.

.

Hamdan Juhannis 
(Rektor UIN Alauddin Makassar)

Saat bermain Petak-Umpet dengan anak bungsu saya, Anritta, saya memulai dengan mengecek apa matanya sudah tertutup kain dengan benar. Saya mengeceknya dengan menanyakan berapa jumlah jari tangan yang saya taruh di depan matanya yang tertutup. Anritta menjawab secara spontan dengan menyebut angka, dan yang paling sering disebut adalah: 1, 2, dan 10. Sampai saya selalu tertawa karena setiap mendapat giliran, jawaban dengan mata tertutupnya selalu berada di antara tiga angka tersebut. 

Saya penasaran dan mencoba meraba mengapa selalu berada di sekitar tiga angka itu. Saya menemukan kesimpulan sementara; saya selalu mengatakan dalam kesehariannya, Anritta juara 1 setiap menyelesaikan hafalan mengajinya atau tugas sekolahnya. Saya juga sering memberi tanda V pada jari-jari saya dengan telunjuk dan jari tengah sebagai lambang "Victory" atau kemenangan baginya setiap dia bertanding mewarnai dengan saya. Dan saya rajin menuliskan angka10 setiap saya diminta menilai pekerjaannya yang diselesaikannya dengan baik. Jadinya dia sangat akrab dengan angka: 1, 2, dan 10. 

Mengapa saya menceritakan pengalaman kecil dan bersifat pribadi ini? Saya telah menjalankan proses indoktrinasi tanpa saya sadari. Saya menaruh di pikiran bawah sadar Anritta, angka-angka yang dia akan selalu ingat, dan diresproduksi secara spontan ketika diiminta untuk menebak angka secara acak. Begitulah proses untuk menanamkan nilai kepada orang lain. Kita selalu memperhadapkan di depan matanya, menunjukkannya, mencontohkannya,  membuatnya operasional, atau bahkan fungsional. 

Apa yang dipahami dan diyakini sebagai kebenaran atau kemuliaan, berproses menjadi pemahaman bawah sadar melalui rekayasa sampai terjadinya pengentalan. Prosesnya berlangsung secara kontinyu dan selalu diperagakan di depan mata atau digendangkan di telinga. 

Begitu juga orang atau kelompok lain yang berbeda mempersepsi sebuah keyakinan, adat, tradisi, budaya, karena yang dipaparkan dalam hidupnya adalah hal yang berbeda. Bagi orang yang rajin mengkampanyekan inklusivitas, mereka menyebutnya sebagai relativisme budaya. Pemaknaan sederhana dari kasus kecil di atas, bisa membantu memahami bagaimana doktrin subyektif bekerja dalam hidup dan bagaimana keragaman pandangan itu terjadi. 

Pengarusutamaan moderasi beragama adalah bentuk rekayasa dokrin yang sistimatis untuk membuat wawasan moderat itu mengalami pengentalan dan akhirnya menjadi "mindset". Mindset inilah yang membentuk pusaran dan berkelindan dengan ragam "minds" dan terbentuklah mindset baru yang dipengaruhi oleh arus utama berupa moderasi beragama. 

Itulah yang ingin dituju dengan derasnya gerakan  moderasi beragama. Karena dari pusaran inilah, kita akan semakin tumbuh menjadi pribadi atau kelompok yang lebih bijak memaknai perbedaan. Berbeda itu niscaya! Dua anak kembar saja  susah membedakannya. Tanya juga kerumitan yang dialami suami yang isterinya punya saudara kembar. Bagaimana lagi kalau semua manusia diciptakan  sama?