Pendidikan Tertinggal dan Gaptek

Pendidikan Tertinggal dan Gaptek

Banyak anak memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, perkembangan anak tersebut tidak optimal. Bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya, anak yang kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses.
Berdasarkan argumen di atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat vital perannya bagi sebuah proses pendidikan. Sayangnya, selama ini kita lebih sibuk berbicara kurikulum, jumlah ketersediaan guru, tunjangan guru, dan target kelulusan dalam ujian nasional; sedikit sekali berbicara tentang budaya sekolah. (Komaruddin Hidayat dalam Membangun Kultur Sekolah).
Terkait kultur sekolah, seperti apa potret sekolah di negeri ini? Laporan UNESCO (2007) terkait Education Development Index (EDI) 129 negara, menyebutkan Indeks Pendidikan Indonesia berada di posisi 62. (Bandingkan dengan Malaysia yang berada di urutan ke-56) EDI dinilai dari berbagai indikator, di antaranya partisipasi pendidikan dasar; angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut gender, dan angka bertahan hingga kelas lima sekolah dasar.
The World Economic Forum Swedia (2000) melaporkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni hanya di posisi 37 dari 57 negara. Hasil survey mereka juga menybutkan Indonesia hanya berpredikat sebagai follower teknologi dan bukan sebagai pemimpin dari 53 negara yang disurvey.
Terlepas dari tujuan mulianya, prestasi pendidikan Indonesia pun tak kunjung membaik. Pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia dalam timbangan dunia internasional terbilang rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 (matematika) dan ranking ke-37 (sains) dari 44 negara. Laporan International Association for the Evaluation of Educational Achievement menunjukkan bahwa ketrampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di antara negara-negara tetangga, yakni 75,5 (Hongkong); 74,0 (Singapura); 65,1 (Thailand); 52,6 (Malaysia; dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Mungkin karena selama ini mereka lebih banyak bersifat menghafal (bukan memahami) akibat bentuk-bentuk soal pilihan ganda yang sangat lazim digunakan di Indonesia.
Kelayakan mengajar guru di berbagai satuan pendidikan pun tak kalah memprihatinkan. Untuk SD negeri (21,07%); SD swasta (28,94); SMP negeri (54, 12%); SMP swasta (60,99%); SMA negeri (65,29%) dan SMA swasta (64,73%); SMK negeri (55,49%), SMK swasta (58,26%).
Data lainnya tak kalah ironis. Dari hasil survey Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia tahun 2006, sekolah di Indonesia yang memiliki laboratorium komputer hanya sebanyak 30% dari total sekolah yang ada di seluruh pelosok negeri. Itu berarti 70% proses pembelajaran (termasuk keperluan administrasi), tanpa dilengkapi perangkat komputer.
Kondisi ini tentu sangat ironis. Di era kemajuan teknologi informasi saat ini, ternyata kondisi tersebut tak dinikmati sebagian besar masyarakat pendidikan kita. Janganlah untuk aplikasi yang lebih canggih, untuk keperluan sederhana, sebatas mengenal apa itu komputer saja, ternyata masih jauh di awang-awang. Minimnya sekolah yang memiliki laboratorium komputer itu menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komputer di bidang pendidikan. Peringkat Indonesia di negara-negara Asia masih berada dalam kelompok kuartal terbawah.
Ketertinggalan Indonesia juga dibuktikan dalam pemanfaatan teknologi informasi lainnya seperti kepemilikan PC (personal computer) yang masih minim, di mana dari 100 orang di Indonesia hanya satu orang yang memiliki PC. Sebagai perbandingan, di Malaysia dari 100 orang, ada 17 orang yang memiliki PC, Singapura (62) dan Thailand (4). Sedangkan jumlah pemakai internet tercatat 2,5 juta orang di Indonesia, Malaysia 4,2 juta dan India 7,5 juta. Data lain menyebutkan, tingkat melek teknologi internet di kalangan para guru di Indonesia pun baru sekitar 10-15%. Bicara akses internet, secara keseluruhan masih dapat dikatakan bahwa internet relatif baru dikenal oleh masyarakat Indonesia dan frekuensi pemakainya pun belum terlalu banyak.
Jika dilakukan pemotretan terhadap eksistensi pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia (termasuk di SD), saat ini pada umumnya masih teacher sentris, dan belum memanfaatkan media pembelajaran secara optimal, khususnya belum memanfaatkan media teknologi informasi (internet salah satunya). Selama ini penguasaan guru-guru SD terhadap media, disebabkan pula kerena beberapa sekolah di tanah air kita belum memliliki alat tersebut dengan berbagai alasan, tidak ada dana, tidak ada tenaga yang mampu mengoperasikan dan lain-lain. Akibatnya, kegiatan pembelajaran berlangsung dengan memanfaatkan sumber belajar yang itu-itu saja, yaitu guru dan buku. Akibatnya, siswa akan belajar dengan situasi yang monoton dari hari ke hari.
Memasuki era globalisasi baru ini sekolah bertanggung jawab menyiapkan siswa menghadapi semua tantangan yang berubah sangat cepat. Adanya prioritas yang tinggi untuk membangun fasilitas komputer di seluruh sekolah-sekolah di Indonesia dan jauhnya jarak antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya menjadi salah satu alasan dilakukannya komunikasi lewat internet.
Berdasarkan langkah yang sudah ada ini, kita harus tetap konsisten akan kebutuhan belajar siswa kita, maka internet sebagai salah satu media pendukung informasi yang strategis bisa menjadi medium komunikasi yang sah. Semua itu akan terlaksana dengan baik jika ada kesepahaman dan kesamaan persepsi akan pentingnya pendidikan internet bagi semua orang dengan didukung oleh para pengambil kebijakan di bidang ini dalam upaya kita untuk menjembatani kesenjangan digital yang ada. ***
Penulis adalah Direktur Hadharah Institute,
alumnus University of Sydney Australia.


Tags: