Mursidin (Kepala MAN IC Sambas)

Mursidin (Kepala MAN IC Sambas)

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 3 menjelaskan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan memben tuk watak serta peradaban bangsa yang ber martabat dalam rangka mencerdaskan kehi dupan bangsa, bertujuan untuk berkembang nya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,  kreatif, mandiri dan menjadi warga  negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Sisdiknas, 2003). Penjelasan terhadap undang-undang Sisdiknas tersebut di atas menunjukkan bah wa pendidikan dalam membentuk manusia beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan akhlak mulia merupakan proses dalam menanamkan nilai-nilai yang disenga ja untuk membantu peserta didik agar berkembang secara dewasa baik akal, iedologi maupun tingkah lakunya sehingga tumbuh menjadi manusia yang berakhlakul karimah. 

Derasnya arus globalisasi menjadikan dunia pendidikan menghadapi tantangan berat dalam membangun akhlak mulia peserta didik. Dewasa ini, kasus-kasus asusila dan amoral yang dilakukan baik oleh orang dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak semakin meningkat. Kehidupan berbangsa dan bernegara juga sedang diuji dengan menipisnya toleransi, munculnya kekerasan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) di tengah masya rakat serta wawasan dan cinta kebangsaan yang menepis. Anak-anak muda menolak tegas aksi kekerasan bermotif agama, namun mereka sangat rentan untuk menjadi intoleran (INFID & Gusdurian, Survei di 6 Kota, 2020) Sebanyak 93 persen anak muda, usia 18-30 tahun, setuju terhadap toleransi dan 94,4 persen tidak menyetujui tindakan terorisme berbasis agama. Tetapi, mereka sebagian setuju terhadap praktik intoleransi. Sebanyak 42,5 persen anak muda setuju terhadap tindakan intoleransi, seperti penolakan renovasi gereja di Karimun, pelarangan perayaan natal di Dharmasraya Sumatera Barat, dan pelarangan terhadap Syiah dan Ahmadiyah. Moderasi Menghadapi Tantangan “Berdasarkan survei internal yang dilakukan Kementerian Agama pada 14 lembaga pendidikan agama, ditemukan moderasi beragama yang dipraktikkan masih bersifat pasif” (Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI, 25/02/2021).

Guru sebagai pendidik, sebenarnya  tidak hanya berperan mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga berkewajiban mena namkan akhlak mulia melalui pembiasaan-pembiasaan dan keteladanan-keteladanan kepada peserta didiknya  (Suriadi, 2020b) Pendidikan akhlak mulia bagi peserta  didik sangat penting. “Pendidikan akhlak merupakan suatu  kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan  bimbingan, baik jasmani maupun  rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik  menghasilkan perubahan ke-arah positif, yang nantinya dapat diaktuali sasikan dalam kehidupan dengan kebiasaan bertingkah laku yang baik memiliki fikiran yang jernih dan  berbudi pekerti yang luhur menuju  terbentuknya manusia yang berakhlak  mulia”(Ibrahim Sirait, Siddik, & Zubaidah, 2017)

Menanamkan nilai-nilai akhlak mulia pada peserta didik di lingkungan madrasah atau sekolah tidaklah mudah dan sederhana. Oleh karena itu, semua komponen di madarasah/sekolah ikut bertanggung jawab dan terlibat terhadap terlaksanannya pendidikan akhlak mulia  baik oleh tenaga pendidik maupun tenaga  kependikan yang dilakukan melalui pembelajaran langsung maupun melalui  pembiasaan dan keteladanan (Suriadi, 2019).

Kenyataannya, mata pelajaran yang diajarkan di madrasah/sekolah banyak diajar kan untuk mengejar penyelesaikan kuriku-lum, sementara penanaman akhlak mulia melalui pembiasaan dalam pembelajaran jarang dilakukan. Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Dirjen Kurikulum telah merumuskan program pendidikan akhlak mulai dengan target utama mengwu judkan generasi Islam yang moderat di lembaga pendidikan keagamaan khususnya di madrasah. Pendidikan akhlak mulia tersebut tidak hanya diarahkan membentuk pribadi yang mulia tetapi menyadari arti penting kehidupan berbangsa dan bernegara yang di  dalamnya terdapat kemajemukan, mampu menyelaraskan pemikiran yang inklusif dan moderat sehingga mewujudkan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta membangun  peradaban yang berkemajuan (Zain, 1995). Nilai-nilai akhlak mulia tersebut dihim pun ke dalam 11 poin yang selanjutnya disebut nilai-nilai Islam Wasathiyyah. Adapun sebelas poin nilai tersebut, yaitu: Tawazun (seimbang), Tawasuth (mengam-bil jalan tengah, Tasamuh (toleransi), I’tidal (lurus dan tegas), Syura (musyawarah), Mu-sawah (egaliter), Awlawiyah (mendahulu-kan yang prioritas, Islah (reformis), tahad hur (berkeadaban), Qudwah (pelopor), dan Muwathonah (berwawasan  kebangsaan).

Insersi Nilai Wasathiyyah

Nilai-nilai moderasi beragama atau prinsip wasathiyah dalam menjalankan ajaran agama Islam harus diimplementasikan melalui dunia pendidikan. Dalam konteks Kementerian Agama, hal ini berkaitan dengan pelaksanaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dalam berbagai jenjang, baik formal maupun nonformal. Pendidikan Islam tidak boleh hanya berorientasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata atau lebih berorientasi pada pembelajaran ilmu agama secara akademis, namun kurang menaruh perhatian terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna yang perlu diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik kemudian dipraktikkan di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, diperlukan dua orientasi sekaligus dalam mempelajari Islam, yaitu: (1) mempelajari Islam untuk mengetahui bagaimana cara beragama yang benar; (2) mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan untuk membentuk perilaku beragama yang memiliki komitmen, loyal dan penuh dedikasi, dan sekaligus mampu memposisikan diri sebagai pembelajar, peneliti, dan pengamat yang kritis dalam melaksanakan dan pengembangan konsep moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Muatan moderasi beragama dalam kurikulum madrasah tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (PMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab pada Madrasah. PMA ini direalisasikan dalam buku-buku teks yang baru dan menjadi bahan pembelajaran di kelas untuk setiap jenjang pendidikan. Moderasi beragama tidak menjadi mata pelajaran sendiri, akan tetapi muatannya sudah terintegrasi di dalam semua mata pelajaran yang diajarkannya, terutama pada rumpun mata pelajaran PAI yang meliputi Al-Quran dan Hadits, Fikih, atau Akidah Akhlak atau Tasawuf, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dan pada jenjang MA ada pelajaran Tafsir/Ilmu Tafsir dan Ushul Fikih. Muatan moderasi juga disisipkan pengajaran bahasa Arab di lingkungan madrasah.

Istilah insersi mempunyai arti menginternalisasikan, menyisipkan menanamkan. Dalam hal ini nilai nilai Wasathiyyah dipadukan dalam pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang nilai-nilai tersebut guna membentuk sikap dan perilaku peserta didik. Nilai wasathiyyah diharapkan bukan hanya menjadi sebuah konsep pada diri peserta didik tetapi teraktualisasi dalam praktik nyata sikap dan tingkah laku. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai Wasathiyyah tidak diajarkan secara teoritis semata dalam kurikulum tersendiri, tetapi menyatu dalam setiap aktifitas pembelajaran di semua mata pelajar an termasuk mata pelajaran. Pola internalisasi nilai-nilai wasathiyyah secara terintegrasi melalui pembelajaran sains dapat digambarkan seagai berikut.

Pola integrasi nilai-nilai wasathiyyah dengan model pembelajaran sain misalnya dijabarkan sebagai berikut. Pertama, integrasi nilai-nilai wasathiyyah dengan discovery learning. Dalam model ini, nilai-nilai wasathiyyah dapat dimaknai dari aktivitas peserta didik sebagai berikut: Setelah peserta didik memperoleh stimulus atau penggambaran fenomena terkait materi yang diajarkan, peserta didik melakukan identifikasi masalah (Problem Statement). Informasi mengenai fenomena digunakan untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah. Selanjutnya peserta didik harus memilih salah satu masalah yang penting dan mungkin untuk diselesaikan. Pada tahap ini peserta didik dilatih memiliki kemampuan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi serta sikap awlawiyah, yakni prinsip memilih prioritas masalah yang akan diselesaikan. Tahap mengumpulkan data (data collecting), mengolah data (data processing) serta memverifikasi data (verification), memberi kesempatan bagi guru untuk menginternalisasi nilai  i’tidal, yakni sikap lurus, tegas dan  proporsional sehingga mampu bersikap jujur, adil, dan penuh tanggung jawab. Sikap i’tidal sangat penting dimiliki ilmuwan karena manipulasi data akan menyebabkan kerusakan dan kesalahan pengambilan kesimpulan yang dalam dunia sains dapat berakibat fatal bagi kehidupan manusia dan alam semesta.  

Model pembelajaran discovery learni-ng yang dilakukan secara berkelompok akan melatih peserta didik memiliki sikap syura, yakni sikap mendahulukan musyawarah. Guru dapat menfasilitasi agar peserta didik berbagi pendapat, pandangan, dan saling melengkapi dalam upaya pengambilan kesimpulan atau penyelesaian masalah. Mengingat begitu besarnya dalam men capai tujuan pembelajaran adalah peserta didik, maka setiap upaya pencarian alterna-tif pendekatan pembelajaran harus sennatia-sa berlandaskan pada kepentingan perserta didik belajar. Dengan kata lain, alternative pendekatan tersebut harus mencerminkan suatu upaya untuk mencari alternatif bagi kepentingan peserta didik untuk memper-mudah dalam mencapai tujuan belajar (Suriadi, 2020a).  Kedua, integrasi nilai-nilai wasathiyyah dengan inquiry learning mirip dengan discovery Learning karena sintak kedua model ini memiliki ke-miripan. Nilai-nilai Islam Wasathiyyah yang utama dapat diinternalisasi adalah sikap awlawiyah, yakni prinsip memilih prioritas masalah yang akan diselesaikan, sikap i’tidal yakni jujur dan proporsional dalam pengumpulan data, sikap syura yaitu menda hulukan musyawarah dalam   pengambilan kesimpulan. 

Ketiga, integrasi nilai-nilai Islam Wasathiyyah dengan Project-based learni-ng. Pada model ini, pembelajaran mengguna kan proyek/riset sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Nilai-nilai wasathiyyah yang dapat diinternalisasi kedalam diri peserta didik diantaranya Sikap musawah, yakni menga-kui kesetaraan dan kesejajaran dalam beker-ja sama menyelesaikan proyek.  Dalam me-rencanakan menyusun jadwal penyelesaikan proyek, dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian proyek, dilakukan secara kolaboratif antara guru dengan peserta didik. Hal ini memerlukan sikap musawah di mana tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi atau lebih pintar dari yang lain sehingga dapat memaksa-kan kehendaknya, semua terlibat secara merata. 

Sikap islah, yaitu sikap melibatkan diri atau berpartisipasi dalam penyelesaian masalah. aktivitas pada project-based learning berpusat pada peserta didik untuk mela-kukan suatu investigasi dan secara konstruktif, melakukan pendalamam pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset. Diperlukan kesadaran peserta didik untuk melibatkan diri secara aktif guna mencapai hasil belajar yang baik. Sikap qudwah, yaitu mental pelopor, inspiratif, inisiatif positif dan sikap kepemimpinan untuk dapat men-yelesaikan proyek atau rirset. Proyek yang dilakukan oleh peserta didik biasanya mem-butuhkan waktu yang lama dalm pengerja-annya, sehingga guru meminta peserta didik untuk menyelesaikan proyeknya secara berkelompok di luar jam sekolah. Selain itu, karena dilakukan dalam kelompok maka setiap peserta didik dapat memilih perannya masing-masing dengan tidak mengabaikan kepentingan kelompok. Hal ini memerlukan sikap qudwah yang kuat dari setiap diri peserta didik. Sikap tahadur, yakni sikap menghor-mati peradaban manusia serta alam semesta. Dalam melakukan proyek/riset, peserta didik harus dibekali sikap menghormati orang lain, terutama jika orang tersebut menjadi sampel bagi penelitian/risetnya. Perbedaan historis, budaya, sikap, nilai, pendapat, bahkan hingga perilaku yang kita anggap menyimpang dari diri seseorang yang kita jadikan sample, memerlukan sikap tahadur dalam menyikapinya. Begitupun jika sampel alam semesta, maka proyek/riset tersebut harus diupayakan tidak berdampak yang buruk bagi lingkungan.

Keempat, integrasi nilai-nilai wasathiyyah dengan problem-based learning. Sintak pembelajaran dalam problem-based learning memiliki kemiripan dengan model pembelajaranProject-based Learning. Perbedaan utama terdapat pada waktu pembelajaran di mana untuk project-based learning memerlukan waktu yang lama. Selain itu, model Project-based Learning menghasilkan hasil pembelajaran berupa produk (model, prototype, poster seni, pertunjukan, produk tulisan, visual/multimedia, dll) sementar hasil pembelajaran dengan model problem-based learning hanya solusi pemecahan masalah dalam bentuk tulisan atau presentasi. Karena memiliki sintak yang mirip, sehingga nilai-nilai Islam wasat hiyyah yang dapat diinternalisasi pada diri peserta didik juga mirip, yakni, musawah, islah, qudwah dan tahadur.  

Kelima, insersi nilai-nilai wasathiyyah dengan cooperative learning. Dalam pembelajaran kooperative learning, diciptakan situasi di mana kerjasama yang dibangun oleh anggota kelompok yang heterogen (berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi) dapat saling melengkapi baik kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelom-poknya. Dalam cooperative learning  peserta didik dibiasakan  mengutamakan tujuan bersama  (kepentingan sosial) tanpa melupatakan  kepentingan individu, target hasil belajar  secara individual harus diimbangi  dengan target sosial (Suriadi, 2020a)

 

Penulis : Mursidin (Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Sambas-Kalimantan Barat)