mahasiswa UIN Gus Dur saat berkonjung ke lab. moderasi beragam di Linggoasri, Kab. Pekalongan

mahasiswa UIN Gus Dur saat berkonjung ke lab. moderasi beragam di Linggoasri, Kab. Pekalongan

Pekalongan (Pendis) - Prof. Imam Khanafi, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) bersama dengan mahasiswa jurusan Tasawuf dan Psikoterapi dari UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gus Dur) melakukan kunjungan ke Pasraman Pure Kalingga Desa Linggo Asri pada Rabu (11/10/2023). Desa ini telah ditetapkan sebagai Kampung Moderasi Beragama.

Dalam sambutannya Prof. Imam menyampaikan kepada tokoh masyarakat setempat, Desa Linggo Asri dapat menjadi pusat laboratorium moderasi beragama bagi mahasiswa dan dosen UIN Gus Dur. Tujuannya adalah untuk memperluas pemahaman agama tentang praktik toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Prof. Imam juga membagikan pandangan tentang sikap toleran dan penghargaan perbedaan seperti yang dijunjung tinggi oleh Gus Dur. Nilai-nilai ini juga diadopsi oleh UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, dengan harapan mendorong toleransi dan keterbukaan terhadap semua agama tanpa diskriminasi. Kunjungan ini merupakan bagian dari mata kuliah studi agama-agama di Indonesia, yang diikuti oleh mahasiswa jurusan Tasawuf dan Psikoterapi.

Waris, tokoh masyarakat Hindu Desa Linggo Asri  menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah memiliki kepercayaan agama atau kepercayaan tertentu, meskipun belum sekompleks saat ini. “Penelitian sejarah menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah memiliki kepercayaan sejak sekitar 400 tahun yang lalu, yang diwakili oleh prasasti di Linggo Asri. Prasasti ini mengungkapkan bahwa masyarakat saat itu mengamalkan ajaran Siwa, yang sekarang dikenal sebagai ajaran agama Hindu-Buddha”, ungkap waris.

Waris juga  menambahkan bahwa semua masyarakat di Indonesia memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan atau Sang Hyang Widi, meskipun ritual keagamaan mereka berbeda-beda. Tujuan sejati dari agama adalah untuk menghormati Sang Pencipta, sehingga perbedaan keyakinan tidak perlu diperdebatkan. “Leluhur kita meninggalkan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Oleh karena itu, kita tidak perlu mempersoalkan perbedaan keyakinan karena hal itu dapat menimbulkan perpecahan,” jelas Waris.

Di Linggoasri, berbagai agama telah ada sejak lama, dan sejarah desa ini mencerminkan perkembangan agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Taswono, selaku Mangku Anom Desa Linggo Asri, menjelaskan perkembangan ajaran agama Hindu dari berbagai periode yang terjadi di desa ini. Ajaran kapitayan, yang merupakan kepercayaan monoteisme asli Jawa, diyakini ada sejak tahun 400 kalender saka, atau sekitar abad ke-5 atau 6 Masehi. Bukti fisik berupa punden berundak menghubungkan daerah Linggo dengan wilayah kerajaan Medhang atau kerajaan Kalingga, karena wilayah ini termasuk dalam pesisir utara Kalinggapura.

Taswono juga menjelaskan bahwa Linggoasri sudah mempraktikkan moderasi agama sejak lama. Ketika ajaran kapitayan berkembang dan penganutnya melaksanakan ritual di punden berundak, penerimaan terhadap ajaran baru seperti ajaran Siwa (agama Hindu) terjadi tanpa pertengkaran. Sebaliknya, kedua ajaran ini berbaur dan berakulturasi dengan budaya lokal, yang terlihat dari adanya candi berundak sebagai kelanjutan dari konsep rumah ibadah dalam ajaran lama. Bukti-bukti fisik ini tersebar di beberapa daerah, termasuk lingga-lingga yang dapat ditemukan di beberapa wilayah di Pekalongan.

Pada era peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, saat Islam telah menyebar di tanah Jawa melalui para Wali, Sunan Kalijaga memperlihatkan toleransi dengan mengakulturasikan ajaran Islam dan kearifan lokal dengan budaya lama, termasuk tradisi wayang. “Praktik seperti slametan yang masih dijalankan oleh warga Hindu adalah salah satu contoh dari akulturasi ini,” ungkap Taswono.
Taswono juga menuturkan tentang nilai-nilai toleransi yang terdapat dalam kitab Sutasoma yang dibuat oleh Empu Tantular, yang merumuskan kalimat “Bhineka Tunggal Ika” sebagai dasar moderasi agama. Selama masa kolonialisasi, saat kondisi sulit, warga Linggo Asri sempat kehilangan arah dan menyesuaikan diri dengan keadaan mengikuti agama kristen yang dibawa pada zaman tersebut. “Dari panjangnya sejarah terkait kepercayaan yang ada di daerah Linggo Asri, harapannya Laboratorium Moderasi Beragama dapat membantu mempertahankan kearifan lokal di daerah ini dan menjaga kelestariannya melalui kunjungan dan kegiatan-kegiatan berikutnya,” pungkas Taswono.