Prof. Dr. HM. Zainuddin, MA.

Prof. Dr. HM. Zainuddin, MA.

Setiap perintah dan larangan dalam ajaran Islam yang dititahkan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya dan yang dititahkan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya haruslah diikuti, karena semua perintah tersebut mengandung kebaikan, kemanfaatan dan pahala. Sebaliknya, semua larangannya mengandung madharat dan dosa. Dan semua perintah dan larangan tersebut jika diikuti bermakna ibadah. Ibadah dalam ajaran Islam mengandung dua kategori, yaitu ibadah mahdhah yang sudah given seperti arkan al-Islam al-khamsah dan ibadah ghair mahdhah seperti perbuatan–perbuatan baik lainnya yang bersifat sosiologis dan kosmologis yang bearada pada ranah horizontal (lihat QS. al-Qashas- 77).

Dalam ushul fiqh, ada dua kaidah penting yaitu al-amru li al-wujub yaqtadhi al-tikrar (perintah wajib yang mengandung pengulangan) dan perintah wajib yang tidak mengandung pengulangan (al-amru li-al-wujub la yaqtadhi al-tikrar). Shalat lima waktu misalnya, adalah kategori ibadah yang secara formal harus dilaksanakan terus-menerus, puasa ramadhan secara formal dilakukan setahun sekali, demikian juga zakat dengan syarat atau ketentuan telah memenuhi kriteria (nishab), dan haji yang hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup bagi yang mampu baik secara finansial maupun fisik (istitha’ah). Namun yang perlu dipahami, bahwa seluruh perintah ibadah mahdhah tersebut secara terus-menerus harus memiliki dampak kebaikan dan kemanfaatan bagi dirinya dan bagi orang lain (tikrar). Itulah maka, ibadah shalat disebut dalam al-Quran dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (lihat QS. Al-‘Ankabut: 45). Demikian pula ibadah-ibadah yang lain.

Substansi Puasa Ramadhan Secara bahasa, puasa (shaum, shiyam) berarti menahan (al-imsak). Dan secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami-isteri serta segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat yang tulus karena Allah SWT. Dengan demikian, siapa saja – orang mukmin mukallaf – yang sudah memenuhi kriteria tersebut, atau memenuhi syarat dan rukunnya, berarti secara syar’i sudah sah dan terpenuhi kewajibannya. Namun puasa yang demikian ini baru pada tingkat pemula dan formal, belum pada tahap hakikat (subtantif).

Oleh sebab itu seperti kata Al-Imam Al-Ghazali terdapat tiga tingkatan puasa bagi orang mukmin itu: Pertama, tingkat puasa awam (elementary), yaitu puasa yang dikerjakan hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya saja, selain itu tidak; kedua, tingkat puasa khawash (intermediate), yaitu puasa yang dikerjakan disamping memenuhi syarat dan rukunnya juga mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan semua bentuk prilaku tercela (al-akhlaq al-madzmumah), seperti berdusta, dengki, kikir, mengumpat dst; ketiga, tingkat puassa khawash al-khawash (advance), yaitu puasa yang mampu mencegah dari timbulnya kemauan hati untuk tidak mengingat Allah SWT. Puasa tingkat ini adalah puasa hati yang tidak hanya sekadar menahan diri dari hal-hal yang lahiriyah saja, tetapi sudah meningkat pada persoalan batiniyah, ruhani dan nafsani. Puasa peringkat ini biasa dilakuakan oleh orang-orang tertentu, misalanya para sahabat dan para sufi yang sudah dekat maqam-nya dengan Tuhan.

Nah, dimanakah posisi kita dalam tiga peringkat di atas? Puasa tingkat pertama (awam) ini pernah disinggung oleh Nabi dalam sabdanya: “Banyak orang yang berpuasa tetapi yang diperoleh hanyalah lapar dan dahaga, selebihnya tidak”. Karena mereka tidak memahami puasa secara benar, mereka berpuasa tetapi masih mau melakukan prilaku yang tercela.

Bahkan banyak orang berpuasa di siang hari tetapi tidak di malam hari, misalnya mereka mengumpulkan segala macam jenis makanan dan minuman untuk keperluan berbuka. Bahkan jika dihitung-hitung, belanja di bulan ramdhan melebihi kebiasaan di luar bulan ramadhan. Orang seperti ini tidak ubahnya memindahkan waktu makan dari pagi dan siang ke waktu malam, atau berlapar-lapar di siang hari dan berkenyang–ria di malam hari. Ada juga yang berpuasa dengan menghabiskan waktunya untuk tidur seharian.

Ibadah puasa ramadhan jika dilihat dari kaidah ushul fiqh mengandung makna al- amru li al-wujub yaqtadhi al-tikrar (perintah wajib yang mengandung pengulangan). Pengulangan yang secara formal dilakukan setiap tahun (setiap bulan Ramadhan). Meskipun diwajibkan hanya setiap tahun sekali, namun dampak kebaikannya harus berlangsung terus menerus (al-tikrar fi al-khairat). Ibadah formalnya setahun sekali tetapi dampaknya harus terlihat dalam kehidupan sehari hari (every day life). Inilah sesungguhnya arti pentingnya ibadah mahdhah, baik itu puasa, zakat, haji, apalagi shalat yang dilakukan setiap hari. Semuanya harus berdampak positif pada kehidupan sehari-hari (kesalehan sosial).*


Tags: # ramadhan