Diskusi Ilmiah Warnai Kemeriahan IIEE 2017: Kajian Islam Jawa Tidak Pernah Usang

Diskusi Ilmiah Warnai Kemeriahan IIEE 2017: Kajian Islam Jawa Tidak Pernah Usang

Serpong (Pendis) - Pameran Internasional Pendidikan Islam, International Islamic Education Expo (IIEE) Kementerian Agama RI di ICE BSD Serpong tidak hanya menyuguhkan produk-produk pendidikan Islam, tetapi juga produk pemikiran Islam. Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Subdit Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat menyuguhkan diskusi ilmiah sebagai produk pemikiran para dosen itu dalam rangka Diseminasi Paradigma Transformatif Pengabdian, Publikasi Ilmiah, dan Penelitian.

"Kegiatan ini sebagai manifestasi dari ide besar Dirjen Pendidikan Islam tentang pentingnya Kajian Islam di Indonesia sebagai destinasi studi Islam di dunia. Langkah awal ini cocok disuguhkan dalam Pameran Internasional Pendidikan Islam 2017," ungkap M. Zain, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

"Ngatawi al-Zastrow diundang sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, karena beliau tidak hanya cakap dalam pemikirannya tentang Islam Jawa secara sosiologis, tetapi juga karena mengamalkan tradisi Islam Jawa dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan symbol blangkonnya," ujarnya di sela-sela diskusi.

Al-Zastrow dalam pemaparannya di hadapan ratusan pengunjung pameran Pendis Ekspo, selain melakukan kritik atas kajian kritis orientalis tentang Islam Jawa seperti Clifford Geertz, Mark Woodward, juga memberikan konteks kajian Islam atas apa yang sudah dilakukan para ulama di Indonesia, terutama zaman para Walisongo.

"Ada yang dilupakan para pengkaji Islam Jawa, seperti Mark Woodward. Salah satunya, bahwa Islam di Jawa itu tidak cukup hanya dipahami dengan kategori Geertz, karena secara sosiologis orang Jawa itu tidak bisa diklasifikasi sesimpel dengan santri, abangan, dan priyayi, atau Islam di Kraton atau luar Kraton, orang Islam di Jawa itu, lebih lagi jika santri, maka pertimbangan kemaslahatan dalam memutuskan biar lebih kuat, karena menyangkut kemanusiaan," ujar Al-Zastrow dalam diskusi sore di paviliun PTKI Pendis Ekspo. Lebih lanjut Al-Zastrow memberi contoh salah seorang kyai di Jawa Tengah terkait dengan pilihan masyarakat, apakah lebih memilih pembangunan masjid atau pembelian pertunjukkan alat pewayangan? Pilihannya adalah pembelian alat pewayangan. Setelah memilih alat-alat itu, seperti gending dst. justru pembangunan masjid lebih cepat dari perencanaan, karena mendapat dukungan dari masyarakat lain yang juga suka wayang. Ada kearifan dan kemaslahatan dalam memutuskan sesuatu oleh para ulama. Hal-hal ini sering luput dalam kajian kelompok modernis.

"Atas dasar itu pula, sharing diseminasi paradigma transformatif menjadi penting bagi para dosen, mahasiswa, dan peneliti di PTKI menjadi penting. Sebab, acapkali jika suatu kajian tertentu telah dikaji orientalis atau yang lainnya, sepertinya kajian itu telah selesai, padahal tidak. Sebut saja, tentang Islam Jawa, berapa banyak kajian yang pro dan kontra atas Islam Jawa ini. Oleh karenanya diperlukan paradigm riset alternative, salah satunya transformative. Dengan paradigm ini, maka kajian Islam Jawa tidak akan using hingga kini," ujar Kasi Publikasi Ilmiah, Mahrus di akhir diskusi yang didapuk sebagai moderator sekaligus narasumber pembanding. Diskusinya sangat dinamis dan komunikatif, sekalipun harus bersaing dengan suara dari panggung utama pameran internasional pendidikan Islam ini. Peserta yang hadir, selain dari sivitas akademik STIESNU Tangerang, juga dosen-dosen dan mahasiswa ddari universitas lainnya yang sedang kelililing pameran, seperti UIN Maliki Malang, UIN Syahida Jakarta, dst.

Kegiatan diseminasi paradigma transformatif ini dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut di Paviliun PTKI Pendis Ekspo dengan jam yang sama, pukul 15.00-16.30. Tanggal 23 Nopember 2017, hadir Ulil Abshar Abdalla dan Haidar Baqir dan mendiskusikan topik Menggali Spiritualitas Ihya Ulumuddin untuk Generasi Millenial. Tanggal 24 Nopember 2017 tentang Kerudung, Hijab dan Politik. [MEM/dod]


Tags: