Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa viral yang menghebohkan kaum kafir Quraisy. Peristiwa ini dianggap mustahil dan tidak masuk akal sehingga mereka merisak (membuli) dan menganggap Nabi SAW stress dan tidak waras, apalagi peristiwa ini terjadi setelah istri tercinta, Khadijah RA, dan paman beliau, Abu Thalib, meninggal dunia.
Dalam suasan penuh duka, Allah SWT menghibur dengan mengajak kekasih-Nya, jalan-jalan. Bukan traveling biasa, melainkan spiritual journey, perjalanan suci,  mulia, dan penuh mukjizat. Perjalanan horizontal dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (isra’) merupakan perjalanan dari dan menuju zona kebersihan fisik, kesucian hati dan pikiran. Sedangkan perjalanan vertikal dari  Masjidil Aqsa menuju Sidratil Muntaha dengan melewati tujuh lapis langit  (mi’raj) merupakan pendakian spiritual menuju pendekatan dan kedekatan diri dengan Allah SWT.
Kesucian dan Keseimbangan
Melalui Isra’ Mi’raj, kita diingatkan pentingnya menjaga keseimbangan “perjalanan horizontal” (Isra’) dan “perjalanan vertikal” (Mi’raj). Perjalanan horizontal  mengedukasi pentingnya kesucian niat dan tujuan, agar tidak tersesat dalam perjalanan lintas suku, bangsa, agama, bahasa, budaya, sosial ekonomi, dan sebagainya. Karena dinamika hidup ini tidak pernah bebas dari permasalahan, rintangan, dan godaan duniawi.
Dalam perjalanan parsial (isra’) –meminjam istilah Said Nursi dalam Risalah Mi’raj, prinsip utama yang harus dipedomani adalah kesucian hati dan pikiran. Karena kesucian hati dan pikiran itu dapat membebaskan diri manusia dari sifat kebinatangan, hawa nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. Manusia kerap diperbudak hawa nafsu dan orientasi duniawi sehingga cenderung tidak peduli terhadap sesama, bersikap egois, dan tidak humanis.
Salah satu tujuan Isra’ Mi’raj adalah pendemonstrasian (li nuriayahu) keagungan, kemahabesaran, dan kemahakuasaan Allah SWT (QS al-Isra’/17:1). Dalam prosesi isra’, Nabi SAW diperlihatkan berbagai fenomena kehidupan yang sarat pelajaran moral. Berbagai fenomena yang disaksikan itu sangat menarik dan relevan dengan signifikansi perubahan mindset dan hakikat hidup bermakna.
Misalnya saja, Nabi SAW menyaksikan sekelompok orang menggenggam daging empuk dan busuk. Akan tetapi, mereka justru memilih dan memakan daging busuk daripada daging empuk. Nabi SAW bertanya kepada Jibril AS: “Siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: “Mereka adalah segolongan umatmu yang suka berselingkuh dan berzina dengan perempuan lain, padahal di rumah mereka sudah beristri yang sah dan halal.”  
Nabi SAW juga diperlihatkan fenomena sekelompok orang memikul kayu bakar di pundaknya. Orang itu terus menambah kayu bakar yang dipikulnya, walaupun sebenarnya sudah tidak kuat memikulnya. “Siapakah mereka itu”, tanya Nabi SAW. Jibril AS menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang gila jabatan dan rakus kekuasaan.” (HR Baihaqi)
Selain itu,  Nabi SAW  diuji keimanannya oleh Jibril AS dengan disuguhi dua bejana (gelas). Satu gelas berisi air susu dan satunya berisi khamar (miras). Jibril berkata: “Minumlah mana yang engkau suka”. Nabi SAW mengambil gelas berisi susu, lalu meminumnya. Jibril kemudian berkata: “Engkau telah memilih jalan fitrah. Jika engkau mengambil gelas berisi miras, niscaya seluruh umatmu akan tersesat, suka mabuk.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Beberapa fenomena tersebut menunjukkan bahwa perjalanan horizontal dalam hidup ini menghendaki transformasi mental spiritual sesuai dengan fitrah. Memilih susu adalah aktualisasi budaya hidup sehat dan selamat. Meminum miras merupakan pilihan jalan celaka binasa, dan membinasakan, meski tidak sedikit manusia memilih mati sia-sia dengan menenggak miras. Keselamatan jiwa itu dimulai dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. 
Menurut psikologi modern, jatidiri manusia itu ditentukan oleh apa yang dimakan dan diminum, karena makanan dan minuman dapat membentuk mentalitas dan spiritualitasnya. Jika yang dikonsumsi berasal dari uang, makanan, dan minuman yang halal dan thayyib (baik), niscaya mental spiritual, kepribdian, dan karakternya juga menjadi baik, sehat, dan humanis.
Makanan dan minuman yang halal dan thayyib merupakan standar utama keselamatan dan kesehatan. “Hai umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168). Sebaliknya, makanan dan minuman yang haram  dan illegal merupakan sumber penyakit, terutama penyakit hati dan mental, sekaligus penyebab terganggunya imunitas tubuh. 
Nabi SAW juga mengingatkan bahwa makanan dan minuman haram, budaya hidup tidak bersih dan tidak sehat, perzinahan, kesombongan, dan keserakahan terhadap kenikmatan duniawi dan kekuasaan, menjadi pemicu munculnya wabah penyakit, khususnya penyakit sosial. “Perbuatan keji pada suatu kaum tidak akan tampak sebelum mereka menginformasikannya, melainkan dalam kaum itu akan tersebar luas tha’un (pandemi) yang belum pernah terjadi pada umat sebelumnya.” (HR Ibn Majah). 
Shalat Transformatif
Salah satu syarat sah dan diterima shalat adalah berwudhu. Wudhu mengeduksi literasi budaya hidup bersih, suci, dan sehat. Berwudhu dan  shalat lima waktu (shalat wajib) mengandung pesan transformasi bahwa berwudhu dan shalat bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan jasmani dan mental spiritual,  tetapi juga merupakan implementasi sistem ubudiyah yang sangat diperlukan untuk menjaga  keseimbangan hidup, kesehatan, dan keselamatan hidup.
Oleh karena itu, perjalanan horizontal (isra’) dilanjutkan dengan perjalanan vertikal atau pendakian spiritual (mi’raj) menuju Sidratil Muntaha, puncak eksistensi dan kreasi Ilahi. Hadiah terindah dari audiensi dan komunikasi langsung Nabi SAW dengan Allah SWT di Sidratil Muntaha adalah perintah shalat lima waktu.
Perintah shalat lima waktu merupakan manifestasi transformasi mental spiritual. Karena shalat yang ideal dan bermakna adalah shalat transformatif, shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (kemaksiatan personal maupun sosial) (QS al-‘Ankabut [29]:45). Dengan kata lain, shalat itu harus membuahkan kesalehan, kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan sosial. 
Pelaku shalat transformatif mustahil korupsi, mengonsumsi miras, narkoba, dan melanggar hukum Allah maupun hukum positif. Shalat transformatif menjadi benteng pertahanan moral yang menjauhkan Mukmin dari aneka kemaksiatan. “Shalat itu adalah Mi’raj Mukmin” (HR Ahmad). Artinya, melalui shalat, Mukmin melakukan pendakian spiritual dengan kesucian hati dan pikiran untuk mencapai kedekatan maknawi dengan Allah.
Dengan shalat transformatif (khusyuk dan fungsional), Mukmin membangun keseimbangan jasmani dan rohani, fisikal dan mental spiritual, disiplin hidup bersih dan sehat, disiplin waktu, disiplin ibadah, disiplin berjamaah, dan disiplin berintegritas moral.  Karena semua bacaan, gerakan, dan perbuatan dalam shalat itu sarat pelajaran perubahan menuju standar mutu kehidupan yang ideal dan bermakna.
Takbir dengan mengangkat kedua tangan sebagai bacaan paling banyak frekuensinya (109 kali untuk shalatwajib sehari) membentuk sifat rendah hati dan tidak sombong. Karakter ini menyelamatkan manusia murka Allah dan terbebas dari api neraka. Karena, tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa sombong (HR Muslim).
Berdiri tegak dalam shalat mengajarkan teguh pendirian, tegar menghadapi persoalan, dan solid dalam perjuangan. Ketika berdiri, pandangan mata ditundukkan, simbol kerendahan hati. Bacaan surat al-Fatihah (17 kali) mengandung spiritualitas tauhid, tahmid, tasbih, dan ta’zhim hamba kepada Dzat yang Mahasuci, sekaligus doa untuk menempuh jalan hidup yang lurus dan benar (syariat Islam).
Ketika rukuk, Mukmin dilatih untuk melihat tanah, merenungi asal-usul dan akhir kehidupan. Merunduk dan menundukkan pandangan mata menyadarkan semakin dekatnya kematian. Sujud (34 kali) mendidik Mukmin untuk berkarakter positif:  rendah hati, patuh, dan menyadari akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat. Gerakan salam, untuk mengakhiri shalat, dengan menoleh ke kanan dan ke kiri (10 kali) mengedukasi pentingnya sikap peduli, budaya hidup damai, toleransi, peduli terhadap sesama, dan mengutamakan keselamatan dan kemaslahatan bersama.

Dr. Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Tags: # PTKINKeren