Saifuddin A. Rasyid (Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry)

Saifuddin A. Rasyid (Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry)

Kita kembali menemui tahun baru hijriyah. Kali ini 1445 H. 1 Muharram masuk pada waktu magrib Selasa 18 Juli 2023 M. Seperti biasanya umat Islam menyambut momentum pergantian tahun ini dengan khidmat. Mesjid masjid menggelar zikir wirid dan do’a bersama. Juga ceramah, tausiyah agama. Untuk kebaikan kaum muslimin. Untuk persatuan, persaudaraan dan keharmonisan sesama.

Peringatan tahun baru ini juga sebagian dilakukan dengan menampilkan seni budaya islam, tari tarian, karnaval, ferstival, dan perlombaan (musabaqah) bidang bidang tertentu di masyarfakagt. Intinya tahun baru adalah momentum tahunan yang secara rutin diperingati dan diambil pembelajarannya.

Seperti telah sering kita dengar bahwa perhitungan tahun hijriyah dihitung dari peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Saidina Umar cerdas dan visioner ketika menetapkan saat dimulainya perhitungan tahun hijriyah itu dari peristiwa hijrahnya Nabi SAW, dari beberapa pilihan peristiwa yang diusulkan para sahabatnya kala itu.

Mengapa Peristiwa Hijrah?

Hijrah dalam rangkaian perjuangan Nabi SAW adalah peristiwa besar. Antiklimaks dari sebuah proses dan akumulasi pengalaman dan perjalanan dakwah yang dijalankan beliau. Disebut antiklimaks karena peristiwa hijrah merupakan saat dimana perjuangan Nabi memasuki tahapan baru. Islam kemudian mendapatkan tempat di lingkunagn sosial dan berjalan sebagai sebuah sistem yang dibangun oleh Nabi SAW atas wahyu Allah yang beliau iterima. Dari situ dakwah Islam melesat cepat, dan dalam waktu yang relatif singkat (sekira sepuluh tahun, berdasarkan catatan sejarah) Islam telah tegak kokoh sempurna sebagai satu satunya sistem universal (ad-din) yang diridhai Allah dan dikagumi oleh manusia. Berikut kita coba sisir beberapa kekuatan dari peristiwa hijrah itu.

Pertama, hijrah bukan pelarian. Bukan pula eksodus biasa. Tapi ini suatu proses perpindahan terencana yang pergerakannya tertata rapi dan memiliki objektif yang tepat. Berbeda dari pengunsian biasa yang terjadi karena tekanan politik dan penjajahan yang dilakukan dimana manusia bergerak dengan keringinan menjauh dan bergerak secepat mungkin, bila perlu dengan cara melupakan wilayah asal tersebut. Hijrah yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya adalah pergerakan untuk menhindari kekafiran – dan upaya sistematis kaum kuffar yang menghalang halangi kegiatan dakwah – menuju keislaman total sesuai kehendak Allah SWT. Karena itu Nabi SAW tidak bergerak dari Makkah kecuali telah mendapat perintah Allah SWT. Hijrah Nabi SAW itu grand designernya Allah SWT. Nyaris seperti isra dan mi’raj Nabi SAW, hijrah ini adalah pergerakan yang dipimpin sendiri oleh Allah SWT.

Kedua, hijrah berpindah untuk kembali dan ekspansi. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi SAW bersama para sahabat kembali ke Makkah pada tahun kedelapan hijriyah. Dalam waktu singkat, delapan tahun itu, Nabi SAW telah membangun satu karya besar, kota Madinah, sekaligus sistem kenegaraan yang diikat dengan satu perjanjian (Piagam Madinah) yang disepakati oleh berbagai  komunitas yang menetap di Madinah kala itu. Dalam tempo yang singkat Madinah telah tampil sebagai kota metropolis yang disegani oleh negara negara imperium besar sekitar, di timur dan barat.

Dari sistem pertahanan kota yang kuat tak tergoyahkan, perjalanan dakwah Islam terus menemukan momentum yang tepat, terus melesat dan berekspansi. Terkait dengan Makkah, para pembesar Makkah khususnya kaum Quraish, semakin gelisah melihat perkembangan Madinah dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Mereka khawatir akan perang balas dendam yang dapat saja terjadi dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Pada sisi lain Makkah telah kehilangan kekuatan. Kehilangan nyali untuk menghadapi perkembangan dakwah Islam yang kian pesat. Sementara pengalaman Makkah beberapa kali, sejak tahun kedua hijriyah, mengirim ekspedisi pasukan tempur untuk melenyapkan atau melemahkan Madinah justeru berbuah nihil bahkan memberikan pembelajaran kepada mereka bahwa Madinah semakin kokoh. Tak ada cara kecuali memikirkan untuk membangun diplomasi tapi Makkah gengsi dan malu hati.

Fathu Makkah

Tak kurang dari sepuluh ribu pasukan kaum muslimin dibawah komando langsung Rasulullah SAW sudah bersiap di Madinah pada pertengahan Ramadhan tahun kedelapan hijriyah dengan perlengkapan yang baik. Mereka berangkat ke Makkah. Pergerakan pasukan itu semakin besar di jalur perjalanan dengan bergabung semakin banyak orang. Tepat pada 20 ramadhan Rasulullah dan pasukan kaum mjslimin sudah berada di Makkah dan langsung menuju ka’bah. Tidak ada tanda tanda perlawanan dari penduduk Makkah. Yang terjadi justeru ketakutan dan kekhawatiran di kalangan warga dan pemimpin Makkah kala itu. Sementara pergerakan kaum muslimin dengan akhlak mereka yang dibangun Rasulullah SAW menarik perhatian warga. 

Dengan akhlak beliau yang sangat mulia, Rasulullah SAW mengeluarkan maklumat bahwa Makkah sudah ditaklukkan, memerintahkan penghancuran seluruh berhala yang ada di dalam dan sekitar ka’bah, dan menyatakan seluruh warga Makkah aman dari sentuhan kaum muslimin tanpa pertumpahan darah. Terus beliau menjalankan strategi diplomasi yang sangat tinggi dengan mengedepankan pentingnya peran pemimpin Makkah kala itu, Abu Sufyan. Abu Sufyan yang tadinya sudah berpikir riwayatnya segera tamat di tangan kaum muslimin kemudian menemukan energi dan cahaya baru. Dia menemui Nabi Muhammad SAW dengan damai dan menyatakan keislamannya. Pemimpin Makkah dan warga berduyun duyun memasuki agama Allah tanpa sedikitpun kekerasan. Abu Sufyan dan para pemimpin Makkah bahkan berbalik menjadi sahabat Nabi SAW yang berdiri di garis terdepan membela dakwah Islam. Inilah yang dikisahkan secara sempurna oleh Allah sendiri dalam Alquran surah An-Nashr.

No Tirani

​​​​​​​Pada periode dakwah awal Nabi SAW beserta keluarganya dan sahabatnya ditindas di Makkah. Nabi SAW dan kaum muslimin pada periode Makkiyah itu hidup menderita dibawah bayang bayang tekanan dan kekejaman para pemimpin dan penduduk Makkah (tirani mayoritas), meskipun Nabi SAW sabar dan terus menjalankan misi mulianya, berdakwah sesuai bimbingan Allah SWT. Nabi SAW terus menjalankan tugas di Makkah sampai klimaks tirani terjadi terhadap beliau, keluarga dan para sahabat. Puncak klimaks itu adalah rencana pembunuhan terhadap beliau. Allah memerintahkan beliau hijrah. Beliau hidup berdakwah dan membangun sistem keislaman di Madinah.

Ketika kembali dalam fathu Makkah. Dengan kesuksesan dakwah dan pasukan yang kuat, apakah beliau menjalankan tirani yang sama terhadap pemimpin dan warga Makkah? Tidak. Beliau kembali ke Makkah sebagai pemenang dengan membawa kedamaian, kebaikan, kesederhanaan, spirit kerbersamaan, nilai kesejahteraan. Beliau kembali dengan harmoni tanpa tirani.

Lihat pengalaman sejarah. Saat muslim minoritas, mereka tertindas dibawah tirani mayoritas. Tetapi ketika muslim mayoritas umat kaum yang lain hidup nyaman dengan harmoni. Lihat saat ini di berbagai belahan dunia prinsip ini masih berjalan. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim telah membuktikan prinsip ini berjalan sejak awal kemerdekaan. Muslim di negeri ini toleran, diantaranya dengan kesediaan para pemimpin muslim kala itu mencoret tujuh kata dari Pancasila, yaitu kalimat “dengan kesediaan melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Karena dialog deathlog setelah masyarakat mayoritas nonmuslim di kawasan timur Indonesia mengancam keluar dari NKRI bila kalimat itu dipertahankan. Untuk keutuhan negeri kaum muslimin Indonesia telah bersikap harmoni. Tanpa tirani.

Akankah kemudian ada kelompok dikalangan kita saat ini yang ingin menentang sejarah dan hati nurani dengan mengedepankan perilaku tirani, memaksakan kehendak dan mengirim ancaman kepada sesama anak negeri dan warga beda organisasi? Akankah beda warna baju dan perilaku budaya merupakan alasan yang cukup untuk kita melakukan tirani dan mengabaikan harmoni. Wallahu a’lam. Selamat tahun baru 1445 H. 

Penulis: Saifuddin A. Rasyid (Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry)