Kesetaraan Gender dan Pembangunan Milenium

Kesetaraan Gender dan Pembangunan Milenium

Oleh: Dra. Hj. Ponpon, M.M.Pd.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, mengatakan, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2008 menyebutkan bahwa terdapat 10.874.192 orang (6,57%) tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Dari jumlah itu, perempuan mencapai proporsi terbesar yaitu 7.176.965 orang, sedangkan laki-laki hanya 3.697.227 orang.

Melihat kenyataan tersebut di atas layak kita cermati bahwa pengakuan atas perempuan sebagai sesama pilar pembangunan masih harus dipertajam. Kesempatan diberbagai aspek kehidupan masih harus diusahakan agar setara.

Responsif Gender di Sekolah

Dalam upaya mencapai pendidikan yang responsif gender, pemuatan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender menjadi satu keharusan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai salah satu aspek kehidupan yang layak diakomodasi dalam proses pembelajaran. Dalam proses penyusunannya, semua tujuan, prinsip strategi, dan acuan operasionalnya dapat dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender.

Selanjutnya, prinsip-prinsip penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP ) yang responsif gender didasarkan pada komitmen terhadap kesepakatan internasional yang terkait dengan perwujudan keadilan dan kesetaraan gender, antara lain menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses untuk menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik. Penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 dengan fokus pada kepastian sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.

Adapun landasan undang-undang dan peraturan pemerintah terkait dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang merespons gender adalah sebagai berikut: Satu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dua, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tiga, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Empat, Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Lima, Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 Tahun 2006.

Dalam hal ini, perlu pemahaman yang berwawasan gender, guru yang berada di garis depan (berhadapan langsung dengan peserta didik), dalam melaksanakan amanat pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa harus peka terhadap isu-isu aktual termasuk isu kesenjangan gender, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat sekitar. Kini, saatnya mengubah paradigma lama, ilustrasi yang dituangkan dalam buku-buku cerita sering memberikan gambaran bahwa perempuan adalah sosok yang pasif serta memiliki banyak keterbatasan. Sedangkan laki-laki terkesan sebagai sosok yang kuat dan lebih super dibandingkan dengan perempuan.

Begitu juga buku teks tentang sejarah lebih banyak menampilkan foto dan figur pahlawan laki-laki daripada pahlawan perempuan. Pengalaman penulis ketika masuk kelas, foto-foto pahlawan yang dipajang pada dinding kelas didominasi oleh pahlawan laki-laki. Kejelian guru dalam me-review materi pembelajaran dari sudut pandang hubungan antargender dan memberikan catatan tambahan pada rencana pembelajaran yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender, dengan memberikan motivasi pada peserta didiknya dalam upaya membentuk karakter dan cara pandang tentang kesetaraan peran laki-laki dan perempuan, tidak ada larangan dan bukan hal yang tabu bagi peserta didik perempuan untuk menggantung cita-cita setinggi langit, menjadi dokter, insinyur, pilot, astronot atau peran-peran lainnya yang menurut hemat penulis tidak melawan kodrat.

Secercah harapan itu pun bermuara pada MoU yang telah dilaksanakan tanggal 27 Agustus 2010 antara Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. MoU itu membuahkan komitmen antara lain dibuka seluas-luasnya akses pendidikan dengan memajukan program sosialisasi gender. (Penulis, Kepala SMPN 1 Cikancung, Kab. Bandung)


Tags: