Jangan Lupakan Hakikat Dasar UN

Jangan Lupakan Hakikat Dasar UN

AGENDA tahunan akademik untuk pendidikan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang sederajat, SMK/MA hampir memasuki ‘episode’ Ujian Nasional (UN). Pantauan KR (3/4) dua minggu menjelang pelaksanaan UN ini (diselenggarakan 13 April), semua sekolah mengoptimalkan persiapan. Baik mengintensifkan pendalaman materi hingga doa bersama. Semua merupakan persiapan lahir-batin yang biasanya tidak hanya dilakukan oleh siswa, namun juga keluarga (orangtua).
Terlepas dari plus-minus dan kontroversi, UN tetap dijadikan agenda pendidikan di Indonesia. Mau tidak mau, suka tidak suka UN harus ditempuh untuk mendapatkan kualifikasi kompetensi lulus SMA (juga SMP dan SD). Meskipun kita tetap layak merenungkan apakah UN merupakan kebijakan yang adil? Hal ini mengingat kondisi kegiatan proses belajar mengajar (KBM) masing-masing daerah tidaklah sama.
Kondisi letak geografis suatu provinsi di Indonesia, menjadikan sumber perbedaan kultur belajar. Sehingga penyerapan terhadap materi pendidikan pun berbeda, tanpa kita dapat menyalahkan budaya maupun geografis suatu lokasi tempat peserta didik mengikuti sistem dan model pendidikan negeri kita. Hal ini menimbulkan antitesa: “Guru di daerah yang mengajar, mengapa dari pusat yang menguji?”.
Kontroversi UN lain yang terus mengganjal adalah akibat sistem penilaian nominal yang sangat kognitif, menimbulkan stigma ‘pandai’ atau ‘bodoh’. Mereka yang lulus dengan nilai tinggi, masuk kategori pandai. Sedang yang tidak lulus, atau memiliki nilai rendah dikategorikan sebagai bodoh. Sementara pandai dan /atau bodoh, bukanlah menjadi hakikat dasar dari pendidikan. Kontroversi ini muncul dalam kerangka pendidikan berpikir ala Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang sangat pedagogis — versus pendidikan ‘masakini’ yang telah terjerat dalam sistem global dan cenderung western.
Jurus jitu yang membuat masyarakat ‘tersihir’ adalah jargon bahwa UN merupakan salah satu cara meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Inilah ‘menyihir’ semua elemen pendidikan memberi konsentrasi khusus pada agenda UN. Orangtua tak akan segan menambah budget pendidikan untuk mengikutkan anaknya pada lembaga bimbingan belajar. Lembaga ini konon dipercaya mampu memberi cara-cara pintar, agar meraih nilai UN tinggi. Tentu saja ini menjadi ironi tersendiri bagi dunia pendidikan.
Harapan selanjutnya adalah dapat predikat ‘anak pandai’. Kemudian mudah diterima di sekolah level atasnya, yang juga memilih calon siswa/mahasiswa dengan nilai tinggi. Sedang pihak sekolah juga terpacu menjadikan sekolahnya ‘terbaik’. Disayangkan, banyak menempuh jalan pintas. Bahkan menurut catatan pendidikan, banyak yang menghalalkan banyak cara agar siswa sekolahnya lulus - dan sekolah tersebut seolah-olah sukses mendidik dan menjadikan siswanya menjadi pandai.
Menjelang UN diselenggarakan, hendaknya kembali kita kembalikan pada hakikat UN sebagai salah satu agenda dalam kalender pendidikan. Tentu saja tidak boleh meninggalkan hakikat pendidikan yang utama, yakni mengedepankan pembangunan watak mulia, melalui kejujuran yang menjadi dasar moralitas. Orangtua wajib memberikan pemahaman kepada anaknya atas hakikat UN. Bukan sebaliknya, memaksakan ambisi orangtua. Demikian pula pihak pamong (guru dan sekolah), wajib memiliki kesadaran dan pemahaman yang lebih terhadap hakikat UN. Sehingga mampu memahamkan kepada peserta UN, orangtua dan masyarakat luas, agar UN berlangsung jujur, kredibel dan transparan.
Pelaksanaan UN sebenarnya tidak sekadar untuk mendapatkan nilai yang menjadi standar kompetensi siswa. Namun juga menjadi ‘ujian’ kejujuran bagi masyarakat luas. Khususnya, peserta ujian, orangtua/masyarakat dan guru/sekolah. Cerita kecurangan dan hal-hal inkonsisten tahun-tahun lalu, hendaknya tidak pernah terulang lagi. q - c.


Tags: