkan, baik lewat media cetak maupun elektronik, dengan menampilkan tokoh-tokoh hebat lulusan SMK. Tak pelak lagi, SMK pun naik pamor. Animo lulusan SMP/ MTs untuk melanjutkan ke sekolah kejuruan kian hari makin meningkat.
Ketika banyak SMA swasta sepi peminat, SMK yang oleh sebagian masyarakat disebut sekolah pinggiran sekali pun, tak pernah kekurangan pendaftar. Ia bukan lagi lembaga pendidikan kelas kedua, melainkan menjadi pilihan pertama bagian sebagian kalangan. Stigmatisasi anak SMK sebagai jago tawur atau sekolahnya sebagai SMK sastra, lambat laun mengikis.
Tentu saja semua itu tercipta bukan karena promosi semata, melainkan lebih karena reputasi nyata. Fasilitasi yang diberikan pemerintah, dari penyediaan sarana-prasarana, guru, hingga pembinaan lainnya, terbukti mendorong civitas academika SMK untuk menunjukkan kelasnya.
Kemampuan yang ditunjukkan SMK 2 dan SMK Warga Surakarta lewat mobil Kiat Esemka tentulah bukan yang pertama dan satu-satunya. Media pun mencatat, di SMK yang lain siswa-siswanya telah mampu merakit laptop, motor, mobil, bahkan pesawat terbang.
Itu belum termasuk sejumlah lulusan sekolah kejuruan yang berhasil melanjutkan dan berprestasi di jenjang perguruan tinggi. Sebagai contoh di Unnes, salah seorang lulusan SMK yang merupakan anak tukang becak, tidak hanya mendapatkan beasiswa full study Bidik Misi, tetapi juga mampu meraih indeks prestasi (IP) nyaris sempurna: 4,00 pada semester I dan 3,96 pada semester berikutnya.
Catatan tersebut kian menegaskan bahwa apa yang telah diupayakan oleh pemerintah dengan dukungan swasta selama ini terhadap SMK relatif berada di jalan yang benar. Penghargaan yang diberikan oleh Presiden kepada Gubernur Bibit Waluyo atas komitmen dan jasanya dalam memajukan pendidikan di provinsi ini, merupakan salah satu bentuk pengakuan untuk itu.
Sudah semestinya kita mengapresiasi gubernur, wali kota/bupati, kepala Dinas Pendidikan, dan semua pihak yang telah memiliki semangat dan dukungan nyata terhadap SMK.
Karena itu, target untuk mewujudkan Jateng sebagai provinsi vokasi pada 2013, kiranya pantas disikapi dengan penuh optimistis dan proporsional. Justru karena itu, kita perlu mengawal SMK untuk senantiasa on the track sesuai dengan khitahnya sebagai lembaga pendidikan.
Harus disadari benar oleh setiap pemangku kewenangan, sekolah bukanlah pabrik. Siswa SMK tetaplah siswa yang dipersiapkan sebagai tenaga terampil, sedangkan kepala sekolah tetaplah manajer institusi pendidikan yang terbuka kemungkinannya menjadi manajer plus untuk menjalin kemitraan dengan pihak mana pun.
Dengan demikian, mengapresiasi tiap karya nyata SMK sudah semestinya kita lakukan, lebih-lebih dalam konteks membangun dan merawat kecintaan kita terhadap produk dalam negeri.
Namun semua itu tak boleh melupakan hakikat SMK dengan segenap subjek di dalamnya sebagai lembaga pendidikan yang menempatkan siswa sebagai manusia muda yang sedang mengalami proses menjadi (becoming).

— Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)


Tags: