Dimas Prakoso Nugroho saat memaparkan presentasi pada panel ‘The Future of Workand Youth Citizen’ yang digelar oleh New York University di

Dimas Prakoso Nugroho saat memaparkan presentasi pada panel ‘The Future of Workand Youth Citizen’ yang digelar oleh New York University di

Firenze, Italia (Pendis)—Generasi Z diprediksi akan menjadi golongan usia dominan yang memberikan tantangan tersendiri, salah satunya bagi dunia kerja. Gen Z yang notabene adalah digital native memiliki keunikan tersendiri yang membutuhkan perlakuan khusus terutama dalam melakukan sejumlah proyeksi. Urgensi memahami dari sudut pandang Gen Z ini disuarakan oleh Dimas Prakoso Nugroho, dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung saat menjadi pembicara dalam panel ‘The Future of Workand Youth Citizen’ yang digelar oleh New York University di La Pietra Villa, Firenze, Italia, Minggu lalu (15/10/2023).

Menurut dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SATU Tulungagung, Keberadaan generasi Z ini tidak mudah dipahami oleh generasi sebelumnya. Hal ini terlihat salah satunya dari masih banyaknya penggunaan istilah milenial untuk menyebut generasi yang sebenarnya adalah Gen Z. Padahal anak-anak muda yang saat ini duduk di bangku SMA dan Perguruan Tinggi termasuk kategori gen Z.

“Memproyeksikan dunia kerja masa depan tidak cukup hanya dengan menggunakan kacamata regulasi, politik, dan ekonomi. Pemahaman yang benar atas generasi ini akan memberikan sebuah proyeksi yang lebih implementatif,” tegas Dimas.

Dunia kerja saat ini ditantang dengan era artificial intelligence atau kecerdasan buatan dan keberadaan robot. Keberadaan Big Data atau data maha besar memberikan andil tersendiri dalam pengembangan kecerdasan buatan. Sementara pengembangan robot saat ini sudah banyak digunakan untuk membantu kehidupan sehari-hari. Robot yang diorbitkan untuk satelit komunikasi berbasis personal hingga robot berbasis humanoid.

Implikasi dari perkembangan teknologi ini adalah hilangnya lapangan pekerjaan yang telah lama ada. Meski demikian, kemunculan lapangan kerja baru juga berpotensi terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Dalam presentasinya di depan akademisi dari 40 negara dunia di Firenze, Italia, Dimas menjelaskan turbulensi perubahan kebutuhan dunia kerja sudah mulai terjadi dalam satu dasawarsa terakhir. Namun posisi millenials yang terbiasa menjadi sandwich generation untuk menjembatani boomers, baby boomers dengan Gen z dan alpha generation membuat hal tersebut seolah bukan masalah. Turbulensi sebenarnya baru terjadi saat Gen Z mulai masuk ke pasar kerja di semua negara.

Generasi Z ini memiliki kecenderungan untuk mendapatkan hasil kerja yang besar tanpa perlu mengeluarkan usaha berlebih. Pemikiran ini bertentangan dengan apa yang banyak diagungkan oleh generasi-generasi sebelumnya. Tingginya paparan digital sebagai seorang digital native juga membuat mereka memiliki kepedulian pada isu-isu global dan kesehatan mental. Tak jarang mereka akan menemui professional seperti psikolog untuk mendapat bantuan. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan milenial yang tidak terlalu menghiraukan hal tersebut.

Dimas juga menjelaskan, saat masyarakat global mulai pesimis dengan kesuksesan Gen Z, namun hal tersebut hanyalah sebatas representasi ketakutan generasi sebelumnya yang tidak sejalan dengan pemikiran Gen Z.

“Banyak kalangan khawatir akan hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan yang selama ini ada. Situasi ini tidak terjadi di kalangan Gen Z dimana bagi mereka perubahan adalah keniscayaan yang harus dilalui. Perubahan inilah yang membuat mereka belajar dari berbagai sumber. Namun satu hal yang menjadi catatan, Gen Z memiliki kecenderungan untuk lebih lama dalam berlajar namun cepat dalam implementasi. Hal ini dikarenakan mereka terdistraksi oleh berbagai konten digital yang dikonsumsi”, papar Dimas.

The Future of Work and Youth Citizen sendiri merupakan salah satu bahasan dalam agenda besar gelaran SUSI Alumni Workshop Global Summit. Agenda ini merupakan forum prestisius pertemuan para akademisi dunia yang dalam kesempatan kali ini mempertemukan sekitar 60 akademisi dari hampir 25 negara dunia. Selama berada di Firenze mereka membahas berbagai topik dimana masa depan dunia kerja adalah salah satunya.

Para akademisi dunia ini diundang oleh New York University setelah melalui serangkaian proses seleksi ketat mulai dari nominasi dari perguruan tinggi Amerika tempat mereka pernah belajar dalam program penguatan kapasitas akademisi Study of the United States Institute for Scholar, seleksi berdasarkan kapasitas akademik melalui sejumlah pertanyaan dan tugas yang harus diseelesaikan, hingga penelusuran pada rekam jejak, jejak digital, aktivitas di masyarakat, sebaran geografis, hingga kesetaraan gender.

New York University sendiri merupakan Top 100 tier university atau 100 perguruan tinggi terbaik dan paling berpengaruh dunia dengan peringkat berada di kisaran 30-an. Keberangkatan sebagai wakil Indonesia ini di dukung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Kosulat Jenderal Amerika Serikat Surabaya.