Membayangkan Kematian sebagai Terapi Kehidupan

Membayangkan Kematian sebagai Terapi Kehidupan

Koronavirus telah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO. Proses persebarannya meluas massif dalam skala global. Menurut peneliti dari Universitas Cambridge Inggris (dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences PNAS), awal mula virus ini terjadi antara tanggal 13 September sampai 7 Desember 2019. Hingga artikel ini ditulis, tidak kurang dari 213 negara terjangkit dengan total kasus terkonfirmasi sebanyak 2.203.927.

Data di Indonesia juga menunjukkan angka peningkatan yang cukup signifikan. Sejak tanggal 2 Maret, pengumuman resmi adanya kasus positif koronavirus di Indonesia, hingga saat ini tercatat ada 6.575 kasus positif, 582 orang meninggal dunia, dan 686 pasien sembuh.

Jumlah korban positif dan angka kematian akibat virus terus bertambah setiap harinya. Berita tersebut selalu diekspos di berbagai media. Kita pun sulit untuk mencegah diri dari berita tersebut. Di satu sisi, informasi tentang koronavirus penting bagi masyarakat, setidaknya sebagai himbauan kehati-hatian. Namun di sisi lain, massifnya berita tersebut, khususnya perambahan berita kematian, juga bisa memberi kesan mencekam bagi masyarakat.

Pada dasarnya, kematian telah berkembang menjadi sistem yang sangat kompleks dan dinamis. Ia melibatkan komponen biologis, psikologis, spiritual, sosial, dan budaya.5 Robert Kastenbaum menulis sejumlah komponen yang ada dalam satu budaya terkait kematian, misalnya, kepastian bahwa setiap orang akan mengalami kematian, tempat atau konteks dan waktu terjadinya kematian; serta objek budaya terkait kematian seperti peti mati, warna hitam, mobil jenazah, dan beragam simbol serta ritual dari berbagai upacara keagamaan terkait kematian.

Di mana saja engkau berada, kematian akan menjemputmu, kendatipun engkau di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh

Apa pun makna yang kita lekatkan pada kematian, berimplikasi penting bagi kesejahteraan kita dan menentukan bagaimana kita hidup.7 Menurut Komarudin Hidayat, memahami peristiwa kematian bagi seorang Muslim dapat memupuk semangat hidup di dunia, sehingga ia bisa hidup lebih bermakna bagi semuanya. Kesadaran tentang kematian akan melahirkan sikap optimisme bagi seorang Muslim, bukan ketakutan.

Lebih jauh, memahami peristiwa kematian dapat menyebabkan seorang Muslim menjadi produktif, kreatif, dan bermakna bagi sesama. Nabi Muhammad saw pernah menegaskan bahwa seorang Muslim yang cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuknya (HR. Ibnu Majah no. 4259).

Penelitian Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister juga membuktikan akan hal itu. Keduanya melakukan penelitian terhadap mahasiswa di Universitas Kentucky dengan membaginya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diperintahkan untuk membayangkan betapa sakitnya mereka ketika ditangani dokter gigi. Sementara kelompok kedua diinstruksikan untuk merenungkan kematian mereka sendiri.

Berkaitan dengan hal itu, kecemasan yang dialami individu yang setiap harinya mendapati berita kematian akibat covid-19, pada dasarnya bisa menjadi solusi untuk self-healing (penyembuhan mandiri) melalui metafora death acceptance (penerimaan diri akan kematian). Berikut ini saya akan memberikan gambaran teknik self-healing tersebut.

Pertama, diawali dengan relaksasi sederhana, yaitu dengan menarik nafas dari hidung secara perlahan, selanjutnya dikeluarkan dari mulut hingga dada terasa lega. Kemudian, tenangkan hati dan pikiran, pejamkan mata dan bayangkan anda pergi ke pantai atau suatu tempat yang menyenangkan. Tentu di sana anda bersama keluarga, ada ayah, ibu saudara, serta anak istri anda.

Bayangkan anda berada di pantai dengan angin behembus lembut. Anda merasa tenang, semakin tenang, dan tenang sekali. Dalam kondisi yang sangat relaks tersebut, bayangkan anda ditemui oleh seseorang yang menyebut dirinya Malaikat Izrail. Lalu mengajak anda pergi meninggalkan dunia. Seluruh keluarga melihat kepergian anda.

Bayangkan, fisik anda bersama keluarga anda. Arwah anda kemudian pergi bersama Malaikat Izrail. Lihatlah, anda melihat keluarga anda melepas kepergian anda. Dengarkan apa yang mereka sampaikan tentang diri anda. Bayangkan, sesampai di awan, malaikat mengatakan untuk menunda kepergian anda. Anda kemudian dikembalikan seperti semula. Kembali ke jasad Anda. Lalu, akhiri bayangan ini dan relakan diri anda kembali dengan menarik nafas dari hidung dan mengeluarkannya melalui mulut.

Setelah itu, perenungan tentang hal negatif yang anda dengar dari keluarga, perlu digaris bawahi untuk diperbaiki. Ingat, memperbaiki diri dengan memulai dari akhir adalah efek dari penggunaan metafora death acceptance ini. Dengan itu, nantinya akan ada dorongan untuk selalu berbuat lebih baik dan keinginan memberikan yang terbaik dalam sisa hidup yang dimiliki. Di sinilah titik penting dari self-healing itu.

Perlu diketahui, pemeluk agama Buddha seperti di Thimphu, ibukota kerajaan Bhutan yang terletak di Asia Selatan, pada dasarnya juga melakukan hal yang sama. Di sana, seseorang diperintahkan untuk memikirkan kematiannya lima kali sehari. Hal ini menurut saya merupakan salah satu faktor yang menjadikan masyarakat di Bhutan dikenal sebagai masyarakat yang paling bahagia di dunia. (FYI, AA/Hik)

Oleh: D. Amirah Diniaty, M.Pd, Kons

*artikel ini disampaikan dalam Tadarus Litapdimas, Sehat Berpuasa, Selamat dari Penyakit. 23 April 2020


Tags: