Kesertaan UN Siswa Miskin

Kesertaan UN Siswa Miskin

POLITIK Ujian Nasional (UN) sudah berjalan rapi. Masyarakat luas belum sepakat bahwa UN menjadi satu formula tolok ukur keberhasilan belajar sekolah. Namun demikian, aroma pro kontra UN sudah tak lagi kentara.
Sepertinya masyarakat yang selama ini kontra dengan pelaksanaan UN sudah lupa atau terpaksa menuruti program pemerintah ini. Pembahasan demi pembahasan yang ada sekarang adalah bagaimana menjalankan UN dengan baik dan siswa lulus dengan kualitas dan kuantitas memuaskan.
Fenomena ini di satu sisi ada nilai positifnya. Kendati juga tidak mengesampingkan betapa dampak negatif juga tidak sedikit terjadi. Nilai positif yang dapat kita gali dari sikap masyarakat umum yang tidak lagi menggubris kesepakatan untuk menjalankan UN di negeri ini adalah para siswa mendapatkan perhatian penuh. Dengan begitu para siswa mendapat bantuan besar dalam menyukseskan ujian penentuan nasib ini.
Para orangtua bekerja keras mensuport segala bentuk kegiatan anaknya demi suksesnya UN. Mereka peras keringat banting tulang, hingga terpaksa utang tanpa jaminan demi persiapan UN. Golongan terdidik menyiapkan latihan-latihan ujian. Dengan wadah bimbingan belajar, mereka menyediakan materi yang dimungkinkan keluar di soal UN, trik-trik khusus menjawab UN, penelitian soal-soal UN hingga bisa membuat prediksi soal. Semua dilakukan demi kenyamanan siswa saat mengerjakan UN dengan cepat dan tepat.
Di samping itu, kegiatan penjajakan melalui try out digelar di mana-mana. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kebisaan siswa dalam menjawab soal UN. Upaya lainnya, dilakukan para psikolog. Mereka memberikan bekal mental sehingga para siswa tidak grogi menjalani UN. Dengan mengadakan Achievement Motivation Training (AMT), wisata dan sebagainya. Secara spiritual dilakukan para agamawan melalui doa-doa bersama.
Hanya Segelintir Siswa
Namun persiapan demi persiapan di atas tidaklah dirasakan seluruh siswa kita. Siswa yang mendapatkan bimbingan belajar, persiapan mental dan spiritual penuh hanyalah anak-anak orang berkantong tebal. Hal ini karena untuk merealisasikan semuanya harus menggunakan uang banyak. Dapat dibayangkan, jika untuk bimbingan belajar sekali pertemuan minimal Rp 20.000, berarti dalam 1 mata pelajaran mengikuti 100 kali tatap muka, harus mengeluarkan Rp 2 juta. Artinya, untuk bimbingan belajar saja harus menyediakan Rp 2 juta kali 6 mata pelajaran UN atau Rp 12 juta.
Nominal ini tidaklah mengada-ada. Tidak sedikit wali siswa yang telah mengeluarkan uang sebanyak itu agar anaknya lulus UN dengan nilai baik. Dan hasilnya pun dimungkinkan besar para siswa-siswa ini sudah siap menghadapi UN. Materi dan trik mengerjakan soal UN sudah dikuasai dengan baik. Sementara bagi wali yang berpenghasilan rendah, tentu anak-anaknya tidak mungkin bisa ikut program persiapan ini.
Dapat dibayangkan, mayoritas penduduk Indonesia untuk menyekolahkan anaknya, kelabakan memikirkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang dikucurkan. Namun kebutuhan transportasi, sosial dan lain-lain masih membebani mereka. Pendapatan tidak lebih besar dari pengeluaran keluarga ditambah biaya sekolah anak. Alhasil anak hanya bisa persiapan UN dengan mandiri. Tentu kenyataan ini, jauh ketinggalan dari teman-temannya yang ikut bimbingan belajar dan jauh dari target pencapaian UN dari pemerintah.
Belum lagi persiapan mental dan spiritual. Meski biaya yang dikeluarkan tidak sebesar persiapan materi melalui bimbingan belajar serta try out, namun biaya keduanya tentu sangat memberatkan wali siswa dengan penghasilan rendah. Alhasil hanya bisa pasrah, terpaksa para siswa anak miskin mengikuti dan menanti hasil UN. Upaya sudah dilakukan dengan maksimal. Namun kemaksimalannya juga sesuai kemampuan ekonomi keluarga.
Akhirnya kebaikan dunia pendidikan ke depan tetap menjadi harapan bersama. Tak peduli jauh di angan atau tidak, yang pasti harapan masih ada. Komersialisasi pendidikan, politik pendidikan, dan segala bentuk program negatif lain dalam bidang pendidikan meski terus diperhatikan. Jangan sampai sebagian besar warga negara menjadi sengsara karena adanya pendidikan dengan dalih meningkatkan kualitas anak bangsa. Wallahu a’lam. q - g
*) Anton Prasetyo SSos I, pemerhati Sosial, Guru Jurnalistik MTs Nurul
Ummah Yogyakarta.


Tags: