Integrasi Data dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

Integrasi Data dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama 23 Januari 2019, Menag menyampaikan perlunya pejabat Kemenag untuk selalu memegang tiga mantra sebagai ruh Kementerian Agama. Ketiga mantra tersebut adalah moderasi beragama, kebersamaan, dan integrasi data. Sekilas, apa yang disampaikan Menag terasa dan sangat terukur ritmenya: moderasi beragama adalah sesuai dengan esensi dari agama itu sendiri, yaitu moderat. Melalui moderasi beragama, diharapkan umat tidak tergelincir terhadap pemahaman keagamaan ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Implisit dalam harapan Menag, umat diharapkan sedemikian rupa menjadi promotor upaya mengedepankan sikap ummathan wasathan.

Dalam konteks ini, Menag menyadari adanya fitrah pemahaman yang berbeda, karena entah "kiri" atau "kanan" adalah soal cara dan sudut pandang melihat arah tersebut yang kental diwarnai oleh pemahaman masing-masing, sesuatu yang subversif pada individu. Oleh karenanya, mantra kedua yang diinstruksikan Menag adalah kebersamaan. Kebersamaan akan mengikat umat beragama meski perbedaan cara pandang terhadap kanan dan kiri mengandaikan adanya gap yang mungkin tak tepermanai. Pentingnya moderasi beragama dan kebersamaan umat tentu terkait erat dengan bagaimana upaya melayani umat itu sendiri dari. Pada titik ini Menag menekankan pentingnya integrasi data. Menyadari besar dan banyaknya data yang dimiliki Kemenag, Menag menginstruksikan perlunya integrasi berbagai data tersebut agar pelayanan kepada umat dapat lebih maksimal dan optimal, tentu saja dalam konteks besar mengedepankan moderasi beragama dan kebersamaan umat. Ini adalah mantra ketiga.

Perihal integrasi data tersebut rasanya berhubungan erat dengan regulasi terkait. Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang ditetapkan pada bulan Oktober 2018 menekankan urgensi keterpaduan serta efisiensi dalam kontkes sistem pemerintahan berbasis elektronik menuju tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, akuntabel serta sistem pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya. Untuk sampai pada derajat status ideal seperti ini memang tidak mudah. Kecenderungan untuk menikmati euforia digital lebih terlihat dan pada saat yang bersamaan mengabaikan perlunya keterpaduan dan integrasi data dan layanan.

14 Tahun Pelaksanaan e-Government, Bagaimana Capaiannya?

Secara rutin, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempublikasikan peringkat EGDI (E-Government Development Index) tiap tahunnya. Pada tahun 2018, Indonesia mendapat peringkat ke-107 EGDI. Posisi ini cukup "membahagiakan" rasanya, karena naik 9 peringkat dibandingkan tahun 2016. Di kawasan ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 setelah Vietnam, masih sama seperti tahun 2016. Artinya, head to head dengan Vietnam, Indonesia belum mampu menyalip negara tersebut dalam bidang kualitas pelakanaan e-government pada kurun waktu 3 tahun. Sudah ketinggalan dari Vietnam, peringkat Indonesia ini juga masih berada jauh di bawah negara-negara di ASEAN lainnya seperti Singapura (peringkat ke-7 EDGI), Malaysia (peringkat ke-48 EDGI), Brunei Darussalam (peringkat ke-59 EDGI), Thailand (peringkat ke-73 EDGI), dan Filipina (peringkat ke-75 EDGI). Sementara itu, posisi pertama hingga kelima, berturut-turut diraih oleh Denmark, Australia, Republik Korea, Inggris, dan Swedia. Nilai rata-rata EGDI Indonesia juga masih berada di bawah rata-rata di regional Asia Tenggara. Indonesia berada pada angka 0,5258 sedangkan rata-rata EGDI di kawasan Asia Tenggara adalah 0,5555.

Data peringkat pelaksanaan e-government ini seyogyanya mampu mendorong semua pihak untuk lebih meningkatkan implementasi e-Government. Kondisi ini juga mengandaikan tantangan tersendiri agar semua pihak meningkatkan awareness tentang pentingnya pelaksanaan e-government dan meningkatkan kompetensi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta infrastruktur TIK serta tentu saja regulasi-regulasi yang diperlukan.

Problem Administrasi Regulasi SPBE

Jika ditarik mundur, pembangunan aparatur negara dilakukan dengan reformasi birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan 8 (delapan) area perubahan, yaitu penataan dan pengelolaan pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tata laksana, SDM aparatur, peraturan perundangundangan, pelayanan publik, dan pola pikir dan budaya kerja. Secara khusus penerapan SPBE merupakan bagian dari area perubahan tata laksana dimana penerapan sistem, proses, dan prosedur kerja yang transparan, efektif, efisien, dan terukur didukung oleh penerapan SPBE. Di samping itu, secara umum SPBE mendukung semua area perubahan sebagai upaya mendasar dan menyeluruh dalam pembangunan aparatur negara yang memanfaatkan TIK sehingga profesionalisme Aparatur Sipil Negara dan tata kelola pemerintahan yang baik dapat diwujudkan.

Dalam konstruksi POAC (planning, organizing, actuating dan controlling) sebagai perspektif dasar manajemen sebuah organisasi, aspek controlling berada dalam urutan terakhir. Di sisi lain, dalam tata urutan regulasi, dipahami bahwa dibutuhkan payung hukum secara hirarkis terkait kewenangan dan substansi perihal regulasi terkait. Menjadi pertanyaan ketika aspek controlling ada di depan mendahului rancang bangun dasar manajemen itu sendiri. Dalam konteks SPBE, Permenpan RB Nomor 5 tahun 2018 mengenai Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dinyatakan diundangkan pada tanggal 24 Januari 2018 dan tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 154. Sementara itu Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik diundangkan pada 5 Oktober 2018 dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 182.

Dengan kata lain, Perpres 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik adalah merupakan refleksi betapa lamanya sebuah kebijakan dan regulasi dibangun secara utuh. Penerapan SPBE dimulai sejak lahirnya Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Inpres ini menandai dimulainya musim semi eloktronisasi pelayanan publik. Berbagai Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah seperti berlomba membuat layanan publik secara elektronik. Terbiasa dengan kekagetan atas sesuatu yang baru, konsentrasi untuk membagi fokus pada upaya evaluasi atas program yang dijalankan akhirnya tidak menjadi prioritas. Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government sebagai semacam platform dasar pengembangan e-government, dan disusul dengan menjamurnya berbagai layanan digital, baru mendapat perangkat evaluasi yang utuh dengan terbitnya Permenpan RB nomor 5 tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Elektronik. Evaluasi SPBE merupakan proses penilaian terhadap pelaksanaan SPBE di Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghasilkan suatu nilai Indeks SPBE yang menggambarkan tingkat kematangan (maturity level) dari pelaksanaan SPBE tersebut.

Rangkaian kebijakan tersebut seperti menegaskan gap dan potret yang tidak utuh tentang pembangunan SPBE. Ketidakutuhan yang terjadi menggambarkan adanya semacam puzzle kebijakan yang tersusun susul menyusul dan dalam beberapa hal menggambarkan overlapping. Perpres Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang terbit di penghujung 2018 diharapkan menjadi payung besar manajemen SPBE secara umum. Dari Perpres ini diharapkan segera lahir aturan teknis yang mendefinisikan berbagai substansi dalam perpres tersebut kedalam aturan-aturan yang lebih teknis. Menarik untuk ditunggu bersama terbitnya Arsitektur SPBE Instansi Pusat dan Peta Rencana SPBE Instansi Pusat sebagai amanat dan turunan langsung dari Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tersebut.

Dalam Permenpan RB Nomor 5 tahun 2018 mengenai Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik disebutkan bahwa upaya evaluasi dilakukan untuk mengukur pelaksanaan SPBE pada Istansi Pusat dan Pemerintah Daerah yang pada akhirnya akan terlihat dalam indeks SPBE. Indeks ini akan menggambarkan tingkat kematangan (maturity level) dalam pelaksanaan SPBE pada instansi Pusat dan Pemerintah daerah itu sendiri. Dari gambaran diatas setidaknya juga dapat dilihat bahwa upaya evaluasi menyeluruh sudah dilakukan ketika payung organisasi pelaksanaan SPBE belum --sepenuhnya--akhir. Dengan demikian, upaya penilaian tersebut bisa jadi belum dapat sepenuhnya memotret profil utuh pelaksanaan SPBE. Padahal, upaya korektif ini menjadi penting mengingat Indonesia secara umum masih menempati posisi yang belum signifikan dalam pelaksanaan e-government secara internasional.

Integrasi dan Interoperabilitas Data

Kembali ke instruksi Menag mengenai integrasi data, Arsitektur SPBE dan Peta Rencana SPBE Instansi Pusat agaknya menjadi jawaban teknis tentang perlunya integrasi data yang dimaksud. Arsitektur SPBE dimaksudkan sebagai kerangka dasar yang mendeskripsikan integrasi proses bisnis, data dan informasi, infrastruktur SPBE, aplikasi SPBE, dan keamanan SPBE untuk menghasilkan layanan SPBE yang terintegrasi. Sementara itu, Peta Rencana SPBE dimaksudkan sebagai dokumen yang mendeskripsikan arah dan langkah penyiapan dan pelaksanaan SPBE yang terintegrasi.

Lebih jauh, Integrasi, jika dimaknai paralel dengan keterpaduan, dalam Perpres Nomor 95 Tahun 2018 disebutkan sebagai pengintegrasian sumber daya yang mendukung SPBE. Sumber daya utama SPBE tentu saja data. Infrastuktur SPBE yang secanggih apapun jika tanpa dukungan data yang memadai adalah hal yang percuma. Jika data adalah bagian penting dari performa layanan publik, maka hal ini berimpitan dengan tata kelola SPBE selama ini. Belum adanya data kelola SPBE yang terpadu secara nasional menjadi masalah serius yang dihadapi Bersama. Hal ini ditunjukkan dengan hasil kajian Dewan TIK Nasional tahun 2016 terkait belanja TIK yang tidak efisien secara nasional. Total belanja TIK pemerintah untuk perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras tahun 20l4-2016 mencapai lebih dari Rp.12.700.000.000.000,- (dua belas triliun tujuh ratus miliar Rupiah). Rata-rata belanja TIK pemerintah sebesar lebih dari Rp.4.230.000.000.000,- (empat triliun dua ratus tiga puluh miliar Rupiah) per tahun dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Ditemukan bahwa 65% dari belanja perangkat lunak (aplikasi) termasuk lisensi perangkat lunak digunakan untuk membangun aplikasi yang sejenis antar instansi pemerintah.

Sementara itu, berdasarkan survei infrastruktur Pusat Data (data center) yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 20l8 terdapat 2700 Pusat Data di 630 Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah. Ini berarti rata-rata terdapat 4 Pusat Data pada setiap instansi pemerintah. Secara nasional utilisasi Pusat Data dan perangkat keras hanya mencapai rata-rata 30% dari kapasitasnya. Fakta ini mengindikasikan terdapat kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah di dalam pengembangan SPBE sehingga terjadi duplikasi anggaran belanja TIK dan kapasitas TIK yang melebihi kebutuhan. Kondisi seperti ini sangat mungkin mewakili kondisi yang ada di Kementerian Agama, dan lebih sempit pada pengelolaan data dan TIK pada Pendidikan Islam.

Dengan data-data tersebut, pelajaran yang kiranya bisa diambil adalah bahwa pelaksanaan e-government pada dasarnya bukan hanya tentang layanan teknologi informasi, tapi lebih jauh adalah mengenai budaya, pemahaman, juga konsepsi-proses bisnis yang dijalankan. Teknologi informasi dalam berbagai bentuk dan kecanggihannya telah menyebar ke berbagai wilayah dan unit kerja. Masing-masing daerah dan unit kerja seperti berlomba untuk men-digitalkan diri atau setidaknya meng-onlinekan layanan yang ada.

Menjadi kekinian adalah menjadi digital dan online. Anggapan yang mungkin nyaris menjadi kiblat ini akhirnya mendorong semua instansi untuk mengonlinekan layanan yang dimiliki, setidaknya biar mengikuti tren. Dalam kaitan mengikuti regulasi dan perundangan, dalam hal ini Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, inisiasi ini bisa dimaklumi. Pertaanyaannya kemudian, apakah inisiatif itu berada dalam koridor perencanaan strategis yang dijalankan sehingga program dan pada akhirnya menjadi belanja TIK instasni tersebut terintegrasi dan terkoneksi dengan kebijakan lainnya? Apakah kebijakan TIK menjadi bagian penting dari area perubahan dan menjadi rujukan bersama dalam kaitan proses bisinis yang dijalankan? Ambil contoh sederhana: jika ada sebuah aplikasi yang akhirnya mejan karena tidak terpakai dan tidak diketahui manfaat dan kegunaaannya serta tidak ada koordinasi dan integrasi dengan unit pengampunya, maka sesungguhnya inisiasi itu tak lebih hanya sebuah euforia belaka.

Pada konteks ini, salah satu bagian penting dari Perpres 95 Tahun 2018 Tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik adalah prinsip interoperabilitas (prinsip kemampuan saling mengoperasikan). Prinsip ini menjadi penting karena memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi antar proses bisnis dan antarsistem elektronik dalam rangka pertukaran data, informasi, atau layanan SPBE. Prinsip ini juga mengatasi kondisi dimana banyak pihak masih berpikir sektoral dalam membangun dan mengelola e-Government. Sekali lagi, penerapan SPBE sebenarnya bukan hal baru karena sudah mulai diterapkan sejak lahirnya Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Hanya saja selama ini pembangunannya masih bersifat sektoral sehingga menyebabkan pemborosan anggaran akibat terbangunnya silo-silo sistem yang tidak terintegrasi. Setiap kementerian/lembaga dan lebih khusus lagi tidap unit membangun aplikasinya sendiri-sendiri sehingga anggaran TIK bertambah setiap tahunnya namun utilitasnya tidak terukur dengan baik. Pada titik ini, integrasi memang sangat dibutuhkan agar berbagai permasalahan terkait ego sektoral dan bermacam silo tersebut bisa diatasi.

Namun demikian, integrasi saja bisa jadi kurang memadai karena pada dasarnya berbagai sistem dan aplikasi memiliki spesifikasi, misi, dan lingkungan sistem yang berbeda-beda. Perbedaan ini jika hanya memakai prinsip integrasi maka sama halnya dengan usaha untuk "mengumpulkan" berbagai perbedaan tersebut tanpa adanya upaya untuk menyediakan ruang untuk kesediaan dan kemampuan berbagi pakai yang memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis, data, informasi, dan layanan berbagai apilkasi atau sistem informasi tersebut. Dengan prinsip interoperabilitas, layanan integrasi data bisa mencapai posisi lebih jauh dari sekedar menyatuatapkan layanan, yakni dengan memberi koridor dan tata kelola untuk saling mendukung dan sejalan dalam konteks besar misi organisasi.

Walllahu a`lam
Saiful Maarif
(Bekerja pada Bagian OKH Ditjen Pendidikan Islam)


Tags: