Mapel Perekat Bangsa

Mapel Perekat Bangsa

Yogyakarta ( KR ) PADA tanggal 21 Maret 2012 lalu saya diminta presentasi dalam suatu diskusi kebangsaan bersama wakil menteri pendidikan dan kebudayaan, Musliar Kasim, bertempat di Jakarta. Dalam presentasinya, beliau menyatakan bahwa Pancasila akan dikemas sedemikian rupa sehingga benar-benar bisa menjadi mata pelajaran (mapel) yang bisa mempersatukan bangsa ini dari ancaman perpecahan.
Apa yang disampaikan Pak Musliar tersebut sejalan dengan apa yang sering disampaikan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Mohammad Nuh tentang perlunya mapel sebagai perekat bangsa. Mapel tersebut akan dijadikan sebagai kurikulum nasional dengan substansi yang terstandar secara nasional dan diajarkan di sekolah-sekolah (dan madrasah) sehingga menimbulkan jiwa dan semangat kebangsaan di masyarakat. Bahkan Pak Nuh menyatakan terdapat 4 mapel yang akan dijadikan sebagai kurikulum nasional perekat bangsa, yaitu mapel Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia dan Matematika.
Sekarang ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud sedang mempersiapkan segala sesuatu agar keempat mapel perekat bangsa tersebut dapat dinasionalkan untuk diajarkan di sekolah. Sebagai catatan, sekarang pun keempat mapel tersebut sudah diajarkan di sekolah tetapi subtansinya belum dinasionalkan.
Terkotak-kotak
Permasalahan kebangsaan meski belum sampai titik yang mengkhawatirkan tetapi sudah ada tanda-tanda yang menunjukkan ke arah sana, apalagi kita memiliki pengalaman tercerai-berainya bangsa ini dikarenakan munculnya ego-sektoral, ego-primordial dan ego-religional. Keberadaan penjajah Belanda dan Jepang di Indonesia lebih dikarenakan belum adanya perekat yang mampu mempersatukan bangsa ini. Kita masih terkotak-kotak antara orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian dan sebagainya.
Ketika Indonesia sudah merdeka, permasalahan kebangsaan ternyata belum selesai. Terjadinya pemberontakan di sana-sini, didirikannya Negara Islam Indonesia (NII) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Tasikmalaya tahun 1949, meletusnya Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, dsb, adalah bukti bahwa permasalahan kebangsaan belum selesai meskipun bangsa ini telah menyatakan kemerdekaannya.
Melalui mapel perekat bangsa yang diajarkan di sekolah diharapkan jiwa dan semangat kebangsaan generasi muda akan muncul, dan kalau jiwa dan semangat kebangsaan para intelektual muda Indonesia sudah terbentuk maka munculnya ego-sektoral, ego-primordial dan ego-religional akan bisa kita hindari, bahkan dikikis sejak dini.
Dijadikannya mapel PKn sebagai kurikulum nasional karena pembelajarannya akan dimasukkan ideologi Pancasila yang mampu merekatkan bangsa. Pendidikan Agama diperlukan untuk membangun moral supaya generasi muda tidak radikal dan tidak fundamentalis. Bahasa Indonesia merupakan aset nasional yang terbukti telah mempersatukan bangsa, dan untuk mapel Matematika perlu adanya persamaan hingga harus distandarkan secara nasional dengan kurikulum nasional. Demikianlah disampaikan Pak Nuh selaku Mendikbud dalam dialog dengan para guru.
Mapel perekat bangsa makin dibutuhkan dengan munculnya paham baru yang menyatakan kemudahan transportasi, telekomunikasi, informasi dan administrasi di berbagai bidang justru menjadikan tidak diperlukan lagi adanya nasionalisme. Sebuah paham yang antikebangsaan.
Sejarah Nasional
Bahwa sekarang kita perlu mengantisipasi munculnya permasalahan kebangsaan semenjak dini dengan menentukan mapel yang mampu menjadi perekat bangsa kiranya bisa diterima secara logika. Bahwa keempat mapel, yaitu PKn, Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama dan Matematika dipilih menteri sebagai mapel perekat bangsa kiranya tidak perlu diperdebatkan, meski khusus mapel Matematika mengundang banyak pertanyaan.
Permasalahannya, dimana posisi sejarah nasional? Setahu penulis, di negara mana pun sejarah nasional dijadikan mapel tersendiri dengan tujuan untuk mempersatukan bangsa.
Di Indonesia, kalau kita mengenalkan sejarah nasional kepada siswa serta mengenalkan pejuang dan pahlawan nasional di sekolah maka jiwa dan semangat kebangsaan siswa akan tumbuh subur sejak awal. Kita perlu menginternalisasikan sejarah nasional, mengenalkan pahlawan nasional baik “klasik” seperti Sultan Hasanuddin (Keppres No 87/ TK/1973), I Gusti Ngurah Rai (Keppres No 63/TK/1975) dan Sri Sultan Hamengku Buwono I (Keppres No 85/TK/2006) maupun “modern” seperti Ki Hadjar Dewantara (Keppres No 305 Tahun 1959), Mohammad Hatta (Keppres No 81/TK/1986) dan Bung Tomo (Keppres No 41/ TK/2008).
Dengan tetap menghormati kebijakan Kemdikbud yang menetapkan empat mapel perekat bangsa, kiranya Sejarah Nasional dapat ditambahkan sebagai mapel perekat bangsa pula! q - g. (347-2012).
*) Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd, Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta dan Pembina SMP, SMA dan
SMK Insan Cendekia Yogyakarta.


Tags: