Perundungan di Sekolah dan Amplifikasi Media

Perundungan di Sekolah dan Amplifikasi Media

Perundungan (bullying) di sekolah kembali menjadi sorotan. Hal ini bukan hanya dilatari berbagai informasi perundungan di lembaga pendidikan --misalnya guru yang melakukan perundungan pada siswa ataupun sebaliknya, namun juga berbagai laporan penting terkait perundungan di sekolah itu sendiri. Baru-baru ini Unicef merilis data yang sangat mengejutkan: setengah dari remaja di dunia mengalami perundungan di sekolah. Data ini sungguh mencemaskan karena anak-anak dibayangi resiko perundungan di tempat yang justru seharusnya menjadi wahana disemainya akhlak dan nalar keadaban yang luhur serta nir-perundungan.

Data ini sejalan dengan rilis berita Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Bertepatan Hari Pendidikan nasional 2018, KPAI merilis berita tentang perundungan di sekolah. KPAI mencatat ada 84 persen siswa di Indonesia yang pernah mengalami perundungan di sekolah. Berdasarkan data KPAI, 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami perundungan fisik oleh teman sebaya, sedangkan 75 persen siswa mengaku pernah melakukan perundungan di sekolah. Selain itu, 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Dampak perundungan bagi korban tentu saja bisa sangat serius. Dampak perundungan terhadap anak bisa amat dalam, karena secara fisik maupun non-fisik perundungan akan membekas lama dalam memori korban. Perundungan juga dipercaya bisa mendaur ulang perundungan itu sendiri: korban perundungan bisa jadi akan menjadi aktor perundungan itu kelak kemudian hari. Jikapun tidak, memori kolektif korban kemungkinan besar akan selalu dihantui kenangan tentang perundungan tersebut.

Latar Perundungan di Sekolah
Perundungan pada anak di sekolah memiliki banyak bentuk dan coraknya sendiri-sendiri. Jika mengambil definisi umum maka perundungan dimaknai sebagai perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik mauun psikologis. Perundungan bisa dilakukan oleh dan antara semua pihak yang terkait dengan sekolah (guru, siswa, orang tua, tenaga kependidikan, penjaga sekolah, dll). Dari berbagai berita yang mudah didapati, kita juga menemukan bentuk perundungan di sekolah dari yang memakai pola intensitas yang paling ringan hingga nyawa yang melayang sia-sia.

Tidak jarang motif yang melatari perundungan bahkan tidak terkait dengan misi pendidikan itu sendiri. Sekolah kerap menjadi sasaran dan pelampisan konflik politik. Dalam hitungan setahun 2017, Unicef mencatat setidaknya terdapat 500 serangan bersenjata terhadap sekolah di berbagai belahan dunia: 396 kali di Republik Demokratik Kongo, 26 kali di Sudan Selatan, 67 di Syria, dan di berbagai negara lainnya.

Secara internal, perundungan terhadap anak di sekolah bisa dilatari oleh banyak hal. Faktor psikologis seperti ukuran kelas, akibat pergaulan sejawat, dan latar belakang orangtua dipandang menyumbang risiko tertinggi pada praktik perundungan. Kelayakan ruangan belajar yang memadai disinyalir juga bisa menjadi faktor pemicu; masih banyak ruang kelas di lembaga pendidikan yang hanya mengedepankan "asal banyak terisi", bukan kenyamanan siswa dan guru dalam menjalankan pembelajaran. Ruang kelas yang terlalu penuh, dan karenanya tidak memenuhi standar kelayakan kapasitas, tidak memberi ruang yang memadai bagi interaksi individu-individu di dalamnya dan rawan gesekan. Belum lagi minimnya sarana dan prasarana bagi siswa untuk bermain dan melepaskan diri sejenak dari rutinitas kegiatan belajar mengajar di sekolah juga berkontribusi terhadap terbatasnya ruang bagi siswa untuk bersosialisasi secara sehat.

Namun demikian, masih ada faktor lain yang juga mampu melatari perundungan anak di sekolah. Perkembangan teknologi terkini memungkinkan anak zaman now begitu dekat dengan gadget, media (televisi), teknologi informasi, dan berbagai sarana elektronik. Kedekatan anak dengan berbagai sarana tersebut memungkinkan mereka untuk menerima, menikmati, dan berselancar ke dalam area yang penuh resiko tanpa mereka sadari.

Televisi, Media, dan Amplifikasi Faktor-Faktor Negatif
23 Juli 2018. 18.00-19.00 WIB. Jika Anda kebetulan membuka saluran televisi, maka layar serempak menayangkan acara anak dalam berbagai rupa tayangan: film, features, talkshow, dan lain lain yang kesemuanya berkaitan dengan anak-anak. Momen itu memang bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Sepintas inisiatif ini terasa sangat menggugah, jika tidak dapat dikatakan mengharukan. Kesediaan stasiun televisi menayangkan acara anak, apalagi serempak, terlihat mustahil dilakukan. Stasiun televisi lebih tertarik untuk menayangkan acara yang bisa mendatangkan rating tinggi bagi mereka, dan itu jelas bukan acara anak-anak, apalagi pada jam tayang utama (prime time). Apa boleh buat, dibalik itu semua ternyata ada surat edaran bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) da Komisi Penyiaran Anak (KPI) mengenai Gerakan 1 Jam Siaran Khusus anak pada tanggal 23 Juli itu. Intinya: betapa mahal tayangan anak yang bermutu, khas dan layak untuk anak, serta bebas dari tekanan.

Tayangan media kita kurang lebih menjelaskan dengan baik bagaimana realitas yang serba hyper berlangsung. Media seperti berlomba untuk menayangkan acara yang semata memuja rating yang seolah menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan tayangan. Jika lembaga pemeringkat rating acara televisi menyimpulkan bahwa acara pencarian bakat dan joget-joget tidak jelas di salah satu televisi sedang menempati rating tertinggi, misalnya, maka stasiun televisi lain kemungkinan besar akan mengekor dengan membuat acara sejenis. Jika lembaga yang sama meyakini bahwa sinetron remaja dengan mutu sinematografi seadanya menempati posisi terhormat dalam survey mereka, maka stasiun televisi lainnya cenderung akan mereplikasi pilihan yang sama.

Yang terjadi kemudian adalah penyeragaman tayangan di layar televisi: mata dan fokus pemirsa sepenuhnya berada dalam kuasa media. Silahkan berpindah dari satu stasiun ke stasiun televisi lainnya, namun materi dan mutu tayangan tidak akan jauh berbeda. Pada jam tayang primetime dan jeda istirahat, saat anak-anak harusnya tengah menekuni buku pelajaran atau setidaknya ngaji sore, kebanyakan stasiun televisi sibuk menyajikan tayangan pencarian bakat, gosip artis, reality show, mistik, dan sinetron nir-nilai edukasi.

Tayangan-tayangan tersebut kerap menampilkan guyonan-guyonan slapsticks yang kasar dengan mengedepankan body shaming (merendahkan orang/lawan bicara dengan kekurangan fisik), ghibah rumah tangga artis, mimpi instan menjadi kaya dan bahagia dalam sinetron, saling hujat dan mengumpat dalam kepura-puraan reality show, pelemahan rasionalitas, kita bisa menambahnya lebih banyak..If it bleeds, it leads. Di titik ini segala yang banal dan mempromosikan perundungan kemudian efektif berlangsung. Kita dan anak-anak seperti dibius dengan tayangan-tayangan yang jauh dari nilai dan norma yang kita yakini seungguhnya. Kita harus memahami bahwa tayangan yang memaksa mata dan kesadaran kita dan anak-anak untuk terbiasa melihatnya memiliki potensi untuk mempengaruhi bawah sadar kita.

Dalam amatan budaya populer, merajanya televisi serta pengaruhnya sering dilihat sebagai hiper-realitas kebudayaan. Besarnya pengaruh televisi, ketidakberdayaan kita, serta produk yang dihasilkannya persis sebagaimana yang digambarkan pemikir Postmodernism terkemuka Jean Baudrillard tentang makna hyper-realitas. Tayangan-tayangan televisi yang serba instan dan mengabaikan edukasi publik tidak lebih dari sarana efektif untuk mencerabut massa dari realitas yang ada. Dominasi wacana tunggal yang disajikan televisi menempatkan pemirsa sebagai massa pasif belaka.

Apakah televisi sebagai satu-satunya yang paling berhak disalahkan dalam hal ini? Tentu saja tidak. Masih banyak acara yang bisa dinikmati dan informatif. Disamping itu, dewasa ini peran teknologi media telah sedemikian rupa menjadi faktor determinan dalam laju sosial budaya, mewarnai subtilitas sendi-sendi keseharian. Teknologi media telah sedemikian rupa menciptakan realitas baru bagi anak-anak. Saking intensnya, media telah menjadikan anak-akan sebagai produk multitasking itu sendiri: anak-anak dengan mudah melihat televisi sambil berselancar ke internet, berkirim pesan teks saaat mengerjakan tugas menulis secara online, dan lain sebagainya. Media telah membuat anak-anak tersambung (plugged in), selalu "menyala" atau online (turn on), dan teralihkan (turn out) perhatian mereka kepada jejaring informasi. Dengan peran yang sedominan seperti ini, media berpotensi menjadikan orang tua sebagai laizzez-faire, sebagai yang tidak mampu terlibat dan mewarnai pengaruh media terhadap anak-anak.

Panggung politik yang makin ramai dan cenderung memanas juga bisa menyediakan contoh perundungan dalam makna yang luas. Saling sindir, merendahkan, menghujat dan menyerang lawan politik terasa seperti makanan sehari-hari. Anak-anak seperti disuguhi cara paling efektif untuk mencela orang lain dengan metode yang paling tidak layak sekalipun, jauh dari akhlak islami, hingga lazim terdengar panggilan kecebong, kampret, dungu, dan banyak ungkapan emosional lain. Sementara itu, kita tahu yang dipanggil adalah makhluk mulia ciptaan Allah SWT. Bagi peneliti komunikasi massa Daniel Trottier, kurang lebih inilah yang disebut digital vigilantism: orang menjadi banal dan menggunakan cara vigilante untuk menuntaskan amarah dan ketersinggungan dengan latar apapaun secara digital.

#ENDViolence in School
Beberapa gambaran tentang perundungan anak di sekolah dan potensi sumber produksi pemahaman perundungan diatas tentu saja perlu disikapi bersama. Tantangan era digital dan teknologi informasi yang demikian masif mau tidak mau menjadikan semua pihak, terutama orang tua, untuk meningkatkan kemampuan literasi media. Literasi media yang memadai setidaknya akan mengedepankan pentingnya tiga kemampuan dasar dalam berinteraksi di dunia maya, yakni keterampilan (mengetahui bagaimana menggunakan dan tidak menyalahgunakan internet) , keadaban (berlaku baik dan tidak sembrono, berani membela kebenaran dan menolak perundungan), dan keamanan siber (tahu dan pandai mengetahui dan menghindarai situasi- sitauasi negatif dalam dunia maya).

Di sisi lain, tagar #ENDViolence in School yang diserukan Unicef ke seluruh penjuru dunia dan terutama 122 negara yang telah menjadi objek penelitian mereka tentang perundungan di sekolah eloknya bukan hanya wacana yang hanya bisa dilihat. Semangat yang implisit terdapat dalam tagar tersebut adalah untuk menegakkan hukum dan kebijakan yang melindungi siswa dari perundungan, memperkuat perangkat-perangkat keamanan di sekolah, mendorong siswa dan komunitas terkait untuk melawan budaya perundungan di sekolah, dan berbagai hal lainnya.

Dalam konteks promosi antiperundungan ini penting kiranya ditekankan pendidikan resolusi konflik pada siswa. Pendidikan resolusi konflik ini menekankan pentingnya faktor kebersamaan dalam pengambilan keputusan tentang apa pun yang terjadi di sekolah, melalui saluran keputusan bersama yang dilembagakan ke dalam mekanisme pengelolaan konflik berbasis sekolah. Pendekatan seperti ini memungkinkan sekolah untuk memiliki kendali operasional resolusi konflik yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif. Dengan demikian, diharapkan tercipta kelangsungan proses belajar yang aman, damai, serta mendukung pencapaian akademis siswa dan meningkatkan keterampilan sosial siswa.

Wallahu a`lam
Saiful Maarif (bekerja pada Bagian OKH Sekretariat Ditjen Pendidikan Islam)

Daftar Bacaan
Baedhowi, Ahmad. Kekerasan dalam Pendidikan, diakses dari http://mediaindonesia.com/read/detail/100955-perundungan-dalam-pendidikan pada 20 September 2018
Coleman, Loren. The Media Effect, How the Media and Polular Culture Trigger the Mayhem in Tomorrow`s Headline, Paraview Pocket Books, New York, 2004
Coloroso, Barbara. The Bully, The Bullied, and The Not so Innocent Bystander, From Pre School to High School and Beyond: Breaking the Cycle of Violence and Creating More Deeply Caring Communities, Harper Collins, New York, 2010
Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan, Politik Budaya Layar Indonesia, KPG, Jakarta, 2018
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS, Yogyakarta, 1987
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta, 2001
Tempo, Hari Pendidikan, KPAI: 84 Persen Siswa Alami Perundungan di Sekolah, Rabu, 2 Mei 2018 diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1084922/hari-pendidikan-kpai-84-persen-siswa-alami-perundungan-di-sekolah 20 September 2018
Unicef, An Everyday Lesson, Unicef, New York, 2018


Tags: