PTN Bukan Lagi Sampan Harapan Semua Kalangan

PTN Bukan Lagi Sampan Harapan Semua Kalangan

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah era reformasi seharusnya belajar dari pemerintah Orde Baru yang mampu menempatkan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai "sampan harapan" bagi semua kalangan, tak hanya bagi mereka yang berduit. Kala itu, lolos seleksi PTN berarti bisa menikmati pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau.
"Saat ini PTN dan PTS tak ada bedanya. Keduanya sama-sama mahal," ujar pakar pendidikan Darmaningtyas ketika diminta pendapat seputar biaya PTN yang makin mahal, kemarin, di Jakarta.
Darmaningtyas menekankan, urusan pendidikan tak bisa diserahkan ke pasar karena berdampak menghancurkan masa depan banyak anak bangsa dari kalangan tidak mampu.
Darmaningtyas sendiri mengaku sebagai satu dari jutaan mahasiswa yang mendapat manfaat dari model pengelolaan PTN di era Orde Baru. Biaya pendidikan yang relatif murah membuat dia dan banyak temannya tak ragu mendaftar di PTN dan bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik di masa depan.
"Sekarang, banyak anak dari keluarga miskin yang sudah keder atau takut duluan saat mendengar bahwa belajar di PTN itu butuh biaya hingga puluhan juta. Jangankan mendaftar, bermimpi untuk mendaftar ke PTN pun mereka tidak berani," tutur pria yang aktif di lembaga Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta, ini.
Disinggung soal program beasiswa yang disediakan pemerintah hingga 20 persen, Darmaningtyas mengatakan, hal tersebut tidak sama dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Karena biasanya penerima beasiswa itu harus melewati seleksi dengan kriteria tertentu. Jumlahnya pun sangat terbatas.
"Beda dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Masyarakat lebih berani bersaing ke PTN karena ia tahu biayanya sejak awal murah. Untuk orang yang sama sekali tidak mampu bisa mengajukan beasiswa, salah satunya ke Yayasan Supersemar. Jadi tak ada orang miskin yang hanya bermimpi kuliah, karena peluang itu sangat terbuka. Ia tinggal belajar keras agar bisa lolos seleksi," ujarnya.
Darmaningtyas memang tak sedang beretorika. Gambaran itu terjadi di Mojokerto Jawa Timur. Dua pelajar asal SMAN Sooko, Mojokerto yaitu Achmad Rizal Muttaqin dan Riza Laili Wardhana Putri, harus menguburkan impiannya kuliah di PTN karena masalah biaya.
Peristiwa ini terjadi tahun lalu. Achmad Rizal lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2010 dengan pilihan jurusan teknik elektro Institut Teknologi Surabaya (ITS), sedangkan Riza lolos masuk jurusan matetika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Malang (UNM).
Rizal, putra pertama dari lima bersaudara pasangan Komar dan Sumindah, tinggal di Kradenan, Kelurahan Kauman, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Rizal yang selalu meraih posisi 10 besar di sekolahnya itu tak mampu membayar daftar ulang di ITS sebesar Rp 6,5 juta dan SPP Rp 1,5 juta, sumbangan pengembangan institusi Rp 3,5 juta, dan biaya lain-lain Rp 1,5 juta. Semua biaya itu harus dilunasi paling lambat 23 Juli 2010.
Menurut Komar, biaya sebesar itu bagi dirinya yang berjualan buku ini sangatlah berat. Apalagi tiga anaknya yang lain pada saat itu juga membutuhkan biaya untuk sekolah.
Hal serupa juga dirasakan Riza. Gadis yang tinggal di Dusun Sawurkembang, Desa Kenanten, Kecamatan Puri, itu juga mengalami gundah karena hingga batas akhir pembayaran, pada 22 Juli 2010, keluarganya belum mampu menyiapkan dana tersebut. Ia dikenakan biaya Rp 12,3 juta. Nani, ibu Riza, adalah pedagang kue di SDN Kenanten yang tak jauh dari rumahnya. Sedang ayahnya, M Sueb, kerja lepas sebagai pekerja instalasi listrik.
Baru-baru ini, dalam mailing list (milis) mediacare disebutkan, ada orangtua siswa yang mengaku anaknya lolos seleksi masuk ITB lewat jalur undangan, tapi tak jadi mendaftar karena harus menyetor Rp 30 juta.
Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional Djoko Santoso, dalam kesempatan terpisah, di Jakarta, Minggu (29/5), mengatakan, biaya tidak dibicarakan pada awal penerimaan mahasiswa baru. Yang terpenting, calon mahasiswa yang lolos SNMPTN mendaftarkan diri terlebih dahulu agar tercatat statusnya. (Tri Wahyuni/M Tampubolon/B Sugiharto)


Tags: